Mongabay.co.id

Nelayan Tradisional Pulau Obi Terhimpit Kapal Pajeko dan Rumpon

 

 

 

Hamka La Isa, nelayan tradisional Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, berdiri paling depan dari kerumunan aksi massa di pelataran Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Maluku Utara, awal Juni lalu. Lelaki 51 tahun ini berorasi lantang, menyampaikan keluh para nelayan tradisional dari Obi.

Hamka dan nelayan tradisional di Obi resah. Sejak dua tahun terakhir, hasil tangkapan mereka menurun drastis. Mereka terhimpit aktivitas kapal dengan alat tangkap pajeko (mini purse seine) dan rumpon bertonase besar di selat Pulau Obi. Selat ini wilayah tangkapan nelayan kecil.

Torang tara bisa mangael. Tara bisa mancari, ikan mati samua. Dorang kase datang pajeko dari luar daerah yang berskala besar… Bikin tong kesulitan dapat ikan,” katanya.

Hamka bersama empat nelayan dari Obi datang jauh-jauh ke Sofifi, ibukota Malut hanya ingin menyampaikan langsung kepada pemerintah, dan DPRD Malut masalah yang tengah mereka hadapi.

Ongkos ke ibukota mereka dapat dari patungan kelompok nelayan di Obi.

Hamka, Ketua Aliansi Nelayan Obi—bersama Sarwo La Jiwa, Alfi La Udu, Ade Ai, Anto dan Muhammad, nelayan asal Obi, mewakili aspirasi nelayan.

Para nelayan ini didukung puluhan mahasiswa yang ikut bersolidaritas.

“Saya berserta teman-teman nelayan, tara tau bicara aturan dan segala rupa dan Undang-undangnya,” kata Hamka.

“Hari ini, torang datang (di ibukota provinsi) cuma mau sampaikan keluhan, agar torang bisa melanjutkan (melaut) dan bisa sekolahkan anak-anak.”

Sejak dua tahun terakhir, nelayan di Pulau Obi kesulitan mendapatkan hasil tangkap karena pajeko bertonase besar dan rumpun dicurigai melibas ikan-ikan di wilayah tangkapan mereka.

“Ikan-ikan disini habis. Torang nelayan kecil sulit dapat hasil tangkap karena adanya pajeko milik pengusaha,” katanya.

 

Aksi nelayan Obi di Ternate, protes banyak kapal pajeko dan rumpon di wilayah tangkap nelayan tradisional. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Dari temuan lapangan para nelayan, ada empat pajeko lokal dan empat dari luar beroperasi di wilayah tangkapan nelayan tradisional ini. Pajeko-pajeko ini milik pengusaha.

Hamka menilai, operasi ilegal itu mengancam ruang tangkapan nelayan kecil di Obi.

Nelayan kecil, katanya, harus mengeluarkan rata-rata 20-50 liter bahan bakar, paling sedikit, kadangkala lebih, tetapi hasil tak sebanding pengeluaran.

“Jadi, pengeluaran lebih besar dari pendapatan. Kalau lalu-lalu (sebelum ada pajeko dan rumpon ilegal), nelayan setidaknya bisa sejahtera.”

Dia dan nelayan disana sudah melayangkan surat beberapa kali ke pemerintah kabupaten untuk menertibkan aktivitas ilegal itu, namun, tak digubris.

Hamka dan ratusan nelayan Obi kemudian demo di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dan DPRD Halmahera Selatan.

Mereka meminta, pemerintah setempat ambil langkah menertibkan rumpon dan pajeko, mendesak pemerintah melarang seluruh pajeko berukuran besar beroperasi. Termasuk, membuat peraturan daerah (perda) untuk mengatur jalur penangkapan ikan dan penempatan alat tangkap.

Sayangnya, pemerntah daerah tak punya wewenang karena semua kebijakan dilimpahkan ke provinsi.

Sarno La Jiwa, nelayan Pulau Obi, berkata, ikan sasaran tangkap nelayan kecil sudah terjaring habis pajeko, hingga pendapatan makin menurun.

“Bahkan kadang tidak mendapatkan hasil melaut. Akibatnya, torang tidak punya pemasukan dan terlilit utang,” katanya.

Sarno dan nelayan Obi, sebagian besar terpaksa harus melaut jauh hingga di perairan Pulau Taliabu, Papua dan sekitar. Kondisi ini, katanya, sangat berisiko tetapi itu mesti mereka lakukan untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Nelayan juga menemukan, setidaknya ada 53 rumpon terpasang berdekatan di Selat Obi. Menurut Sulton Umar, koordinator aksi Aliansi Nelayan Obi, penempatan rumpon juga melanggar ketentuan hukum dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No 18/2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

Temuan lapangan, nelayan setidaknya ada 53 rumpon terpasang berdekatan. Pada aturan itu, Pasal 16 poin (a) menegaskan, jarak antar rumpon harus berjarak 10 mil. Pada poin (f) menyatakan, pemasangan rumpon tak ditempatkan pada alur pelayaran.

“Kondisi lapangan, pemasangan rumpon di perairan Selat Obi tak sampai 10 mil laut, bahkan keterangan nelayan hanya dua sampai tiga mil laut dan mengganggu pelayaran karena dipasang zig-zag,” kata Sulton.

Rumpon di perairan Selat Obi juga sebagian besar tak menyertakan papan tanda pengenal sesuai Permen KP 18/2021 seperti di Pasal 19 yang mengatur tiap rumpun harus mencantumkan nama pemilik, nomor surat ini pemasangan rumpon dan titik koodinat rumpon.

 

Para nelayan di Pulau Obi, demo ke Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara. Mereka keluhkan hasil tangkap turun karena banyak rumpon dan pajeko beroperasi di wilayah tangkap mereka di Selat Obi. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

***

Kalau melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara, produksi perikanan tangkap di Halmahera Selatan sejak 2018-2020, tertinggi dari seluruh kabupaten dan kota.

Aksi ini setidaknya punya titik terang. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Maluku Utara langsung mengirimkan surat kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Maluku Utara.

Ada dua poin utama jadi pertimbangan dalam surat itu, pertama, terkait pelanggaran dalam penetapan Permen KP No 18/2021, dimana hampir seluruh rumpon di Halmahera Selatan tak memiliki izin.

Kedua, aktivitas nelayan pajeko di perairan Pulau Obi, yang melakukan penangkapan ikan dan alat bantu rumpon telah merugikan nelayan kecil (tradisional) di sekitar perairan.

Untuk menghindari konflik antar nelayan dan berdasarkan pertimbangan teknis iru, sebut surat itu, DKP Malut meminta Dinas Penanaman Modal dan PTSP Malut dapat membekukan sementara izin dari kapal pajeko di perairan Selat Obi. “Dengan membuat surat edaran bagi para pemilik kapal pajeko sampai penertiban rumpon dan IUU Fishing oleh DKP Malut,” kata surat yang ditandatangani Abdullah Asagaf, Kepala DKP Malut ini.

Sugiharsono, Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP Malut, mengatakan, DKP Malut bersama tim pengawas segera kunjungan ke Pulau Obi dalam waktu dekat. Mereka masih berkoodinasi untuk mendapatkan operasional ke Halmahera Selatan diantara 14-20 Juni 2022.

DKP Malut, katanya, sudah mendapatkan data terkait rumpun ilegal yang beroperasi di perairan selat Obi itu. Dengan laporan masyarakat, mereka akan bertindak secepatnya dan menertibkan pajeko dan rumpon.

Saat audiens di Kantor Gubernur Malut, Bambang Hermawan, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) berkata, sejak 2018 tak ada izin untuk pemasangan rumpon.

“Kalau ada rumpon-rumpon yang jaraknya sekadar satu mil, dua mil padahal ketentuannya di atas 10 mil dengan batasan 12 mil, itu ilegal,” katanya.

Bambang mengantongi data dari tim teknis DKP. Dari situ, mereka akan operasi dan pengawasan walaupun sulit karena pendanaan terbatas.

“Tahun 2022, kami sudah ada anggaran pengawasan, khusus pengawasan izin yang diterbitkan. Untuk rumpon saya janji pengawasan langsung bersama dengan DKP,” katanya.

 

Ilustrasi. Nelayan tradisional dengan perahu kecilnya sedang menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Soal izin penangkapan ikan, baik penampungan penangkapan ikan (SIPPI), maupun surat izin penangkapan ikan (SIPI) oleh pemerintah provinsi rata-rata satu sampai 10 GT saja. Tidak ada yang lebih 10 GT karena kebanyakan kapal nelayan lokal hanya kapal-kapal kecil.

“Hanya kapal penangkap tuna satu sampai lima GT, memang tidak dikeluarkan izin hanya tanda daftar kapal hingga yang perlu kita lakukan adalah pengawasan terhadap penangkapannya.”

Dari aksi dan pertemuan itu, nelayan bersama kelompok mahasiswa bertekad mengawal tuntutan penertiban pajeko dan rumpon ilegal.

Dalam konferensi pers, mereka menegaskan beberapa hal. Pertama, mendesak pelaku usaha rumpon dan pajeko di Selat Obi patuh surat edaran pemberhentian sementara operasi rumpon dan alat tangkap purseline (pajeko) di perairan selat Obi.

Kedua, Dinas Kelautan dan Perikanan harus menjalankan nota kesepakatan, akan melakukan penertiban rumpon dan perikanan ilegal di wilayah perairan Halmahera Selatan pada 14-20 Juni 2022 bersama nelayan dan stakeholder terkait.

Ketiga, mendesak DPRD Malut segera membuat perda mengatur jalur penangkapan ikan dan penempatan alat tangkap ikan yang berpihak terhadap nelayan kecil di Halmahera Selatan.

Hamka dan para nelayan mendesak pemerintah mengambil tindakan serius pada para pengambil ikan ilegal itu. Kalau tidak, katanya, mereka akan ambil langkah tegas memberhentikan sendiri aktivitas ilegal di perairan Obi itu.

“Kami tahu risikonya seperti apa. Kami tahu. daripada kami mati memikirkan ketidakadilan di tempat tidur, mending berjuang demi menegakkan keadilan,” kata Hamka.

 

 

********

Exit mobile version