Mongabay.co.id

Cerita Harimau: Mati di Agam, Lepas Liar di Kerinci Seblat

 

 

Kasus kematian harimau seakan datang beruntun. Belum lama ini beberapa harimau ditemukan mati di Aceh, terkena jerat, tak lama kabar kematian juga datang dari Sumatera Barat.

Puti Maua, harimau Sumatera yang sedang menjalani perawatan di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD) Arsari, mati pada 8 Juni lalu.

Dokter hewan Patrick Flaggellata, Manager Operasional Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD) Arsari mengatakan, sejak harimau pertama kali masuk rehabilitasi 12 Januari 2022, pemeriksaan medis menunjukkan Puti terindikasi mengidap helmintiasis, defisiensi nutrisi dan limfositosis.

Mesti kondisi harimau betina asal tanah Agam ini membaik, mulai sakit lagi 18 Mei lalu. Gejalanya, feses lembek bewarna putih kapur dan ada luka di beberapa bagian tubuh serta miasis. Pakan daging tak habis Puti makan.

“Kita pengecekan feses. Hasilnya, terdapat telur toxocara dan strongiloides,”katanya 9 Juni lalu.

Tim medis PRHSD berkonsultasi dengan Dedi, dokter hewan dari BKSDA guna memberikan penanganan terbaik bagi Puti.
Pada 26 Mei, dilakukan pembiusan untuk membersihkan luka miasis dan pengambilan sampel pendukung diagnosa.

 

Tim medis bersama harimau Puti Mau yang mati karena sakit saat menjalani proses perawatan di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PRHSD) ARSARI. Foto: Dokumen PRHSD-ARSARI

 

Miasis adalah luka karena invasi belatung—ada lalat pada jaringan tubuh– hingga terjadi kerusakan pada jaringan.

Dari uji laboratorium, hasil kimia darah total protein Puti, sedikit tinggi. “Sampel darah dan feses juga dikirim ke Balai Veteriner Bukittinggi, sampai sekarang belum keluar,” kata Flaggellata.

Kondisi Puti dalam masa 27 Mei-5 Juni 2022, terpantau membaik ditandai nafsu makan dan minum sudah normal. Begitu juga luka miasis, 70% membaik ditambah perilaku kembali agresif dan responsif.

Namun, katanya, Puti kembali menunjukkan gejala kurang sehat. Pada 6 Juni, Puti tak mau makan. Siang hingga sore hari, kondisi kian memburuk dengan memperlihatkan gejala napas sesak dan dangkal.

“Juga hipersalivasi dan kondisi mulut Puti berbuih. Feses dengan skor empat berwarna kehitaman. Kita berikan pengobatan atropin sulfat dan nebul salbutamol.  Terlihat sedikit terbantu dengan buih dan hipersalivasi berkurang.

 

Menurut Flaggellata, kesokan harinya tim medis menemukan bagian mulut Puti ada bekas darah dan masih mengalami hipersalivasi. Tim kembali melakukan upaya nebul salbutamol, dan atropin sulfat. Mereka juga berikan injeksi vitamin seperti vit C, hematodin dan biodin.

“Kita juga memberikan bantuan spraying larutan penyegar lantaran kondisi mukosa Puti pucat. Kita sempat inject dengan vitamin K untuk penghentian darah. Juga membantu menyuapi. Puti masih mau makan namun susah, hanya bisa masuk makanan dua kilogram.”

Pada 7 Juni, tim kembali memberikan makan dan obat oral. Puti sama sekali tak mau makan. Hanya minum dengan perkiraan napas 80 x permenit. “Pagi hari 8 Juni 2022 sekira pukul 5.00 WIB. Puti ditemukan tak bernyawa. Suhu badan masih hangat.” Flaggellata bersedih.

Sejak berdiri Juli 2017 sudah 14 harimau dirawat PRHSD. Dari jumlah itu, tujuh berhasil dilepasliarkan, empat mati dalam proses rehabilitasi. “Saat ini, ada tiga harimau yang menjalani perawatan,” kata Tito Suryawan, Humas YAD.

Harimau terakhir lepas liar PRHSD bernama Lanustika pada Maret 2022, masuk rehabilitasi September 2021. Ia harimau betina dari Teluk Lanus, Riau.

 

Puti Maua, adalah harimau yang berhasil diselamatkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Resor Maninjau dari lokasi konflik di Jorong Kayu Pasak Timur Nagari Salareh Aie Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam. Puti masuk kandang jebak 11 Januari 2022. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Akhir kisah Puti Agam

Puti Maua, adalah harimau Sumatera yang berhasil diselamatkan tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam Resor Maninjau dari lokasi konflik di Jorong Kayu Pasak Timur, Nagari Salareh Aie, Kecamatan Palembayan, Agam.

Puti masuk kandang jebak pada 11 Januari 2022. Dugaan waktu itu, Puti keluar Cagar Alam Maninjau dan memasuki pemukiman warga lantaran kekurangan pakan karena ada kasus penyakit African Swine Fever (ASF). Penyakit yang menyerang babi ini menyebabkan kematian massal babi hutan di Agam.

Lima bulan Puti berada dalam pengawasan dan menjalani seluruh rangkaian rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya. Puti pun dijadwalkan akan dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya. Bahkan, lokasi calon rumah baru yang akan ditempati Puti Maua sudah di survei. Namun, nasib Puti tak se elok nasib dua harimau Sumatera bernama Surya Manggala dan Citra Kartini yang sudah kembali ke rumahnya di Taman Nasional Kerinci Seblat,

Sunarto, Research Associate Institute for Sustainable Earth & Resources (I-SER), Universitas Indonesia, mengatakan, penyebab kematian Puti perlu diteliti lebih mendalam. Misal, terkait penyakit. “Itu asal mulanya dari mana. Apakah ada kaitan dengan ternak yang sempat dimangsanya? Bagaimana risiko harimau lain juga terhadap ancaman penyakit seperti itu?”

Belum lagi upaya lain untuk konservasi harimau dan pencegahan konflik, misal, terkait kondisi habitat, koridor, ketersediaan mangsa. Semua, katanya, memerlukan kajian dan pemantauan serta perbaikan terus-menerus. “Itu tidak mungkin hanya dikerjakan satu kementerian. Diperlukan kerjasama dan sinergi antar-sektor, di berbagai tingkatan administrasi pemerintahan dan dukungan masyarakat luas.”

 

Surya, baru lepas liar di TNKS. Foto: BKSDA Sumut

 

Harimau dari Sumut lepas liar

Sementara kabar menggembirakan datang dari Sumatera Utara. Dua harimau Sumatera yang lahir di pusat rehabilitasi lepas liar ke alam, 7 Juni lalu.

Surya Manggala dan Citra Kartini, berpisah dengan induk mereka, Gadis dan ayahnya, Monang, setelah hidup bersama 3,5 tahun di Suakasatwa harimau Sumatera Barumun yang dikelola Yayasan Parsamuhan Bodichita Mandala Medan ini.

Citra dan Surya dibawa dengan jalur jalan darat dari Suaka Barumun Tapanuli Selatan melalui Kota Padangsidimpuan–Penyabungan– Bukit Tinggi–Solok Surian–Sungai Penuh Kerinci menuju Bandara Depati Parbo, Kerinci, Jambi. Jaraknya sekitar 636 km.

Setelah menempuh perjalanan darat selama 16 jam lebih, sepasang harimau Sumatera ini tiba di bandara kemudian diangkut dengan helikopter menuju zona inti Taman Nasional Kerinci Seblat untuk lepas liar di dua lokasi berbeda.

Irzal Azhar, Pelaksana Teknis Kepala Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut) mengatakan, sebelumlepas liar, telah dilakukan langkah-langkah persiapan pada 3-4 Juni 2022. Keduanya, diberi GPS Collar untuk memantau pergerakan harimau pasca lepas liar.

“Data hasil pemantauan ini sangat penting sebagai bahan evaluasi dan pengelolaan harimau di masa mendatang di habitat alaminya,” katanya. Mereka juga cek kesehatan.

 

Teguh Ismail, Kepala Bidang Pengelolaan TNKS Wilayah I Jambi mengatakan, pemilihan pelepasliaran Surya dan Citra di TNKS, berdasarkan hasil kajian cepat dan survei lapangan.

Hasilnya, lokasi lepas liar ini merupakan habitat ideal dan memiliki pakan cukup bagi harimau. Lokasi ini berada di zona inti TNKS dan jauh dari pemukiman masyarakat hingga cocok untuk lepas liar.

Survei BBTNKS dan Fauna & Flora Internasional (FFI) 2005-2021 dengan kamera pengintai berhasil mengidentifikasi 93 harimau di TNKS. Pada 2021-2022, sekitar dua harimau sudah lepas liar di sana.

Surya dan Citra, merupakan anak dari orangtua yang diselamatkan dari konflik dengan manusia. Konflik harimau di Sumut seakan tak pernah sepi. Berdasarkan data BBKSDA Sumut dan jajaran Polda Sumut, konflik harimau terjadi, mulai muncul ke pemukiman memakan ternak warga hingga terjerat pemburu.

Dalam 2022 sampai April saja, ada beberapa kasus, seperti harimau masuk pemukiman dan memakan dua lembu warga 14 April lalu di Desa Nagori Parmonangan, Kecamatan Jorlang Hataran, Simalungun.

Setelah mendapat laporan, BKSDA bersama kepolisian dan petugas PTPN IV menyisir sekitar lokasi dan mendapatkan jejak-jejak harimau di area perkebunan sawit.

Sugito dan Parsito, pemilik dua lembu memberikan kesaksian kalau lembu-lembu mereka tengah merumput.

Irzal mengatakan, dari observasi lapangan diduga harimau sudah dewasa terlihat dari jejak kaki.

Dia meminta masyarakat waspada dan tak melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan kehidupan satwa, seperti tak membunuh, memburu dan tak pasang jerat.

“Jika si raja hutan muncul diharapkan warga segera memberitahukan kepada pihak-pihak terkait termasuk petugas agar bisa diambil tindakan cepat, ” katanya.

Pada 22 April lalu juga harimau terkena jerat di perladangan warga di Dusun Pardomuan, Desa Batu Godang , Kecamatan Angkola Sangkunur, Tapanuli Selatan. Jerat dipasang warga untuk memburu babi namun kena harimau dengan kaki terjerat seling yang terikat di batang pohon.

Monang, ayah Surya dan Citra. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Irzal bilang, tim pengecekan lokasi melihat harimau terlilit kawat seling dalam keadaan lemas. Pada 24 April, dokter hewan Anhar Lubis dan tim medis mencoba melakukan pertolongan pertama dengan menembak bius harimau.

Tak disangka-sangka, harimau menyerang dan mengenai tangan Anhar. Harimau lari menjauh memasuki hutan. Tim langsung mengevakuasi Anhar ke rumah sakit terdekat. Tim lain terus memantau harimau.

Hariyo T. Wibisono, Direktur Yayasan Sintas Indonesia mengatakan, untuk konflik harimau dan manusia di Sumut sebagian besar terjadi di bentang alam yang sudah rusak.

Begitu juga yang terjadi di Sumatera Barat dan Riau. Jadi, kondisi eksisting memang tak memadai untuk harimau karena sebagian besar kawasan sudah terdegradasi dan terisolasi satu dengan yang lain.

Keadaan ini menyebabkan, sisa bentang alam yang kecil tidak memadai untuk mendukung populasi harimau.

Dugaan lain, katanya, penurunan satwa buruan seperti babi hutan karena ada virus flu babi Afrika.

Harimau, katanya, perlu tiga hal, pertama, hutan yang kini banyak terambah hingga merusak kualitas air mereka. Kedua, tersedia mangsa sehat. Ketiga, kebutuhan ruang aman untuk berbiak dan menjelajah.

Harimau, katanya, perlu ruang jelajah luas hingga memerlukan habitat yang luas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Habitat-habitat luas itu praktis sudah tak ditemukan di Sumut, Sumbar dan Riau,” katanya.

Dengan banyak ternak warga jadi mangsa, katanya, perlu menggalakkan pengelolaan hewan-hewan ternak ‘ramah’ harimau seperti penempatan di kandang.

Dia sarankan, sedapat mungkin mencegah penyusutan habitat harimau dengan -peraturan dan pengamanan memadai. Juga sedapat mungkin meminimalisir aktivitas manusia yang merusak.

 

Persiapan harimau mau rilis ke Taman Nasional Kerinci Seblat, sebelum berangkat ke bandara, Juni 2022. Foto: BKSDA Jambi

 

*******

 

Exit mobile version