Mongabay.co.id

Konstantius Saleo, Penggerak Konservasi dari Yensawai Barat

 

 

 

 

 

Pengalaman kelam keluarga tak menyurutkan langkah Konstantinus Saleo, menjadi sosok penggerak konservasi di Raja Ampat, Papua Barat.

Dia masih duduk di bangku SMA ketika ayahnya dibunuh oleh pembalak liar. Pria 27 tahun ini, tak gentar tetap meneruskan semangat sang ayah, menjaga kelestarian laut Pulau Batanta dan sekitar.

Batanta, merupakan salah satu pulau penting bagi kawasan konservasi Perairan Raja Ampat. Secara keseluruhan, diperkirakan ada 553 jenis karang dan rumah dari 70% jenis karang di dunia, 1.456 jenis ikan karang, 699 jenis molusca, lima jenis penyu dan 16 jenis mamalia laut di Raja Ampat.

Namun, kekayaan perairan itu mendapat tantangan pada 2002 karena marak praktik penangkapan ikan merusak ekosistem perairan.

Waktu itu, masyarakat masih gunakan bom, jaring dan racun yang bisa membunuh karang-karang itu, tak terkecuali di Batanta.

Ayah Konstan, Leonard Saleo, tokoh masyarakat yang gerah atas praktik yang tak berkelanjutan itu. Kala itu, Leonard tergabung dalam LSM lingkungan, Conservation International, sebagai kordinator lapangan.

 

Konstantinus dan sebagian masyarakat Yensawai menyiapkan terumbu karang sebelum ditanam. (kredit: Dok. ICCTF/PKSPL)

 

Dia memiliki tugas patroli dan mengamankan wilayah Batanta Utara. Leonard juga kerap memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga lingkungan pada masyarakat.

“Karena waktu itu masyarakat masih ngebom di depan kampung, tebar jaring (untuk tangkap ikan),” kata Konstan.

Untuk mengakali praktik ini, ayahnya sampai harus membeli alat operasi masyarakat yang merusak ini. Setelah itu, ketua kelompok penangkap ikan diajak berpatroli mengamankan wilayah.

Selain orang dewasa, Leonard juga menyasar anak-anak. Salah satu cara unik yang dipakai beliau dengan masuk ke sekolah dasar dan memberikan edukasi lewat permainan.

Leonard memberikan game tentang hubungan manusia dan alam. Inti dari permainan yang dia ajarkan adalah menanamkan ide ‘ketika alam tiada, manusia juga tiada’ pada anak-anak.

“Itu yang kami pegang sampai,” kata Konstan.

Sayangnya, perjuangan sanga ayah hanya sampai 2010. Kala itu, Leonard dibunuh pembalak liar saat sedang berpatroli.

Aksi pembalak liar ini meresahkan Leonard. Pasalnya, praktik itu mereka lakukan untuk memangkas pohon-pohon masif untuk dijual ke Sorong.

Di tengah patroli rutin, Leonard yang mendapat informasi soal aksi para pembalak di Pulau Dayan langsung tancap gas menangkap tangan mereka. Jaraknya sekitar 30 menit kalau ditempuh dengan speedboat dari Yensawai.

“Bapak ngecek ke sana, di situ terjadi pembunuhan,” katanya.

 

Konstantinus bersama dengan siswa-siswi SMA Raja Ampat. Foto: dokumen Konstantinus Saleo

 

Bermula dari homestay

Konstan merupakan putra Yensawai yang sempat merantau ke luar. Pada 2012-2016, dia kuliah di Universitas Pembangunan Negeri ‘Veteran’ Surabaya dan didapuk sebagai Sarjana Hubungan Internasional.

Konstan memilih pulang kampung. Sekalipun, pernah diajak mendaftarkan diri menjadi diplomat di Korea Selatan lewat Kementerian Luar Negeri, tetapi itu ditolaknya.

Konstan lebih terpanggil jadi sosok seperti Leonard. Apa lagi, pasca kematian ayahnya, praktik pengambilan ikan tak berkelanjutan mulai bermunculan lagi.

“Sedikit-sedikit, tapi tidak seperti awal. Beberapa orang mengambil ikan dengan bom tapi sudah tidak dekat kampung. Mereka lakukan jauh dari kampung. Penggunaan jaring dan potasium juga masih dilakukan,” katanya.

Salah satu penyebab, tidak ada pengganti Leonard. Sosok yang bisa mengontrol masyarakat untuk tidak melakukan praktik merusak.

Konstan pun berinisiatif bisa meneruskan langkah Leonard. Bedanya, Konstan memilih jalan lebih aman untuk melindungi laut.

“Kalau bapak orangnya keras. Prinsip dia kalau sudah A ya A, B ya B. Jadi dia pasti akan melawan mereka yang melanggar.”

Konstan masuk lewat jalur konservasi dengan mendirikan rumah singgah (homestay). Menariknya, rumah singgah ini didirikan di Pulau Dayan yang pernah memberikan cerita kelam pada Konstan. Pulau ini merupakan bekas pos jaga yang kerap dipakai Leonard.

Rumah singgah yang diberi nama Dayan Homestay itu dibangun Konstan bersama dengan kakaknya pada 2016. Sebelum ada usaha ini, banyak aktivitas merusak ekosistem laut seperti menggunakan bom dan jaring di sekitar.

Tidak ada orang atau patroli membuat praktik itu awet di Dayan. Padahal, tidak jauh dari sana ada tempat ikan pari manta (Manta birostris). Manta dilindungi lewat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 4/2014 tentang perlindungan ikan pari manta.

Pendirian rumah singgah membuat para pencari kan menjauh. “Masyarakat Raja Ampat, tahu ketika ada homestay di satu lokasi, kawasan itu terlindungi. Jadi mereka tidak akan berani mengambil sesuatu di situ,” kata Konstan.

Di rumah singgah, Konstan tak hanya menawarkan paket menginap, juga wisata seperti menyelam hingga berkunjung di air terjun di Yensawai.

Jarang sekali tempat usaha ini sepi. Pernah dalam satu pekan, Konstan menerima kunjungan 36 wisatawan padahal kapasitas kamar hanya untuk delapan orang.

“Saya sempat tolak, hanya mereka mau di situ sampai akhirnya saya bukakan kamar darurat supaya mereka senang,” kata Konstan.

 

Pesisir Batanta. Foto: Richaldo Y Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Komunitas anak pesisir

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang mengahantam seluruh dunia dirasakan Konstan. Sejak 2020, Dayan Homestay jadi sepi pengunjung, hampir tak ada aktivitas.

Beberapa pelonggaran aktivitas sosial oleh pemerintah belakangan ini hanya bisa menarik turis domestik. “Pernah ada kosong 1-3 bulan. Kalaupun ada tamu itu paling satu bulan sekali.”

Sebagian orang di Raja Ampat yang mengandalkan hidup dari pariwisata seperti Konstan banting setir jadi penangkap ikan. Konstan tetap mencari jalan untuk lingkungan.

Dari semangat itu, Konstan melahirkan komunitas yang diberi nama Anak Pesisir Raja Ampat (APERA). Dalam gerakan ini, Konstan menjadi pendorong anak-anak usia dini di Yensawai untuk melakukan berbagai kegiatan konservasi alam.

Dalam komunitas ini, Konstan mengedukasi tentang konservasi. Terlihat kemiripan antara Konstan dan Leonard.

Keduanya mengajar tentang konservasi dengan buku dan film. “Saya tanamkan pada mereka jaga alam dan apa yang kita lihat hari ini supaya bisa dinikmati ketika mereka dewasa bersama anak-cucu.”

APERA pun mengumpulkan sampah-sampah yang terbawa arus laut. Karena aketerbatasan fasilitas pengelolaan membuat sampah hanya bisa dibakar ataupun dipendam di darat.

 

Demi terumbu karang

Salah satu mimpi besar APERA saat itu adalah merehabilitasi terumbu karang rusak di Yensawai. Praktik penangkapan ikan dengan bom dan kail yang dilakukan selama bertahun-tahun membuat karang di sekitar Yensawai rusak.

Imbasnya, ikan-ikan pun sulit ditemui hingga masyarakat melaut jauh dari Batanta. “Sekitar 50 meter terumbu karang rusak di dekat dermaga,” kata Konstan.

Niat Konstan dan APERA merehabilitasi karang sejalan dengan proyek coral reef rehabilitation and management program-coral triangle initiative (CORMEAP-CTI).

Pada 2020, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB) sebagai mitra pelaksana, tengah mencari lokasi proyek rehabilitasi ekosistem pesisir.

Apa yang sudah dilakukan Konstan dan Leonard di Yensawai rupanya menjadi modal penting bagi program ini. Pasalnya, salah satu indikator lokasi implementasi adalah kesiapan dan kemauan masyarakat memperbaiki lingkungan mereka.

Robba Fahrisy Darus, ahli lamun PKSPL IPB, mengaminkan hal ini. “Masyarakat di sini (Yensawai Barat) bisa diajak maju, akses dan penerimaan juga bagus,” katanya.

Konstan didapuk sebagai Koordinator Ekosistem Pesisir di Yensawai. Di bawahnya, ada ketua rehabilitasi karang, mangrove dan lamun.

 

Konstantinus Saleo, di Pesisir Barat Pulau Batanta. Foto: Richaldo Y Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

Sejak Agustus 2020-Maret 2022, proyek yang didanai World Bank dan dikelola Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)-Kementerian PPN/Bappenas ini telah menghabiskan US$869.000. Dengan ekosistem yang berhasil direhabilitasi mencapai 7.530 propagul mangrove, 1.521 rumpun bibit lamun dan 1.650 fragmen karang.

Khusus terumbu karang, luasan rehabilitasi ekosistem mencapai 100 meter persegi di Batanta. Yang menarik, Konstan menghasilkan terobosan dengan membuat media tanam ramah lingkungan.

Awalnya, seperti yang kerap dipakai sebagai media penanaman terumbu karang, pipa polyvinil chloride (PVC) dipilih Konstan dan kelompok ekosistem terumbu karang. Inisiatifnya pun berkembang gunakan metode rock pile.

Dengan metode ini, Konstan tak membawa material yang dapat menyebabkan limbah seperti PVC ke dalam lautan. Dia gunakan batu atau karang yang sudah mati sebagai media merekatkan potongan karang.

“Kita pakai karang mati di laut untuk dibentuk dan jadi tempat karang baru hidup,” kata Konstan.

Inisiatif merehabilitasi karang sambil mengurangi sampah laut membawanya pada penggunaan semen sebagai media perekat karang. Semen dibentuk menyerupai Manta dan Penyu.

Metode ini sudah dijalankan sejak awal bulan April. Di darat, dia sudah menyiapkan cetakan berbentuk penyu dan manta sebagai media tanam Terumbu Karang.

“Saya membuat ini juga karena rencana saya untuk mengurangi sampah,” katanya.

Rehabilitasi terumbu karang di area seluas 300 meter persegi. Lokasi dekat dermaga, karena sudah rusak bertahun-tahun.

Kelompok rehabilitasi terumbu karang ini beranggotakan 20 orang. Kebanyakan anak-anak muda.

“Supaya ada regenerasi setelah kami,” kata Konstan.

Tugas utama kelompok ini adalah mencatat pertumbuhan karang yang sudah ditransplantasi dan membersihkan dari alga yang bisa membuatnya kalah bersaing dan mati.

Kegiatan itu penting secara rutin dalam tiga bulan pertama masa penanaman. Periode ini, masa krusial menentukan keberhasilan rehabilitasi karang.

Penanaman pada kedalaman 3-6 meter. Pertimbangannya, masyarakat tak perlu pakai scuba untuk menyelam di kedalaman lebih jauh.

Sejauh ini, kerja keras Konstan dan masyarakat Yensawai bisa disebut berhasil. Hal ini bisa dilihat dari terumbu karang tumbuh sampai 90%.

Sejak penanaman Maret 2021, sudah ada pertumbuhan 5-12 cm. Terbilang cepat, karena rata-rata pertumbuhan karang hanya 4-5 cm per tahun.

Ikan-ikan pun, kata Konstan mulai banyak datang dan dapat dilihat dengan mata telanjang dari dermaga di Batanta.

“Sekarang masyarakat sudah bisa memancing di sekitar pulau. Tapi harus pakai alat pancing tradisional, bukan bom…”

Konstan belum puas. Dia bertekad terus melakukan upaya konservasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir seumur hidup.

Motivasinya hanya satu: generasi di Raja Ampat dan Distrik Batanta masih bisa melihat apa yang Konstan nikmati saat ini.

“Saya ingin semua orang, termasuk masyarakat sini, masih kenal apa itu mangrove, lamun dan karang. Karena itu akan saya jaga terus tiga ekosistem ini.”

 

 

 

********

Exit mobile version