Mongabay.co.id

Atas Nama Sungai Citarum (Bagian 3)

 

 

Tiga jam sudah, Kuswara (60) merengkuh jaring memungut ikan-ikan yang terjebak di bawah jembatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Di atas sampan kayu yang dibuat dengan ongkos Rp4 juta itu, ia baru mengumpulkan 2 kilogram ikan dari Sungai Citarum.

“Dalam sehari tanggkapan ikan biasa dapat sampai 5 kilogram. Itu pun tergantung kondisi air. Kalau sedang jelek ya kadang tidak dapat ikan,” kata Kuswara ditemui beberapa waktu lalu.

Mencari ikan bukan sekedar rutinitas biasa bagi Kuswara. Sebab, sepertiga umurnya dihabiskan di sungai. Beroperasi sejak kokok ayam jago pagi hari, diakhiri kumandang adzan dzuhur. Sisanya, adalah menjual ikan dan pulang ke rumah.

“Sekilonya saya jual Rp15-20 ribu tergantung ukuran dan jenis ikannya,” tutur Kuswara yang mulai kehilangan ikan-ikan lokal asli Citarum.

baca : Pemulihan Citarum untuk Dunia (Bagian 1)

 

Kuswara (60) menangkap ikan menggunakan jaring di Sungai Citarum di daerah Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hilangnya ikan seperti beunteur, lalawak, lempuk, dan kebogerang tidak hanya berpengaruh pada rupiah yang didapat Kuswara, tapi juga mencekik penghidupan warga lainnya. Para pembudidaya ikan keramba di Waduk Saguling dan Cirata, misalnya, kerap mengeluh rugi karena diduga ikan mereka terkontaminasi timbal dan zat kimia berbahaya.

Perubahan warna dan bau limbah, membuat anak-anak kampung di bantaran sungai tak lagi belajar berenang secara otodidak di sungai. Barangkali anak-anak masa kini sudah kehilangan sungai. Dan itu membikin orang tua cemas.

Menurut Peneliti Yayasan Tunas Nusa, Ramalis Sobandi, kecemasan itu muncul akibat sulitnya akses terhadap air bersih. Kesialan berlipat ganda bagi mereka yang tinggal di koridor industri berpolutan. Residu mulai dari cerobong asap pembakaran batu bara, jalur comberan yang menyengat karena limbah hingga urusan MCK yang ruwet menjadi sisi lain kehidupan warga.

Hidup bergantung pada aliran sungai tercemar berat, masa depan mereka menjadi taruhan yang tidak menguntungkan. Tapi mau bagaimana lagi, kemiskinan membuat warga sekitar Sungai Citarum tak punya pilihan kecuali menggunakan air yang tercemar. Maka, penyakit pun membayangi hidup mereka.

baca juga : Reuni Para Jenderal di Kaki Wayang (Bagian 2)

 

Air dari sungai yang tercemar limbah rumah tangga mengalir ke bak atau sumur penampung fasilitas MCK umum di Kampung Ciwalengke, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto : Prima Mulia

 

“Kehidupan (kota-kota) di Cekungan Bandung diprediksi akan mengalami permasalahan ketahanan pangan dan neraca air berkurang secara luas akan mulai dirasakan pada 2024,” kata Ramalis dihubungi via telepon beberapa waktu lalu.

Berdasarkan penelitiannya di Rancaekek, Kabupaten Bandung, Ramalis menemukan potensi ancaman stunting atau tubuh pendek akibat gangguan gizi kronis. Selain faktor kemiskinan yang membuat masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya secara seimbang. Akumulasi dari pencemaran ditengarai menjadi faktor yang paling dominan memperparah resiko terkena stunting.

Ibu hamil dan anak-anak berusia 6-24 bulan memiliki risiko gangguan kardiometabolik. Gangguan itu meningkatkan risiko penyakit tak menular, seperti penyakit jantung dan diabetes melitus, saat dewasa.

Paling parah adalah keterbelakangan mental, katanya. Persoalan tak kasat mata ini jangan dianggap sepele. Sebab stunting mengancam kualitas sumber daya manusia dan produktivitas bangsa 20-30 tahun ke depan.

“Rancaekek sudah tercemar secemar-cemarnya. Air irigasi di musim kering isinya kasur, sampah dan lain-lain. Di musim penghujan, terkontaminasi air limbah dan logam berat. Jadi ada residu kimia dari pupuk, ada residu dari pabrik ada residu dari domestik,” ujar Ramalis.

perlu dibaca : Citarum Harum, Simbol Keseimbangan Hidup Manusia dengan Alam

 

Seorang perempuan memandikan adiknya memakai air dari sumur penampung yang airnya bersumber dari sungai tercemar limbah rumah tangga di Kampung Ciwalengke, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto : Prima Mulia

 

Laporan Konsekuensi Tersembunyi: Valuasi Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran Industri tahun 2016, menyebutkan 933,8 hektare lahan pesawahan 4 desa di Rancaekek tercemar berat. Diketahui bahan beracun berbahaya (B3) sudah terkominasi pada lapisan tanah.

Laporan yang disusun oleh Greenpeace dan Koalisi Melawan Limbah itu juga merunut indeks kualitas dan kuantitas air yang terus menurun selama 12 tahun. Diidentifikasi pula beragam logam berat seperti Timbal (Pb), Merkuri (Hg) kromium (Cr), tembaga (Cu) dan Seng (Zn) ada di Sungai Cikijing. Tidak menutup kemungkinan sumber air warga pun terkontaminasi.

Namun, sejak laporan itu diterbitkan belum ada pembaharuan data. Saat dikonfirmasi, Muharram Atha Rasyadi, Urban Campaigner at Greenpeace Southeast Asia, mengatakan Greenpeace sudah tidak lagi kampanye Citarum sejak 2017.

Momentum Citarum kembali muncul setelah Gary dan Sam Bencheghib, dua kakak beradik bule Perancis, meviralkan dengan mendayung sampan berbahan botol plastik bekas mengarungi Sungai Citarum. Sorotan mata internasional sukses membetot pemerintah pusat untuk bergerak. Hasilnya, peraturan presiden khusus DAS Citarum dengan program selama 7 tahun ditandatangani pertengahan tahun 2018.

baca juga : Yang Hilang Dari Pinggiran Citarum

 

Foto udara aliran limbah yang mencemari Sungai Citarum di daerah Rancamanyar, Kabupaten Bandung, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Di empat bulan program Citarum Harum berjalan, pemerintah mengultimatum perusahaaan-perusahaan di daerah aliran sungai untuk membenahi instalasi pembuangan air limbah dalam tiga bulan.

Pelaku usaha diminta berkomitmen agar tidak lagi membuang limbah berbahaya ke sungai. Kini, ada sekitar 2.700 pabrik di DAS Citarum. Ironisnya, baru diketahui jika hanya 20 persen perusahaan yang memiliki IPAL berfungsi dengan baik.

Agaknya, ada saja perusahan yang bebal. Perubahan warna Citarum kembali terjadi di akhir Mei 2022 lalu. Warna Sungai Cimerta di Padalarang berubah merah. Menurut Direktur dari Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nety Widayati, dikutip kompas.com, penyebab air anak Sungai Citarum berwarna merah adalah karena pembuangan serbuk pewarna pakaian.

 

Akar persoalan

Sebenarnya profil Citarum sebagai sungai terkotor sudah kesohor lama. Di era Presiden Soeharto kebijakan pembenahan sungai sudah digulirkan. Barangkali, karena rendahnya penghargaan terhadap keberadaan Sungai Citarum membuat nestapa itu enggan beranjak hingga saat ini.

Bencana banjir yang kerap diributkan itu, mungkin karena hutan-hutan yang dulu dijaga wangatua dan dedemit dijarah hingga punah, gersang, dan boyak. Akhirnya, kelalaian itu menjadi simalaka.

Bom waktu begitu terasa di Waduk Saguling. Tingkat erosi parah telah mengurangi daya tampung bendungan. Waduk pertama yang menampung air Sungai Citarum mesti menanggung sedimentasi hingg 5 juta meter kubik per tahun.

Menurut Manager Sipil Lahan dan Lingkungan PT IP Saguling POMU, Novi Haryanto, perairan Waduk Saguling ini seolah menjadi septic tank dari limbah rumah tangga maupun limbah pabrik yang dimuntahkan dari wilayah Bandung Raya melalui sungai Citarum. Perubahan kualitas air di perairan Waduk Saguling ini terjadi sejak dua dekade lalu.

Padahal, dengan memperhitungkan kebutuhan air di masa datang, air Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur bisa menjadi alternatif sumber pemenuhan air baku minum. Baik untuk penduduk sekitar waduk, maupun penduduk perkotaan seperti Jakarta dan Bandung yang jumlah dan kebutuhannya terus meningkat. Apalagi, cadangan air tanah di dua kota besar tersebut, dari tahun ke tahun makin merosot.

baca juga : Mengharumkan Kembali Kegiatan Perikanan di DAS Citarum

 

Foto udara kondisi Sungai Citarum di kawasan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dibalik itu, kerugian Sungai Citarum pernah dikalkulasi oleh Koalisi Melawan Limbah. Dalam laporannya, biaya pemulihan hanya di area Rancaekek saja butuh sekitar Rp11,4 triliun. Bagaimana dengan daerah lainnya? Agaknya, jika setiap kerugian dikonversi ke rupiah akan terus memancing hutang luar negeri.

Jika dirunut rekam jejak pemulihan Sungai Citarum, pendanaan besar memang berasal dari Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2008. Pembiayaan itu senilai Rp6 triliun berlangsung dalam jangka 15 tahun. Terbaru, ADB juga memberikan pinjaman kembali senilai Rp1,4 triliun. Dana tersebut dipakai untuk penanganan permasalahan salah satunya sampah di program anyar Citarum.

Utang-utang luar negeri Indonesia atas nama Sungai Citarum bukan sedikit angkanya. Namun sejauh mana keberhasilannya? Barangkali menjadi pertanyaan umum yang menuntut ketegasan dalam menjabarkannya.

Apalagi, Sungai Citarum mungkin memegang rekor terlama dengan biaya sangat besar dalam proses menaklukan masalah banjirnya dan membersihkannya dari limbah industri dan limbah rumah tangga.

Pembicaraan mengenai pencemaran Sungai Citarum Hulu sudah hampir tiga dasawarsa lalu menjadi bahan telaah yang tak habis-habisnya. Berbagai produk hasil kajian seperti roadmap, rencana aksi nasional, rencana aksi daerah telah dihasilkan melalui berbagai pertemuan dari meja ke meja dengan berbagai stakeholder.

baca juga : Dua Perusahaan Cemari DAS Citarum Kena Hukum Rp16,26 Miliar

 

Aktivitas warga di bantaran Sungai Citarum di Rancamanyar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Oleh karena itu, menurut Dosen Fakultas Ilmu Hukum Universitas Parahyangan, Tristam, persoalan yang membelenggu Citarum memang tidak bisa ditangani aturan yang bersifat ad hoc. Sebab nanti dalam penanganannya hanya akan meributkan persengketaan wewenang.

Ia percaya, bahwa pemeritah tidak kekurangan informasi apapun tentang Citarum. Namun, data-data yang semestinya jadi kebijakan, malah jarang digunakan sebagai landasan secara utuh. Sebab kebijakan melulu ditafsirkan sebagai perundang-undangan. Padahal yang tertulis diatas kertas, acapkali bias dalam tataran pelaksanaan.

Sebenarnya, persoalan Sungai Citarum berkaitan dengan erat pula dengan pertambahan jumlah penduduk, pendidikan dan penghasilan rendah. Karena tiga hal itu berkaitan dengan perilaku. Tanpa disadari masyarakat, ternyata penyumbang terbesar dari pencemaran Sungai Citarum selain limbah cair pabrik industri adalah sampah domestik.

 

Foto udara suasana di TPA Sarimukti, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Setidaknya, Penggiat Budaya Hawe Setiawan mengamini jika polemik di Citarum juga tentang degradasi budayanya. Tumbuh dan beranak pinak di lingkungan tercemar, bukan tidak mungkin membentuk kebiasaan “kotor”.

Dengan kata lain, jika lingkungan sebuah desa, sebuah kota, bahkan sebuah negara bermasalah, problem itu bisa jadi dipicu oleh masalah lain yang menyangkut perilaku penduduknya. Jika sehat orang bisa lebih berdaya untuk menaikkan taraf hidupnya. Kira-kira begitu jalan pikiran Hawe.

Maka, kata Hawe, menyikapi persoalan Citarum butuh nalar yang mesti lebih panjang daripada panjang sungai. Sebab, di Indonesia, aturan-aturan tertulis atau tak tertulis tak mempan membuat orang menjadi disiplin untuk dirinya sendiri. Barangkali juga tak cukup kuat membuat patuh para pejabat, karena ternyata dalam urusan Sungai Citarum saja banyak sekali institusi yang punya wewenang.

 

 

Exit mobile version