- Gunung bukanlah tempat sampah.
- Namun fenomena ini terjadi di Gunung Penanggungan, di jalur pendakian Desa Tamiajeng, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Para pendaki banyak meninggalkan sampah.
- Umumnya, sampah plastik yang dipungut adalah kemasan mie instan beserta plastik bumbunya, sachet minuman, dan tissue basah.
- Trashbag Community yang melakukan aksi pungut sampah di Gunung Penanggungan, mengumpulkan sampah sebanyak 20 kilogram. Bahkan, pada 17 Agustus 2020, sampah yang diangkut hampir 200 kilogram.
Sekitar 30 orang berkumpul di depan pos pemberangkatan pendakian Gunung Penanggungan, di Desa Tamiajeng, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Mereka adalah pemuda yang tergabung dalam Trashbag Community, Komunitas Nol Sampah Surabaya, Aliansi Zero Waste Indonesa, Sea Soldier, serta sejumlah mahasiswa pencinta alam dari beberapa kampus di Jawa Timur.
Malam itu mereka bersiap mendaki Gunung Penanggungan, dengan membawa sejumlah perlengkapan seperti tenda, kantong tidur, lampu senter, serta kantong sampah ukuran besar. Mereka mendaki sembari memungut sampah plastik, bentuk kampanye kepada para pendaki bahwa “Gunung Bukan Tempat Sampah”.
Perlu waktu sekitar dua jam perjalanan dari pos keberangkatan hingga ke pos empat. Sementara dari pos empat ke pos puncak bayangan butuh waktu satu jam, pos terakhir sebelum menuju puncak pawitra di Gunung Penanggungan dengan ketinggian 1.653 mdpl.
Baca: Ingat, Mendaki Gunung Itu Ada Etika
Mereka menyebar di puncak bayangan, memungut botol dan sampah plastik hingga puntung rokok. Satu jam melakukan operasi bersih-bersih, mereka turun dengan membawa sejumlah kantong berisi sampah. Total, 20 kilogram.
Daffa’ Arif Fadillah, Ketua Trashbag Community Jawa Timur, mengatakan mulung sampah merupakan bentuk edukasi bagi para pendaki.
“Kesadaran para pendaki menjaga gunung dari sampah masih sangat rendah,” ujarnya, baru-baru ini.
Dalam setiap aksi, Trashbag Community selalu mencatat volume dan jenis sampah yang dikumpulkan. Umumnya, sampah plastik yang dipungut adalah kemasan mie instan beserta plastik bumbunya, sachet minuman, dan tissue basah. Aksi terakhir mereka lakukan pada 17 Agustus 2020, dengan membawa turun sampah seberat hampir 200 kilogram.
“Biasanya kami lakukan tiga bulan sekali, tapi berhenti saat masa pandemi” terang Arif.
Baca: Rindu Berat Para Pendaki, Tidak Bisa Naik Gunung Selama Pandemi
Aksi serentak
Trashbag Community yang didirikan 11 November 2011, sering melakukan aksi serentak di sejumlah gunung di Indonesia, saat memperingati hari jadinya.
“Kami ingin memberi contoh, sekaligus mengajak generasi muda peduli lingkungan,” lanjut Arif.
Dia berharap, aksi ini akan menjadi perhatian para pemangku kebijakan untuk lebih memperhatikan kelestarian lingkungan di pegunungan. Peraturan dan sanksi tegas perlu dibuat agar pendaki atau wisatawan tidak membuang sampah sembarangan.
“Di Jawa Timur, Gunung Semeru telah menerapkan aturan ketat dengan memeriksa dan mendata apa saja yang dibawa pendaki. Ini contoh baik yang harus diikuti pengelola gunung lain,” imbuhnya.
Baca juga: Mendaki Gunung, Bukan Hanya Menikmati Keindahan Alam
Mahasiswa pencinta alam [Mapala] Universitas Muhammadiyah Surabaya, Mohammad Fatih, mengungkapkan keprihatinannya akan kondisi gunung yang dikotori sampah.
“Sedih, apalagi kami menemukan botol plastik isi urine. Ini menunjukkan mereka berani naik gunung tapi tidak berani keluar tenda untuk buang air, malah meninggalkan sampah,” ungkapnya.
Rasa malas, lanjut Fatih, biasanya mendominasi para pendaki untuk enggan buang sampah pada tempatnya, apalagi membawa turun. Padahal, mereka paham menangan sampahnya.
“Minimal, bawa botol yang bisa dipakai ulang,” terangnya.
Fatih mengatakan, saat ini banyak gunung yang dipenuhi sampah para pendaki atau wisatawan.
“Kami pernah mendaki gunung di Makassar, tahun 2017. Ada tujuh truk yang datang untuk mengangkut sampah,” paparnya.