Mongabay.co.id

Cerita Orang Moi Menjaga Hutan Klasow

 

 

 

 

Pohon-pohon rimbun di kanan kiri Jalan Trans Papua Barat yang membelah hutan menemani kami saat menuju hutan Klasow, di Kampung Malagufuk, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat.   Sesekali mobil harus melewati jalan di atas tebing hingga tersuguh hamparan indah laut di sebelah barat ujung Papua.

Debi Wiranti, Communication Associate Yayasan EcoNusa, pertengahan Maret lalu bersama beberapa awak media melihat pengelolaan hutan alam di Malagufuk.

Selepas jalan menuju dermaga ke Pulau Um, kami berganti mobil gardan ganda 4WD karena harus melewati tikungan dan tanjakan ekstrem. Belum lagi, kondisi jalan kurang bersahabat. Demi keselamatan, mobil pertama yang ditumpangi pun kami tinggalkan.

Sejak 2014, Suku Moi yang yang hidup bergantung hutan ini memutuskan mengembangkan ekowisata di Malagufuk. Hutan alam masih terjaga.

 

Kadal ekor biru Papua di hutan Klasow, di Kampung Malagufuk, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Dari tepi jalan terlihat pepohonan tegak menjulang. Orang harus mendongak untuk melihat pucuk-pucuk pohon setinggi sekitar 40 meter.

Ada jembatan kayu menembus hutan sepanjang 3.305 meter ke dekat perkampungan di kedalaman hutan Papua ini. Jembatan selebar dua meter dibangun di lantai hutan setinggi 1-2 meter ini tercatat sebagai jembatan kayu terpanjang di Indonesia. Ia memecahkan rekor Muri. Ia dibangun untuk memudahkan wisatawan dan warga melintas dengan tetap mempertimbangkan kehidupan satwa.

“Kampung Malagufuk jadi contoh bagaimana ekowisata mampu memberi kesejahteraan warga sekaligus hutan tetap lestari. Sehari-hari mereka tinggal di dalam hutan, dan mengambil manfaat langsung dari hutan,” kata Debi.

Sejak 2020, Yayasan EcoNusa melakukan serangkaian kegiatan di Kampung Malagufuk seperti pemetaan hutan dan potensinya dengan memanfaatkan teknologi GPS.

 

Jamur kayu pink dari Hutan Klasow, di Kampung Malagufuk, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Pengakuan hak

Torianus Kalami, Ketua Pemuda Generasi Malaumkarta (PGM) mengatakan, kondisi hutan tetap terjaga baik. “Hutan tidak ditebang. Itu bisa dilihat. Di beberapa tempat sudah ada penurunan karena ada yang mengambil kayu hutan, tapi di Malagufuk justru tidak,” katanya.

Tori berasal dari Suku Moi di Kampung Malaumkarta. Dia merintis gerakan pemuda menjaga hutan dan memperjuangkan hak atas tanah adat. Inisiatif itu disambut baik warga dari kampung lain seperti Suatut, Sutolo, Wenbulu, dan Malagufuk.

Pada 2017, lahir Peraturan Daerah Nomor 10 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Moi di Sorong. Suku Moi., dalam perda itu disebut orang asli Papua di Sorong. Di Sorong, Moi terbagi jadi delapan sub suku, yaitu Kelim, Sigin, Abun Taat, Abun Jii, Klabra, Salkhma, Lemas, dan Maya. Mereka melakukan pertemuan besar setiap lima tahun dalam forum bernama Sabalo.

Ada juga Peraturan Bupati Nomor 17 tentang Daftar Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Kampung. Secara garis besar perbub ini mengakui dan memberi kewenangan masyarakat adat di Kabupaten Sorong untuk menentukan batas dan mengelola kampung.

 

Hutan Klasow di Kampung Malagufuk, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat. Hutan terjaga lestari.. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Marga Moi di lima kampung bersama-sama memetakan batas kampung, sekaligus menginventarisasi potensi dan merencanakan pengelolaan wilayah adat. Salah satu hasil penting adalah pengakuan tanah adat/ulayat.

Wilayah adat diatur sebagai lahan komunal atau bersama, tak boleh diubah status penguasaan dan pemanfaatannya. Tanah ulayat merupakan seluruh sumber daya alam dan sumber daya budaya. Di dalamnya terdapat tumbuhan, satwa liar, sungai, dan mata air. Di dalam wilayah adat/ulayat bisa terkandung tanah adat, hutan adat, kawasan pesisir, dan pulau adat.

“Kami sudah selesaikan peta adat, dengan potensinya. Itu penting karena itu legal standing bahwa kami ada di situ. Di dalam peta potensi itu ada hutan, ada goa, terumbu karang, dan situs-situs bersejarah. Itu jadi satu kesatuan. Kami mendorong hutan adat itu disahkan Bupati Sorong, sampai KLHK.”

 

Amos Kalami, Kepala Kampung Kampung Malagufuk, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Tradisi adat

Menurut Tori, kesadaran masyarakat menjaga kelestarian hutan sudah bagus. Di sini, ada tradisi adat seperti kambik, merupakan proses pendidikan nilai-nilai adat Suku Moi bagi generasi penerus. Leluhur mereka mengajarkan hutan adalah ibu kandung atau Tam Sinih yang memberi perlindungan dan penghidupan. Kalau pohon di hutan ditebangi, mka siklus kehidupan bakal terenggut.

“Ada burung yang makan buah-buahan di pohon. Ada hewan makan buah jatuh. Ada kangguru tanah, babi hutan, dan rusa. Mereka makan dari sana. Mereka hidup dari pohon-pohon itu. Kalau semua ditebang bagaimana mereka mau hidup?”

Tahun lalu, misal, PGM mendorong tradisi egek, yaitu larangan memanfaatkan sumber daya alam di suatu kawasan dalam kurun waktu tertentu. Keputusan itu mendapat dukungan dari berbagai marga.

Awalnya, berlaku hanya untuk tiga marga yaitu Kalami Malagufuk, Kalami Kinipilik, dan Malasamuk. Kebetulan wilayah yang didiami marga ini berada di dekat jalan raya hingga lebih terbuka didatangi pemburu.

Amos Kalami, Kepala Kampung Malaumkarta, mengatakan, selain secara adat, egek juga mendapat dukungan gereja. Hingga aturan larangan mengambil sumber daya alam jenis-jenis tertentu makin kuat mengikat warga.

“Hampir semua jenis satwa dan tumbuhan kami lindungi. Yang bisa kami buru hanya babi dan rusa. Yang lain tidak. Termasuk ular. Selama hewan itu tidak menyiksa manusia ya sudah tenang saja. Ikan-ikan di kali juga demikian. Kami makan ikan gabus, tapi dipancing. Kalau jaring kami larang. Jerat kami larang,” kata Amos.

Cenderawasih masih menjadi incaran para pemburu. Bulu indah jadi hiasan penutup kepala. Ia dijual sebagai souvenir, harga bisa Rp1,5 juta. Dalam bentuk awetan, harga burung maskot Papua ini bisa belasan hingga puluhan juta rupiah. Yang masih hidup dua kali lipatnya.

“Bagi yang melanggar ada sanksi kalau kami lihat dan terbukti. Pernah ada orang harus bayar denda Rp50 juta burung satu saja.”

Ancaman tak hanya datang dari para pemburu juga perusahaan perkebunan sawit yang mengincar hutan alam Papua. Sejumlah perusahaan telah bercokol di Sorong dan menyulap hutan hujan tropis menjadi kebun sawit.

Dampaknya, hutan hancur begitu juga satwa yang menghuni hutan terancam, terdesak dan berpindah ke hutan tersisa.

“Ancaman itu sangat besar. Di beberapa wilayah secara ekologis sudah ada penurunan ekosistem. Kayu ditebangi untuk sawit. Satwa lari, babi hutan lari, rusa masuk ke wilayah masih utuh,” kata Tori.

Alih fungsi hutan itu, misal, terjadi di Kampung Malalilis, Distrik Klayili. Distrik ini berbatasan dengan Distrik Makbon tempat Kampung Malagufuk berada, Klaso, Sayosa, Klamono, Aimas, dan Sorong.

 

Hutan Klasow di Kampung Malagufuk. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Pengamatan burung

Hutan Klasow Malagufuk adalah hutan hujan tropis yang lembab. Di sini mudah menemukan kayu dan tanah berlumut di lantai hutan. Beberapa ditumbuhi jamur kayu dari warna putih kecoklatan hingga pink. Di hutan ini jadi spot ciamik mengamati satwa, seperti beragam burung, termasuk cenderawasih.

Hanya seratusan meter memasuki hutan melewati jembatan kayu, telinga akan dimanjakan kicauan burung aneka jenis.

Pengunjung juga bisa menyaksikan sungai kecil di dalam hutan. Air jernih dan segar. Beberapa jenis anggrek terlihat menempel di pohon. Tanpa binokuler, saya sendiri burung merpati hutan di sarang yang cukup rendah.

Warna bulu burung kehijauan. Di bagian kepala berwarna terang. Jarak kami pun hanya terpaut tiga meter tetapi burung seolah tak terganggu. Di sela-sela akar sebuah pohon muncul kadal ekor biru, tak berapa lama lalu menghilang di balik pohon..

Menurut eBirds.org, sebuah proyek global yang dimulai pada 2002, dan melibatkan pengamat burung dari seluruh dunia, menempatkan Malagufuk sebagai satu dari lima tempat di Papua yang paling banyak dikunjungi para pengamat burung dunia. Tempat favorit lainnya, adalah Nimbokrang, Waigeo Barat, Sorong, dan Pegunungan Arfak.

Dari 658 spesies burung yang dilaporkan di seluruh Papua, 154 spesies teramati di Malagufuk. Jenis-jenis yang teramati antara lain perling ungu (Aplonis metallica), nuri ara besar (Psittaculirostris desmarestii), walet polos (Aerodramus vanikorensis), cenderawasih kecil (Paradisaea minor), dan julang irian (Rhyticeros plicatus). Ada pula, kasuari gelambir tunggal, dan aneka jenis cenderawasih.

“Selain burung ada juga landak, ular, kangguru pohon, kangguru tanah. Berbagai jenis anggrek. Kebanyakan yang ke Malagufuk adalah wisatawan asing. Lokal ada tapi sedikit. Dalam buku tamu itu dari 2014-2021 sekitar 400 orang.”

Secara ekonomi, kata Amos, warga Kampung Malagufuk sangat terbantu dengan kunjungan pengamat burung dari berbagai penjuru dunia ini. Mereka menjual jasa sebagai pemandu lokal, porter, menyiapkan makanan bagi pengunjung, hingga pentas tarian. Rata-rata para wisatawan bermalam selama tiga hari. Sebagian dari mereka lalu meneruskan ke Raja Ampat, atau sepulang dari tempat itu baru singgah di Malagufuk.

“Kami ada kasuari jinak. Bahasa Moi itu awis. Itu sangat luar biasa. Ia bergaul dengan kami, padahal itu bukan hewan peliharaan. Kami hidup bersama di hutan, mereka datang kami beri makan. Wisatawan sangat suka. Ada juga burung taun-taun (rangkong), yang kami sudah akrab. Mereka bawa teman-teman, lebih banyak datang lagi.”

Selain jembatan kayu berbahan dasar merbau yang diresmikan Juli tahun lalu, ekowisata Malagufuk dilengkapi fasilitas dua homestay. Rumah panggung sederhana terbuat dari kayu menjadi tempat bermalam tamu.

Kadang mereka kedatangan tamu rombongan hingga meski diinapkan di rumah-rumah warga, namun tak semua tamu merasa nyaman. Pengelola menyediakan listrik dan air mandiri. Jaringan internet sudah tersedia, yang memudahkan pengunjung berkomunikasi.

“Ada spot-spot baru yang sudah disiapkan tim kami dari pemuda kampung. Mereka yang paham soal di mana ada ular, landak, burung, kangguru. Mereka sudah taruh koordinat di GPS. Sudah buat track juga hingga kalau ada tamu yang berminat bisa antar,” kata Tori.

Ekowisata mengubah pola kehidupan warga kampung Malagufuk. Kini, mereka tak harus berjalan tiga kilometer keluar hutan untuk menjual hasil tangkapan seperti rusa atau babi hutan. Juga untuk jual pisang atau keladi ke pasar. Kini, mereka cukup menyuguhkan kepada para tamu.

Ada uang berputar di Malagufuk yang bisa dinikmati warga. Mereka juga tak tertarik menebang pohon atau sekadar menangkap burung, karena hutan dan burung telah memberikan penghidupan nyata.

“Hutan ini milik kami, hutan menjadi kekayaan bagi kami. Apapun yang terkandung dalam hutan kami jaga dan jadi sumber penghidupan,” kata Amos.

 

*********

 

Exit mobile version