Mongabay.co.id

Musisi di Kalimantan Selatan Suarakan Isu Lingkungan Hidup Lewat Lagu

 

 

 

 

 

“Orangutan muda rumahnya di belantara…Dijaga papa dan mama…Yang kemarin masih ada kini tiada…Orangutan muda diculik perambah rimba…Dibawa paksa ke kota…Jadi hiburan manusia terpenjara…Au ah…Au ah… Orangutan…Orangutan akan jadi legenda…Orangutan gila karena manusia gila…Tak betah tinggal di kota…Dia rindu habitatnya di rimba…Orangutan murka mengamuk serang manusia…Manusia bawa senjata…Orangutan tertawa terbang ke surga.”

 

Orangutan Kalimantan, yang hidup dalam keterancaman ketika hutan sebagai habitat mereka terus tergerus. Foto: BOSF

 

Begitu sebagian lirik lagu berjudul Orangutan yang dinyanyikan Navicula, band asal Bali, yang hadir dalam “Tahura Music Festival” yang diselenggarakan Komunitas Kolektif Bilik Bersenyawa di Desa Mandiangin, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, 4 Juni malam lalu.

Acara yang diadakan guna menyambut Hari Lingkungan Hidup itu menghadirkan sembilan band lokal yang menyuarakan lagu-lagu bernuansa lingkungan hidup. Antara lain ada Muram, Wasaka, Rockapudink, The Replay, Petersally, Threedays, Last Project, Reggaein dan Democrust.

Ayub Simanjuntak, pembina Bilik Bersenyawa, mengatakan, rata-rata, band lokal menyajikan lagu-lagu bernuansa lingkungan hidup. Suarakan isu lingkungan hidup lewat lagu, katanya, jadi medium efektif karena mudah ditangkap masyarakat terlebih anak muda.

 

Robi Navicula kala manggung di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Foto: M Rahim A/ Mongabay Indonesia

 

Navicula, dengan lagu-lagu mereka yang dikenal nyaring dengan cerita kerusakan alam membawakan lagu seperti Busur Hujan, Biarlah Malaikat, Every Goes to Heaven, dan Mafia Medis dan Orangutan. Juga lagu Mafia Hukum, Kembali ke Akar, Di Rimba, Dinasti Matahari, Bali Berani Berhenti (Sampah) dan Metropolutan.

“Mari kita bergadang ditengah hutan,” teriak Gede Robi Supriyanto, pendiri dan vokalis band hijau, Navicula di hadapan ratusan anak muda.

Robi membawakan lagu Orangutan. Lagu ini buah kerjasama dengan Greendpeace Indonesia, Walhi dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam menyuarakan isu satwa terancam.

“Soal maraknya perkebunan sawit. Orangutan terancam karena hutan yang beralih fungsi,” kata Robi.

Lagu Orangutan, katanya, sebagai simbol kalau hutan sebagai habitat satwa terancam. Ada juga lagu mereka yang menyoroti pembalakan kayu ilegal di hutan lindung. “Kita juga merilis lagu Bubur Kayu menyoal tentang CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah).”

 

Hutan, tempat hidup manusia dan keragaman hayati yang terbabat untuk jadi kebun sawit di Ketapang. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Selain itu, Robi juga mengapresiasi Kota Banjarmasin yang mengurangi sampah plastik lewat regulasi. Banjarmasin, katanya, kota pertama yang mengeluarkan regulasi ini dalam Perwali Nomor 18/2016 tentang larangan penggunaan kantong plastik bagi ritel dan toko modern.

“Banjarmasin berani mengeluarkan kebijakan ini dan berani melawan arus. Akhirnya Bali ikut sebagai provinsi pertama juga. Provinsi selanjutnya Jakarta.”

Adapun Band Muram menyanyikan beberapa lagu seperti Api di Khatulistiwa, Rimba Membara, For’rest dan lain-lain. Petersally menyajikan lagu Bumi. Wasaka dengan lagu Kalimantan VS Everybody dan Kinipan. Adapun, Threeday dengan As Your Mind.

 

Robi Navicula (baju putih), di Tahura Music Festival. Foto: M Rahim A/ Mongabay Indonesia

 

Muhammad Jefry Raharja dari Advokasi dan Kampanye Walhi Kalimantan Selatan, mengatakan, festival musik ini jadi terobosan dalam menggerakkan anak muda di Banua suarakan isu lingkungan hidup.

Selain panggung musik juga ada ajang tanam pohon. Ayub mengatakan, bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan menyediakan 1.000 bibit pohon untuk dibagikan kepada anak-anak muda. Bibit-bibit ini ditanam di lingkungan masing-masing lalu posting di media sosial.

 

Ilustrasi. Bibit-bibit pohon yang akan ditanam untuk penghijauan Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 ******

Exit mobile version