Mongabay.co.id

Manusia dan Bayang-bayang Kepunahan Massal Keenam

 

Manusia “berkontribusi” terhadap kepunahan spesies lain [langsung ataupun tidak] beserta kerusakan alam, sejak penjelajahannya ke berbagai benua pada 70.000 tahun lalu. Elizabelt Kolbert dalam bukunya “The Sixth Extinction” [Kepunahan Keenam], menilai kondisi ini sebagai sebuah sejarah tidak alami.

Ancaman kepunahan massal kali ini berbeda, karena intervensi manusia terhadap alam telah menyumbang dan mempercepat kepunahan itu terjadi. Misal, fenomena perubahan iklim karena pembukaan hutan skala besar dan penggunaan bahan bakar fosil secara masif yang mengancam kehidupan banyak spesies hewan. Bishop dan kolega dalam penelitian berjudul “The Amphibian Extinction Crisis” [2012], menunjukkan sekitar 40% spesies amfibi terancam punah akibat perubahan iklim.

Istilah kepunahan massal memiliki perbedaan dari kepunahan sederhana yang dalam ekologi menunjukkan lenyapnya suatu organisme atau kelompok taksa. Kepunahan massal merupakan fenomena langka. Menurut Nicholas Arndt dalam “Mass Extinctions” [2011], kepunahan massal merupakan peristiwa kepunahan yang mengacu pada penurunan tiba-tiba kuantitas spesies dalam rentang waktu geologis singkat.

Serupa Nicholas, Jablonski dalam “Extinctions in the fossil record” [1995] menyebut kepunahan massal sebagai peristiwa kehilangan keragaman hayati cukup besar yang terjadi dengan cepat dan global. Dalam sejarahnya, Bumi tercatat mengalami lima kali kepunahan massal yang berlangsung sejak 500 juta tahun lalu. Dan saat ini, menurut banyak ahli telah berlangsung kepunahan keenam yang disebabkan tekanan antropogenik.

 

Badak sumatera yang berpacu dengan kepunahan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Lima kepunahan massal

Menurut Jablonski dalam “Extinction Rates” [1995] dan Erwin dalam “Lessons from the past: biotic recoveries from mass extinctions” [2001], Bumi diperkirakan telah mengalami lima kali kepunahan massal besar [Great Mass Extinctions].

Kepunahan massal tertua terjadi di periode perbatasan Ordovisium-Silur [439 juta tahun lalu] disebabkan dua faktor; proses glasiasi sehingga mengakibatkan fluktuasi besar di permukaan laut dan periode pemanasan global hebat setelahnya. Akibatnya, sekitar 25% famili dan hampir 60% genera organisme laut mengalami kepunahan.

Kepunahan massal kedua terjadi di periode Devonian Akhir [364 juta tahun lalu] yang menghilangkan 22% famili laut dan 57% genus laut, termasuk hampir seluruh ikan tanpa rahang. Kepunahan ini terjadi karena pendinginan global paska tumbukan bolide.

Kepunahan berikutnya terjadi pada periode Permian-Trias [251 juta tahun lalu] dan menjadi yang terburuk sejauh ini, karena menghilangkan 95% dari semua spesies laut atau darat. Termasuk, 53% famili laut, 84% genus laut, serta 70% tumbuhan darat, serangga, dan vertebrata.

Faktor penyebab kepunahan masih diperdebatkan, namun kemungkinan besar terjadi, menurut David dan Vance dalam “Volume II: Biodiversity and Extinction” karena banjir vulkanik dari Siberian Traps yang menyebabkan perubahan iklim mendalam.

Kepunahan massal keempat terjadi di periode Trias Akhir [199-214 juta lalu] yang terjadi karena letusan vulkanik besar, terutama banjir basal di Samudra Atlantik yang menyebabkan pemanasan global signifikan. Dampak kejadian tersebut adalah menghilangnya 22% famili laut dan 53% genus laut serta banyak organisme darat.

Kepunahan massal terakhir terjadi pada batas periode Kapur-Tersier [65 juta tahun lalu] yang mengakibatkan 16% famili, 47% genera organisme laut, dan 18% famili vertebrata punah. Penyebab kepunahan diperkirakan akibat banjir vulkanik di India [Deccan Traps] dan dampak jatuhnya asteroid raksasa di Teluk Meksiko.

 

Gajah sumatera yang pernah menjadi bagian penting kehidupan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Spesies penakluk

Manusia moderen [Homo sapiens] menurut Jared Diamond dalam “Guns, Germs, and Steel” [2020] sejak 50.000 tahun lalu mulai menduduki posisi pertama dalam rantai makanan setelah mengalami Lompatan Besar ke Depan.

Priode Lompatan Besar ke Depan ditandai dengan digunakannya beragam senjata seperti seruit, pelontar tombak, serta busur dan panah, yang mampu membunuh secara efisien dan dalam jarak aman, memungkinkan mereka memburu hewan-hewan berbahaya seperti badak dan gajah.

Periode ini dibarengi perluasan wilayah geografis manusia berskala besar pertama yang dibuktikan sejak kolonialisasi Erasia oleh nenek moyang kita. Perluasan itu termasuk pendudukan Australia dan Papua [yang dulunya merupakan satu benua], diduga kuat menyebabkan pemusnahan massal spesies hewan besar pertama seperti kanguru raksasa, diprotodontia, burung yang mirip burung unta seberat 180 kg, dan lainnya oleh manusia.

Dugaan kuat, manusia yang menyebabkan kepunahan megafauna berdasarkan temuan bahwa mereka punah tidak lama setelah kedatangan manusia, yang dinilai karena diburu dan dibunuh oleh manusia pendatang pertama untuk dikonsumsi. Kejadian serupa berdasarkan temuan Jared, terjadi di berbagai pulau yang telah dihuni manusia sejak zaman prasejarah, misalnya kepunahan burung moa Selandia Baru, lemur raksasa Madagaskar, dan angsa Hawaii yang tidak dapat terbang. Untuk alasan itu, manusia dijuluki sebagai spesies penakluk.

Setelah memasuki masa revolusi agrikultural [11 ribu tahun lalu], masa yang ditandai dengan domestifikasi hewan dan tumbuhan liar, populasi manusia menjadi lebih padat. Kondisi ini ditandai dengan lahirnya golongan tenaga spesialis seperti raja, birokrat, dan pengrajin sehingga mendorong pesat kemajuan peradaban manusia.

Begitu pula persenjataan yang kemudian berkembang, semakin mengukuhkan posisi manusia dalam rantai makanan. Artinya, manusia menjadi makhluk hidup satu-satunya yang paling mungkin untuk mengeksploitasi alam habis-habisan demi kepentinganya sendiri, atau komunitasnya.

 

Malelang Jaya, harimau sumatera yang telah dikembalikan ke habitat aslinya di hutan Terangun, Gayo Lues, Aceh, pada 9 November 2020. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Antroposen

Seorang ahli kimia penerima hadiah nobel asal Belanda, Paul J. Crutzen menulis gagasannya berjudul “Geology of Mankind” di Nature [2002], yang menawarkan istilah Antroposen untuk menyebut kondisi saat ini.

Menurut dia, dalam banyak hal, Zaman Geologis yang dihegemoni manusia melengkapi Kala Holosen [periode hangat 10-12 milenium terakhir]. Crutzen menilai bahwa Kala Antroposen telah dimulai sejak abad delapan belas akhir, ketika analisis udara yang terperangkap dalam es kutub memperlihatkan awal pertumbuhan konsentrasi global karbon dioksida dan metana. Tahun ini juga bertepatan dengan penemuan mesin uap James Watt pada 1784.

Ekspansi manusia yang sangat cepat baik skala jumlah dan eksploitasi per kapita atas sumber daya Bumi terus berlanjut. Sejak tiga abad terakhir, jumlah populasi umat manusia telah meningkat sepuluh kali lipat menjadi 6 miliar dan diprediksi akan mencapai 10 miliar pada abad ini.

Dengan jumlah populasi besar, manusia otomatis memerlukan kebutuhan lebih banyak untuk kehidupannya. Misalnya, jumlah produksi ternak yang meningkat sehingga menghasilkan gas metana sebesar 1,4 miliar yang 23 kali lebih berbahaya sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim, berupa pemanasan global dibanding dengan karbondioksida.

Tidak hanya itu, terdapat perubahan skala geologis lainnya yang dilakukan manusia. Sebut saja, 1] eksploitasi sepertiga hingga setengah atas permukaan daratan planet ini telah mengubah permukaan daratan; 2] manusia telah melakukan pembendungan atau pengalihan aliran sebagian besar sungai utama di dunia; 3] pabrik pupuk telah menghasilkan nitrogen lebih banyak daripada yang dihasilkan secara alami oleh semua ekosistem daratan; 4] bidang perikanan telah menghilangkan sepertiga produksi primer perairan laut dekat pantai; 5] manusia telah menggunakan setengah air tawar yang mudah diakses di dunia.

Namun yang lebih penting menurut Crutzen, manusia telah mengubah komposisi atmosfer, akibat penggunaan bahan bakar fosil dan penggundulan hutan, sehingga konsentrasi karbon dioksida di udara meningkat sebesar 40 persen dalam dua abad terakhir. Sementara, konsentrasi gas metana dan gas rumah kaca yang lebih kuat naik lebih dari dua kali lipat.

Dengan kondisi ini, kerusakan yang ditimbulkan umat manusia tidak sebatas tingkat lokal atau regional seperti ribuan tahun sebelumnya, namun mempengaruhi lingkungan skala planet, mengancam eksistensi seluruh spesies, termasuk manusia itu sendiri.

 

Orangutan sumatera yang hidup di hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepunahan tak alami

Jika ditanya apa yang lebih menonjol di era moderen ini? Fred Magdoff dan J. Bellamy Foster dalam “What every environmentalist needs to know about capitalism” [2011] menjelaskan, penghuni Bumi lebih banyak dan manusia memiliki teknologi yang sanggup menciptakan kerusakan lebih besar dan lebih cepat.

Hal itu tergambar dari batas-batas planet yang telah terlampaui, disebabkan aktivitas manusia. Batas-batas planet merukapan konsep yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan terkemuka mengenai ilmu sistem Bumi.

Terdapat sembilan ambang batas kritis dari sistem planet yang telah ditetapkan, yakni: 1] perubahan iklim; 2] pengasaman air laut; 3] penipisan ozon di statosfer; 4] batas aliran biogeokimia (siklus nitrogen dan fosfor); 5] penggunaan air bersih global; 6] perubahan pemanfaatan lahan; 7] hilangnya keanekaragaman hayati; 8] pelepasan aerosol ke atmosfer; dan 9] polusi kimia.

Mempertahankan ambang batas kritis ini berarti mempertahankan masa depan kehidupan di Bumi. Namun saat ini, tiga ambang batas telah terlampaui yaitu perubahan iklim, keragaman hayati, dan intervensi manusia dalam siklus nitrogen. Sementara sisanya, telah mendekati ambang batas.

Implikasi perubahan lingkungan yang ditimbulkan akibat tekanan antropogenik tentu sangat memprihatinkan bagi banyak spesies. Dalam temuan Karina dan Amanda dalam “Effects of environmental change on wildlife health” [2009] menunjukkan bahwa perubahan lingkungan akibat intervensi manusia terhadap alam telah menimbulkan masalah kesehatan bagi satwa liar serta menyebabkan satwa liar mengalami defisit reproduksi.

Kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil dan menghilangkan habitat banyak spesies, misalnya ancaman terhadap 90 persen spesies penyu di pesisir, anjing laut Hawaii, Rusa Florida Key, dan lainnya.

Di sisi lain, emisi karbon yang diciptakan dari aktivitas manusia dan kemudian diserap oleh lautan akan mengancam ekosistem laut. Salah satunya kelangsungan hidup terumbu karang yang ditunjukkan dalam temuan Silverman dalam “Coral reefs may start dissolving when atmospheric CO2 doubles”.

Dampak perubahan lingkungan bagi laut dalam temuan Boyce, dkk “Global phytoplankton decline over the past century” [2010] menunjukkan pemanasan di samudra akan menyebabkan penurunan fitoplankton yang merupakan rantai terbawah makanan. Tentunya, berdampak pada kelangsungan hidup banyak spesies laut dan produktivitas laut di masa depan.

Perubahan cepat pada zona-zona iklim atau daerah isotermal seperti dalam temuan Hansen dalam “Storms of my grandchildren: The truth about the coming climate catastrophe and our last chance to save humanity” [2010] menyebabkan migrasi besar-besaran banyak spesies dengan kecepatan sembilan kali lipat dari sebelumya [ke arah kutub]. Pada saat yang sama, spesies yang hidup di kutub atau kawasan pegunungan tinggi bersalju, tidak bisa pergi ke mana-mana dan kehabisan wilayah.

 

Hutan Leuser yang begitu mengagumkan, tiada duanya di dunia ini, sebagai habitatnya orangutan, gajah, badak, dan harimau sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tahun 2009, survei yang dilakukan Union for Conservation of Nature [IUCN], mencatat lebih dari 17 ribu hewan dan tumbuhan terancam punah. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat lebih pada 2021, menjadi 40 ribu spesies yang terancam punah, hewan maupun tumbuhan. Spesies yang terancam punah paling tinggi adalah kelompok tumbuhan sikas yang berjumlah 63 persen dari total keseluruhan kelompok spesies sikas.

Lalu, diikuti kelompok amfibi [41 persen], hiu dan pari [37 persen], tumbuhan runjung [34 persen], terumbu karang [33 persen], udang-udangan [28 persen], mamalia [26 persen], reptil [21 persen], dan burung [13 persen].

Kabar buruknya, jumlah keseluruhan spesies di atas yang disurvei masih sebagian kecil [28 persen] dari total keseluruhan spesies di dunia. Menurut IUCN aktivitas manusia adalah penyebab utama dari kelangkaan dan ancaman kepunahan spesies-spesies tersebut.

Jika manusia tidak merubah perilaku merusak dan tidak ada kesadaran tentang pentingnya menjaga alam, maka “The Sixth Extinction” atau bayang-bayang kepunahan massal keenam bakal terwujud. Skenario apokaliptik ini akan menjadi kenyataan andai alam hanya dijadikan objek eksploitasi oleh manusia, bukan sebagai subjek yang harus dijaga.

Padahal, jika alam musnah, manusia juga punah.

 

* Nami Irawan Batubara, lulusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Tertarik menulis isu lingkungan. Tulisan ini opini penulis.

 

Referensi:

Acevedo-Whitehouse, K., & Duffus, A. L. [2009]. Effects of environmental change on wildlife health. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, 364 [1534], 3429-3438.

Arndt N., Pinti D.L. (2011). Mass Extinctions. In: Gargaud M. et al. [eds] Encyclopedia of Astrobiology. Springer, Berlin, Heidelberg.

Bishop, P. J., Angulo, A., Lewis, J. P., Moore, R. D., Rabb, G. B., & Moreno, J. G. [2012]. The Amphibian Extinction Crisis-what will it take to put the action into the Amphibian Conservation Action Plan?. SAPIENS. Surveys and Perspectives Integrating Environment and Society, [5.2].

Boyce, D. G., Lewis, M. R., & Worm, B. [2010]. Global phytoplankton decline over the past century. Nature, 466(7306), 591-596.

Crutzen, P. J. (2016). Geology of mankind. In Paul J. Crutzen: A pioneer on atmospheric chemistry and climate change in the Anthropocene [pp. 211-215]. Springer, Cham.

Diamond, J. M., & Ordunio, D. [1999]. Guns, germs, and steel [Vol. 521]. Books on Tape.

Erwin, D. H. [2001]. Lessons from the past: biotic recoveries from mass extinctions. Proceedings of the National Academy of Sciences, 98 [10], 5399-5403.

Hansen, J. [2009]. Storms of my grandchildren: The truth about the coming climate catastrophe and our last chance to save humanity. Bloomsbury Publishing USA.

Jablonski, D. [1995]. Extinctions in the fossil record. Philosophical Transactions of the Royal Society of London. Series B: Biological Sciences, 344 [1307], 11-17.

Kolbert, E. [2014]. The sixth extinction: An unnatural history. A&C Black.

Magdoff, F., & Foster, J. B. [2011]. What every environmentalist needs to know about capitalism: A citizen’s guide to capitalism and the environment. NYU Press.

Raup, D. M. (1995). Extinction rates [Vol. 11]. J. H. Lawton, & R. M. May [Eds.]. Oxford: Oxford University Press.

Silverman, J., Lazar, B., Cao, L., Caldeira, K., & Erez, J. [2009]. Coral reefs may start dissolving when atmospheric CO2 doubles. Geophysical Research Letters, 36 [5].

Union for Conservation of Nature [IUCN]. 2021. More than 40,000 speciesare threatened with extinction. Diakses dari https://www.iucnredlist.org/

 

Exit mobile version