Mongabay.co.id

Air Mata Dugong Hanya Mitos, Hentikan Perburuan

 

 

Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan habitat berbagai satwa laut, salah satunya mamalia laut bernama dugong [Dugong dugon]. Di berbagai daerah, dugong memiliki nama sendiri, seperti disebut sapi laut atau bagi masyarakat luas lebih dikenal dengan nama duyung. Di Indonesia, dugong termasuk satwa dilindungi yang saat ini menghadapi ancaman kepunahan.

Mikaela Clarissa, pendiri Tamang Dugong, lembaga nonpemerintah yang fokus pada perlindungan dan pelestarian dugong di Indonesia, mengatakan populasi dugong terindikasi terjadi penurunan. Dikhawatirkan, jika tidak ada tindakan serius kelestarian dugong bakal hilang.

“Ada beberapa faktor yang membuat dugong rentan. Waktu reproduksinya cukup lama, sekitar 14 bulan mengandung dan membutuhkan 10 tahun untuk tumbuh dewasa. Interval mating [perkawinan] beragam, mulai dari 2,5 tahun sampai 5 tahun,” ungkap Clarissa dalam Bincang Alam Mongabay, Kamis, 17 Juni 2022.

Selain faktor reproduksi yang cukup lama, kondisi habitat dugong yaitu padang lamun yang berkurang, telah menjadi penghambat populasinya. Diperkirakan, berdasarkan data hanya 5 % padang lamun yang tergolong sehat, 80 % kurang sehat, dan 15 % tidak sehat dari 1,507 km persegi luas padang lamun di Indonesia.

Sementara, faktor manusia ikut memberikan kontribusi besar pada ancaman kepunahan dugong; seperti terjaring atau terperangkap pada alat tangkap nelayan, serta tertabrak kapal nelayan atau wisata. Juga, penangkapan untuk diperjualbelikan daging atau bagian tubuhnya, yakni taring dan air matanya yang dianggap magis.

“Masih banyak yang menganggap bahwa dugong itu menangis dan air matanya berkhasiat. Itu salah besar dan hanya mitos,” ujar Clarissa.

Baca: Ada Apa dengan Dugong?

 

Dugong yang kita kenal juga dengan nama duyung. Foto: Pixabay/Public Domain/dietmaha

 

Dalam buku berjudul “Dugong Bukan Putri Duyung” yang ditulis Anugerah Nontji [2015], dijelaskan bahwa salah satu pemanfaatan dugong yang terkenal di Indonesia [juga di Filipina dan Malaysia] adalah air mata dugong.

Apabila dugong diangkat keluar dari air, maka kelenjar air matanya akan mengelurkan cairan yang dikenal sebagai air mata duyung. Banyak kalangan percaya bahwa air mata ini dapat dijadikan sebagai pengasih [pemelet]. Air mata duyung ini dapat dicampur dengan parfum dan bila digunakan disertai jampi jampi tertentu, dapat membuat lawan jenis jatuh hati [kepelet].

Di beberapa toko online, ketika dilakukan pencarian dengan kata kunci “air mata duyung”, akan banyak ditemukan orang berjualan minyak duyung dan juga tulang iga duyung dengan harga bervariasi. Mulai paling murah sekira puluhan ribu Rupiah hingga paling mahal hingga  satu jutaan Rupiah.

Baca: Indonesia Terus Berupaya Lestarikan Dugong dan Padang Lamun dari Kepunahan, Bagaimana Caranya?

 

Dugong yang terpantau di wilayah perairan Kabupaten Alor, NTT. Foto: WWF-Indonesia/Tutus Wijanarko

 

Dilansir dari laman Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, dugong dimanfaatkan orang untuk berbagai keperluan. Mulai kulit, daging dan lemak, tulang, gigi yang berupa gading, hingga semua isi perut. Hal ini menyebabkan masih maraknya perburuan dugong. Namun umumnya dugong dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi, obat-obatan, pernak-pernik hiasan, dan budaya masyarakat setempat.

Selain diambil taring dan dagingnya, banyak mitos beredar di masyarakat akan khasiat air mata dugong sebagai hal berbau kepercayaan adat. Padahal fakta ilmiahnya, air mata dugong tersebut adalah proses biologis. Lendir yang keluar untuk menjaga kelembaban mata ketika dugong muncul ke permukaan air.

Dugong sering diburu diambil minyaknya. Dipercaya, minyaknya bisa dimanfaatkan untuk untuk menyembuhkan penyakit tuberkulosis [TBC], nyeri persendian, dan melancarkan peredaran darah. Sedangkan taringnya sering digunakan untuk pembuatan pipa rokok.

Padahal keberadaan dugong di alam sangatlah penting. Perannya sebagai pengendali ekosistem laut tidak bisa digantikan oleh biota laut lain. Sebagai pemakan lamun, dugong biasa memakannya dengan cara mengaduk substrat yang ada di bawah pasir laut. Cara tersebut membantu siklus nutrien di alam dan menyuburkan tanah yang ada di bawah perairan.

Baca juga: Padang Lamun, Gudang Karbon yang Terancam Punah

 

Ilustrasi. Seekor duyung memakan lamun di perairan Filipina. Foto : Jürgen Freund/WWF

 

Dalam penelitian berjudul “Penyadartahuan Masyarakat dan Ancaman Terhadap Dugong di Provinsi Sulawesi Tengah”, disebutkan kondisi dugong di daerah tersebut yang genting. Lokasi penelitian di Kepulauan Togean, Teluk Tomini, hingga di Banggai Kepulauan.

Diperkirakan, persebaran dugong telah menurun dan hanya sedikit lokasi ditemukan keberadaannya dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut Mikaela Clarissa, untuk mencegah ancaman perburuan terhadap dugong maka proses edukasi harus dilakukan terus menerus dan berkepanjangan guna mengubah kebiasaan, perilaku, dan kepercayaan masyarakat yang masih memanfaatkan dugong. Salah satunya, bisa dilakukan melalui edukasi di platform digital seperti media sosial.

“Ini peran buat kita semua, memberitahukan kepada yang masih percaya dengan mitos tentang air mata duyung, agar mulai menghentikan perburuan dugong,” ujarnya.

 

Exit mobile version