Mongabay.co.id

Nasib Anyaman Rumbai di Muaro Jambi

 

 

 

 

 

Rasimah, duduk melantai di atas tikas rumbai di teras rumahnya, sore itu. Tangan perempuan 60 tahun itu terampil menyilang setiap helai rumbai, membuat kembut bujuh (sudut) enam.

Tak jauh darinya, Dahamid suami Rasimah, duduk santai di bangku panjang bertelanjang dada. Sembari menemani istrinya menganyam, cerita bagaimana dia dulu akhirnya memilih menikahi Rasimah. Mereka tinggal di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi.

Di Jambi Tulo, Rasimah dikenal sebagai perajin tikar. Keterampilan yang diwariskan orang tuanya dulu itu cukup membantu mereka memenuhi kebutuhan hidup. Rasimah kerap dapat pesanan tikar dari tetangga dan warga kampung sekitar Jambi Tulo. Selembar tikar rumbai berukuran 2×1 meter dijual Rp100.000.

Butuh proses panjang untuk membuat selembar tikar. Rumbai  (Scirpodendron ghaeri) yang baru diambil tidak bisa langsung dianyam. “Mesti disudip—proses membuang duri—dulu, dijemur duo hari, terus disaut atau dilemaskan, diembunkan dulu, baru biso dianyam.”

Rasimah perlu hampir satu minggu untuk menyelesaikan satu lembar tikar rumbai. “Sebenarnyo kalau hargo dak sesuai, tapi kekmano (bagaimana lagi) jual samo tetanggo itu dak enak kalau mahal-mahal,” katanya.

Desa Jambi Tulo, dahulu masyhur sebagai penghasil rumbai dan pandan. Desa penyangga Cagar Budaya Candi Muaro Jambi itu memiliki banyak rawa pasang surut yang jadi habitat rumbai dan pandan. Banyak warga desa lain juga mengambil bahan anyaman dari Jambi Tulo.

Selain Rasimah, ada beberapa perajin lain yang masih bertahan membuat anyaman tikar. Umumnya mereka telah berumur, tak sampai 10 orang. Penghasilan kecil jadi alasan banyak perempuan muda tak tertarik belajar menganyam rumbai. Mereka memilih bekerja di kebun dan ladang, sebagian mencari kerja di kota.

 

 

Kembut bujuh enam dari rumbai. Masyarakat Muaro Jambi menggunakannya sebagai tempat tangkal. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Sekitar delapan km dari Jambi Tulo, saya bertemu Muhaini. Di Desa Muara Jambi, terletak di pusat kompleks Candi Muaro Jambi, Muhaini dikenal piawai menganyam rumbai dan pandan. Dia belajar menganyam sejak usia 9 tahun. Kini dia sudah berumur 78 tahun.

Muhaini bisa membuat banyak motif anyaman, mulai bunga maruk, siamang bejawat, bunga melati, songket, bunga tampuk manggis, motif nyerong, terawang bungo sampai terawang pahat. Dahulu menganyam jadi rutinitas perempuan di Muaro Jambi ini sebelum tidur atau pulang dari kebun.

Dia menunjukkan saya sebuah lapik (anyaman tikar kecil) dengan motif terawang pahat berumur sekitar 200 tahun. Baginya, lapik itu punya kenangan khusus. Sekitar 64 tahun lalu ketika usia masih 14 tahun, Muhaini menikah dan duduk di atas lapik peninggalan nenek buyutnya itu.

“Adat orang Muaro Jambi kalau nikah pengantin duduk di atas lapik, nanti pinggirnya dihias kain biar cantik,” katanya.

Saya tertarik untuk melihat lebih detail. Lapik terawang pahat dibuat dua lapis. Bagian bawah dari anyaman rumbai, sementara lapisan atas dari pandan dengan rautan lebih kecil.

 

Warga sedang mengambil daun rumbai, untuk bahan anyaman. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Di bagian tengah anyaman terdapat lubang-lubang yang menunjukkan kesan terawang. Susunan lubang itu membentuk gambar menyerupai candi yang kelilingi motif pucuk rebung. Bagian pinggir dibungkus kain merah dan biru, orang Muaro Jambi menyebutnya kain kesumo.

“Ini kenang-kenangan, jadi sayo simpan. Biar keturunan sayo besok tahu bentuk lapik yang asli itu kayak ini.”

Sandiaga Salahudin Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sewaktu mengunjungi kompleks Candi Muaro Jambi awal Maret lalu juga tertarik melihat lapik terawang pahat.

Sandiaga bilang, pemerintah pusat berencana membuat kawasan Candi Muaro Jambi sebagai wisata berbasis sejarah di Indonesia.

Namun, Muhaini sadar tradisi menganyam rumbai dan pandan perlahan mulai pudar. Banyak generasi muda di Muara Jambi tak lagi bisa menganyam. Dia berharap tradisi menganyam tidak punah.

 

 

Kearifan lokal

Hampir semua adat budaya dan kearifan lokal di Jambi Tulo tak bisa terpisahkan dari anyaman.

“Mulai lahir, nikah, sampai orang mati butuh tikar,” kata Dahamid.

Tradisi di Muaro Jambi untuk bayi baru lahir hingga umur 40 hari mesti ditidurkan di atas lapik tujuh lapis. “Bagian bawah agak besar, ke atas makin kecil, makin kecil.”

Biasanya lapik dianyam oleh ibunnya saat bayi masih dalam kandungan.

Selain lapik, orang tua yang punya bayi juga membuat kembut bujuh enam untuk tempat tangkal. Masyarakat Muaro Jambi juga menyebutnya sumpit cangok. Mereka percaya bayi baru lahir harus dibuatkan tangkal untuk mencegah dari gangguan makhluk gaib.

Isinya, ada gunting lipat, jarum, kuku sinde, kencur, duan dringo, bengkle, jeruk nipis, bawang putih, bawang merah, kain hitam dan kayu sepang.

Rumbai lebih awet dibanding pandan sebagai bahan anyaman. Atap rumah yang dibuat dari rumbai bisa tahan 4-5 tahun. Masyarakat Muaro Jambi juga memanfaatkan rumbai untuk membuat kuntung atau jangken bentuknya mirip ambung, wadah padi saat memanen.

Meski tumbuh liar di rawa-rawa, mengambil rumbai tak bisa sembarangan. Ada waktu khusus mengambil rumbai sebelum dibuat anyaman. Biasanya, saat musim kemarau sebelum padi mulai berbunga. Kalau dilanggar, dipercaya padi bisa tak berbuah dan gagal panen.

 

Rasimah, perajin tikar rumbai di Desa Jambi Tulo. Foto: Yitno Suprapto// Mongabay Indonesia

 

Alih fungsi lahan

 Di tengah upaya menjaga kearifan lokal, warga Jambi Tulo justru berhadapan dengan ancaman kerusakan lingkungan hidup karena alih fungsi lahan yang tak bisa dibendung.

“Tahun 1997, itu sawit masuk. Orang mulai nanam sawit, perusahaan jugo masuk,” kata Adi Ismanto, warga Muaro Jambi.

Sejak itu, tutupan hutan di Muaro Jambi terus menyusut dan rawa-rawa perlahan mengering. Rumbai dan pandan yang dulu tumbuh subur mulai tergusur.

Rawa di hutan Pematang Damar, Payo Batang Bagan, Pesaken Leban yang sebelumnya menjadi habitat rumbai kini hancur. “Sekarang sudah habis, jadi sawit galo (semua).”

Adi mengajak saya melihat tanaman rumbai yang masih tersisa tak jauh dari hutan Pematang Damar. Tanaman yang masuk dalam suku teki-tekian itu terlihat kurang subur di antara kebun sayur.

Berhimpitan memenuhi aliran sungai kecil dengan daun yang kuning.

“Kalau dulu waktu masih banyak pohon, itu daunnyo panjang-panjang biso sampai empat meteran. Lebar-lebar terus hijau. Kalau sekarang lihat dewek, daunnya kecil-kecil, pendek-pendek.”

Habitat rumbai dan pandan di Desa Muara Jambi juga terancam alih fungsi lahan. Payo Terjun Gajah, Payo Rimbo Terbakar, dan rawa di daerah Teluk sekarang berubah menjadi sawah, kebun karet dan perkebunan sawit. Dampaknya, sebagian perajin tikar di Muara Jambi harus beli rumbai dan pandan dari Tanjung Jabung Timur.

Satu ikat rumbai Rp50.000. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan para perajin harus beli lembaran rumbai yang dulu banyak tersedia tanpa bayar di alam.

“Rumbai ini bukan sekadar anyaman, sudah jadi bagian kearifan lokal yang dak biso diganti. Kalau rumbai habis, budaya orang Muaro Jambi jugo bakal hilang.”

 

Muhaini menunjukkan lapik terawang pahat –anyaman dari rumbai–berusia 200 tahun peninggalan nenek buyutnya. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

********

Exit mobile version