- Maraknya perdagangan satwa liar ilegal beserta praktik yang tumpang tindih secara signifikan dengan perdagangan legal, dipandang oleh para ahli lingkungan sebagai ancaman utama bagi konservasi banyak spesies di Indonesia.
- Perdagangan satwa liar diduga sebagai penyebab utama kelangkaan dan kepunahan spesies, serta sebagai jalur penularan dan penyebaran penyakit ke berbagai belahan dunia.
- Di Indonesia, perburuan dilakukan oleh masyarakat lokal dan kelompok pemburu. Namun masyarakat lokal menanggung semua akibat, termasuk hilangnya satwa liar, potensi pendapatan wisata, serta gangguan sosial dan ekologi yang ditimbulkan oleh kelompok pemburu.
- Dua mantan pemburu satwa liar di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [TNBNW], telah menjadi contoh baik bagi masyarakat. Mereka kini peduli hutan dan satwa liar dan membuktikan bahwa berburu satwa bukan mata pencaharian yang tepat.
Akhir Mei 2022, polisi di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, menahan sebuah mobil Toyota Avanza pada sebuah operasi lalu lintas. Namun yang menjadi perhatian, di dalam mobil yang berangkat dari Makassar dengan tujuan Kota Manado tersebut, terdapat 56 satwa liar berupa mamalia dan reptil: seperti anakan orangutan, owa, siamang, dan berbagai jenis kura-kura. Satwa liar dilindungi itu kemudian diserahkan ke BKSDA Wilayah II Sulawesi Utara di Gorontalo.
“Satwa liar tersebut tidak memiliki dokumen sehingga dipastikan ilegal,” kata Syamsudin Hadju, Kepala BKSDA Wilayah II Gorontalo.
Indonesia masih menjadi salah satu negara tertinggi dalam hal perdagangan satwa liar. Sunarto, peneliti di Institute for Sustainable Earth and Resources, Universitas Indonesia sebelumnya menjelaskan, maraknya perdagangan satwa liar ilegal, dan praktik yang tumpang tindih secara signifikan dengan perdagangan legal, dipandang oleh para ahli sebagai ancaman utama bagi konservasi banyak spesies di Indonesia.
Ini pula yang mendorong beberapa spesies menuju kepunahan. Beberapa pasar ekspor utama antara lain adalah Eropa, Amerika Serikat, Hong Kong, Malaysia, dan Singapura.
Pemerintah Indonesia telah menerapkan beberapa kebijakan untuk mengatur perdagangan dengan lebih baik, termasuk mempromosikan penangkaran spesies yang biasanya tidak dikeluarkan dari habitat alaminya. Namun, para konservasionis mengatakan hal ini memberikan kesempatan kepada para pedagang untuk “mencuci” satwa liar yang ditangkap secara ilegal, dengan menyalurkan mereka melalui fasilitas penangkaran, yang seolah mereka lahir di sana.
Baca: Masuk 10 Besar Pengekspor Satwa Liar Legal, Peneliti: Indonesia Harus Fokus Pelestarian
Menurut Ronny Rachman Noor, Guru Besar IPB dari Fakultas Peternakan, Indonesia tercatat sebagai salah satu eksportir produk satwa liar terbesar dunia bersama Jamaica dan Honduras. Sementara Amerika, Perancis, dan Italia tercatat sebagai negara importir produk satwa liar terbesar dunia. Perdagangan satwa liar juga diduga merupakan penyebab utama kelangkaan dan kepunahan spesies serta sebagai jalur penularan dan penyebaran penyakit ke berbagai belahan dunia.
Dijelaskannya, semakin besar jurang kemiskinan antara negara kaya dan miskin menjadi pemicu terjadinya perdagangan satwa liar ilegal. Sebagian besar aliran perdagangan satwa liar ini berasal dari negara miskin yang memasok satwa liar ke negara kaya.
Perdagangan satwa liar baik secara legal maupun ilegal merupakan lingkaran setan yang tidak pernah berujung karena ada satu pihak yang membutuhkan [umumnya tinggal di negara maju yang sejahtera] dan ada pihak lain yang dengan berbagai alasan, utamanya ekonomi, melakukan perdagangan satwa liar, yang umumnya negara miskin dan negera sedang berkembang.
Baca: Mewaspadai Perdagangan Burung Kicau Asli Indonesia di Platform Online
Dalam laporan bertajuk “Perdagangan satwa liar, kejahatan terhadap satwa liar dan perlindungan spesies di Indonesia: konteks kebijakan dan hukum” dijelaskan bahwa salah satu penyebab utama dari penurunan spesies di Indonesia adalah eksploitasi berlebihan. Walaupun perkiraan bervariasi, perdagangan ilegal flora dan fauna Indonesia diperkirakan mencapai puluhan juta Dolar per tahun, yang mencerminkan kerugian besar perekonomian Indonesia, dan kerugian yang menghancurkan warisan budaya dan lingkungan Indonesia.
Meskipun sudah ada kerangka hukum dan peraturan turunan yang menyeluruh dan dirancang untuk mencegah kerugian, namun para pemburu gelap, pedagang, pengirim dan pembeli satwa liar masih dapat menghindari proses hukum berupa penangkapan, penyidikan, dan tuntutan dengan memanfaatkan keterbatasan kapasitas dari polisi hutan, polisi dan sistem peradilan dalam menegakan peraturan yang berlaku. Mereka memanfaatkan sejumlah celah hukum yang masih ada.
“Di Indonesia, perburuan dilakukan oleh masyarakat lokal dan kelompok pemburu, beberapa kelompok berimigrasi ke Indonesia karena beberapa spesies bernilai tinggi telah punah di negara-negara lain. Komunitas lokal mendapatkan keuntungan yang sangat sedikit dari perdagangan satwa liar, karena keuntungan besar didapat oleh pedagang. Masyarakat lokal menanggung semua akibat, termasuk hilangnya satwa liar, potensi pendapatan wisata serta gangguan sosial dan ekologi yang ditimbulkan oleh kelompok pemburu,” ungkap laporan tersebut.
Baca juga: Mengapa Satwa Bersisik Ini Dinamakan Trenggiling?
Cerita mantan pemburu satwa
Pada 5 Juni 2022, dua mantan pemburu satwa liar menceritakan kisahnya dalam webinar merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Keduanya adalah Ardin Mokodompit warga Tulabolo Barat, Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo dan Basri Lamasese, warga Dusun 3 Desa Molibagu Kecamatan Bolaang Uki Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Sulawesi Utara. Keduanya kini telah menjadi anggota Masyarakat Mitra Polhut [MMP] Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [TNBNW].
Ardin mengungkapkan ia berburu sejak kecil dengan menggunakan ketapel untuk mengisi waktu, hingga mengikuti kompetisi berburu dengan senapan angin.
“Hasil buruan hanya dikonsumsi. Dengan berburu, saya mulai tahu nama lokal burung. Hingga akhirnya setelah dirangkul TNBNW, saya mulai menyadari bahwa satwa ini terutama burung yang sering saya tembak harus dijaga kelestariannya,” ujar Ardin.
Pada satu titik, ketika kesadarannya mulai muncul, Ardin kemudian mengganti senapannya dengan kamera dan mulai menyenangi fotografi burung yang diperkenalkan oleh komunitas fotografi alam liar di Gorontalo. Kini, dia berhasil mendokumentasikan dan mengidentifikasi sekitar 79 jenis burung di TNBNW.
Selain menjadi anggota MMP di TNBNW, Ardin juga telah menjadi pemandu wisata dalam kelompok ekowisata di Desa Tulabolo yang berbatasan dengan kawasan taman nasional tersebut.
Sementara Basri Lamasese juga mengungkapkan masa lalunya sebagai pemburu burung menggunakan jerat. Dia juga menjual telur burung maleo [Macrocephalon maleo] di kawasan Batu Manangis, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
“Dari ayam hutan sampai maleo saya jual atau konsumsi. Titik balik saya, ketika saya dan teman-teman sadar berburu itu salah dan kami membentuk kelompok tani hutan tahun 2018. Saat itu kami membangun penetasan sederhana untuk maleo. Ini dilakukan swadaya, hingga sekarang,” ungkap Basri.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik KLHK, Indra Exploitasia, mengapresiasi Ardin dan Basri karena menjadi contoh baik bagi masyarakat. Mereka mampu membuktikan, berburu bukan mata pencaharian yang tepat.
“Indonesia punya 54 taman nasional, 500-an kawasan konservasi, serta sekitar enam ribu desa di kawasan penyangga. Ini menjadi tantangan bagi kami untuk merangkul warga desa penyangga sekaligus sebagai penjaga hutan terdepan,” jelasnya.