Mongabay.co.id

Mangenta, Makanan Khas Kalimantan Tengah yang Ciptakan Rekor Nasional

 

 

Sekitar seribu peserta ikut meramaikan pembuatan mangenta atau kenta, dalam Festival Budaya Isen Mulang [FBIM] 2022, di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Peserta berasal dari 14 kabupaten dan kota, gabungan siswa/siswi SMA dan sejumlah instansi Provinsi Kalimantan Tengah.

Awan Rahargo, Senior Manager MURI menyatakan, pembuatan mangenta ini menciptakan rekor nasional untuk kategori peserta terbanyak.

Mangenta ini khas Kalimantan Tengah, tidak ada di tempat lain,” terang Awan saat menyerahkan piagam MURI di Bundaran Besar, Palangka Raya, Minggu pagi [22/05/2022].

Mangenta merupakan makanan tradisional khas masyarakat Dayak berbahan dasar ketan. Makanan ini dibuat untuk mengawali kegiatan, seperti panen atau pernikahan dalam Suku Dayak Ngaju, yang dianggap memiliki nilai spiritual tinggi. Istilahnya kuman behas taheta [makan beras baru].

Ada tiga jenis ketan yang ditanam, ketan putih, merah, dan hitam. Dulu, baik beras ketan maupun beras lainnya mempunyai aroma sangat harum.

“Secara kebudayaan, mangenta sebagai persembahan kepada tatu parei [leluhur/roh padi]. Dalam masyarakat, tidak dikenal konsep Dewi Padi, yang ada tatu yaitu moyang/leluhur dan tatu itu laki-laki [sifat gendernya]. Acara dilakukan sebagai bentuk terima kasih karena sudah membuat padi berisi,” tutur Marko Mahin, antropolog di Palangka Raya, kepada Mongabay Indonesia, awal Juni 2022.

Berkaitan ritual berikutnya yaitu pakanan batu [memberi makan batu–batu asah], ini pun wujud terima kasih kepada Hattala [Tuhan Maha Pencipta], melalui batu sebagai perlambang.

“Manusia Dayak berpikir sangat materialistik sebenarnya. Batu asahan ini yang menajamkan pisau, beliung, dan kapak. Jika tidak ada batu asahan mereka tidak bisa bekerja,” lanjut Marko.

Usai panen, mereka melakukan syukuran yang disebut pesta lius getem [selesai panen] atau serupa pesta panen. Pada saat inilah hewan besar akan dipotong dan dinikmati sekampung.

“Jadi, pada prinsipnya kenta itu bukan makanan kecil tapi persembahan untuk roh padi tadi,” jelasnya.

Baca: Pangan Lokal Nusantara, Semua Pihak Harus Dilibatkan Menjaganya

 

Ketan yang akan diolah menjadi makanan mangenta. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Jika melihat dari istilah makanan sakral dan makanan profan, Marko menyebut, kenta termasuk makanan sakral karena dijadikan persembahan. Meskipun bisa dimakan sebagai panganan untuk saat ini [profan].

Dia menyebut, ada keterputusan makna awal mangenta saat dijadikan sebuah pertunjukan budaya tanpa proses lengkap.

“Sebenarnya tidak apa-apa dilombakan, itukan bagian dari kreativitas. Walaupun nantinya sama seperti pesta panen, tetapi kita tidak memanen apapun. Ada keterputusan makna mangenta sekarang dengan dulu, karena magenta awalnya dilakukan menjelang panen,” katanya.

Baca juga: Hutan Desa Tangkahen, Tawarkan Ekowisata hingga Sejarah Kalimantan Tengah

 

Pembuatan mangenta yang melibatkan hingga seribu peserta ini menciptakan rekor nasional. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Padi ketan dalam strata ladang merupakan tanaman pelindung. Ladang dalam masyarakat Dayak ditanam dengan pola unik. Marko menyebut, ada beberapa lapisan yaitu bagian luar ditanam pisang dan berbagai sayuran. Lapisan berikutnya jelai, jawe, dan padi ketan di pojok lahan, sementara bagian inti ditanam padi beras.

“Konsepnya, ladang tidak hanya untuk mereka sendiri, tapi juga uras kula babuhan [semua sanak saudara]. Sudara di sini bukan hanya manusia, tetapi juga satwa di sekitar hutan dan ladang, ini yang mereka ceritakan dalam tandak [penceritaan kehidupan Dayak yang dilagukan],” jelasnya.

Satwa seperti monyet, burung, tikus, babi, dan rusa tidak dianggap hama. Tanaman pelindung tadi selain dikonsumsi juga ‘dibagi’ kepada satwa-satwa tersebut. Hanya satu yang dianggap hama yaitu hampangau atau wereng, karena merusak tanaman. Upaya menangkalnya dengan membuat rabun [pengasapan] yaitu membakar sejumlah kayu tertentu.

“Wereng tidak ada istilah saudara, dianggap musuh,” ujarnya.

Dalam pertanian Dayak, ada dua jenis lahan tanam padi. Pertama, daerah kering atau perbukitan yang  ditanami jenis padi bukit, seperti parei uwan, parei malahui, parei sako/sawang, dan lainnya. Kedua, daerah rawa atau pinggiran sungai. Jenis pada yang ditanam disebut parei danum [padi air] atau umbang. Padi jenis ini pun cukup banyak, seperti umbang papan [pulen] atau umbang katineng [keras].

 

Masakan Karondam dari olahan ikan yang difermentasi selama enam hari ini juga merupakan makanan khas Kalimantan Tengah. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Proses

Proses pembuatan mangenta cukup panjang. Alat yang dibutuhkan dikumpulkan seperti lesung-alu, keluair [tuas pengais dari bilah bambu], wadah berupa tikar purun, rotan atau kajang sebagai alas, serta alat penampi untuk memisahkan biji beras dengan kulitnya.

Padi jenis ketan yang baru dipanen, disangrai dengan api sedang. Lalu, ditumbuk saat panas hingga mengelupas, kemudian ditampi sampai padi terpisah dari kulit sekam.

Kelapa parut yang tidak terlalu tua, beserta gula putih atau gula merah, dan air kelapa muda harus disediakan.

“Air panas bisa digunakan jika tidak ada air kelapa muda. Namun, padi baru panen akan sangat enak menggunakan air kelapa. Bila padi lama, sebelum disangrai harus direndam beberapa hari,” jelas Ramintan, anggota komunitas Bawi Dayak Palangka Raya, baru-baru ini.

Setelah ketan bersih, secara bertahap lalu diaduk ke dalam cairan gula. Secara bersamaan, dimasukkan juga parutan kelapa sampai rata, dan mangenta siap dinikmati.

Sebagai makanan khas, mangenta kita perkenalkan kepada khalayak luas melalui festival budaya.

“Ada juga malamang atau lemang,” jelasnya Leonard S. Ampung, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Kalimantan Tengah.

 

Exit mobile version