Mongabay.co.id

Upaya Nelayan Kotabaru Tangkap Udang secara Berkelanjutan

 

 

 

 

Tahrudin bergegas menyusuri jalanan setapak di belakang rumahnya. Udara sejuk usai hujan mengguyur Desa Sungai Pasir, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Tangan kanan sedia mengapit rantang berisi bekal. Di bahu, jaring dari benang nylon bersandar erat.

“Saya biasa melaut tiap pagi hingga sore untuk mencari udang,” kata pria 46 tahun ini.

Dia sudah jadi nelayan udang sejak 1999. Kalau sedang tak musim udang, dia beralih jadi petani. Berbagai macam tanaman mulai karet sampai sayur mayur dia tanam di kebun yang tak jauh dari rumahnya.

Setibanya di dermaga, dia bergegas menuruni tangga kayu menuju perahu kecil. Sekitar 10 menit kemudian, mesin diesel dia matikan.

“Mencari udang nggak usah jauh ke tengah laut. Di sini saja sudah banyak,” katanya.

Jaring trammel nett sepanjang 25 meter dengan tiga lapisan segera dia lempar melintang dari selatan ke utara. Dia harus memastikan jaring yang ditebar berada dalam posisi sesuai arus pasang surut laut.

“Posisi jaring harus mengikuti arus. Jadi nanti udang ikut terbawa arus, dan terperangkap di jaring yang ditebar. Lapisan pertama ukurannya empat inchi. Di dalam ukuran lebih rapat lagi.”

Tak lama jaring dia tarik. Hasilnya cukup menggembirakan. Beberapa udang putih dan bintik, terperangkap jaring. Dengan cekatan dia mengambil satu per satu dan memasukkan ke boks terisi es batu. Kalau sedang tiba, kadang jaring juga menangkap udang windu.

“Kami memang terbiasa menangkap udang seperti ini. Lebih ramah lingkungan. Mengandalkan gelombang pasang surut. Sesuai arah arus. Misal, arus dari barat ke timur, kita memasang dari selatan ke utara. Jaring ini hanyut, karena prinsipnya udang itu mengikuti arus. Kalau arus kencang, otomatis udang bergerak, hanyut dan akhirnya terperangkap jaring.”

Menurut dia, banyak atau sedikit udang tergantung pada arus laut. Makin kencang arus laut, udang akan makin banyak.

“Maka ada musimnya. Kadang ada musim yang tak ada arus. Ada angin atau gelombang-gelombang itu tidak terlalu besar. Kita bisa tahu misal, saat musim tak ada atau arus kurang kuat.”

 

Hasil tangkap ikan nelayan tradisional di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Foto:Donny Iqbal/MSC

 

Dia bersyukur, perairan di dekat tempat tinggalnya masih terjaga. Hutan mangrove membentang rimbun.

Tahrudin yakin, dengan menjaga mangrove, udang akan terus berlimpah.

“Udang suka tinggal di pantai berlumpur dan masih ada mangrove. Maka saya bersyukur wilayah ini masih terjaga. Udang memang sumber utama warga di sini.”

Pada 1998, kondisi hutan mangrove sekitar sempat mengalami kerusakan cukup parah karena sempat tereksploitasi untuk tambak udang.

Keberadaan tambak udang tak lama. Begitu dirasa tak menghasilkan, tambak udang ditinggalkan begitu saja menyisakan kerusakan ekosistem mangrove di wilayah itu.

“Kami bahu membahu memperbaiki mangrove. Dibantu program pemerintah untuk penanaman kembali. Luas yang ditanam kembali sekitar 20 hektar. Alhamdulillah, sekarang sudah pulih lagi. Udang juga banyak lagi,” katanya.

Sekali melaut, dia rata-rata hasilkan lima kg udang. Tiap satu kg udang, Rp45.000. Dia jual kepada pengepul dekat. Dari hasil menangkap udang, kata Tahrudin, bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak.

Meski begitu, bukan berarti kehidupan Tahrudin sebagai nelayan udang tak menemui masalah. Dia bilang, ada berbagai tantangan antara lain, jaring cukup mahal.

Untuk membeli satu set jaring, dia harus merogoh sekira Rp225.000. Jaring ini dipakai selama tiga bulan. Belum lagi biaya melaut seperti solar dan lain-lain. Harga jual pun tak menentu.

Beruntung, belakangan bersama rekan nelayan mendapatkan pendampingan dari Marine Sustainable Council (MSC). Dia sangat terbantu.

“Setelah mendapatkan pendampingan dari MSC, kami jadi lebih paham bagaimana menangkap udang baik dan ramah lingkungan. Kami juga jadi lebih paham mengenai satwa laut dilindungi dan bagaimana cara penanganan jika sewaktu-waktu tertangkap jaring kami.”

Dia merasakan perbedaan jauh dengan kondisi sebelum didampingi MSC. Dulu, mereka terbiasa menangkap udang asal-asalan, tak terlalu memperhatikan aspek keberlanjutan.

“Dengan masuk MSC kami dapat edukasi. Sekarang kawan-kawan mulai sadar. Jika tertangkap hewan dilindungi, kita langsung lepas dan tahu bagaimana caranya.”

Pun dari sisi hasil tangkapan, kini imereka terbiasa melakukan pencatatan. Sebelumnya, tak pernah dilakukan. Padahal, hal itu penting untuk analisa setok udang.

“Ke depan, setelah sertifikasi MSC mudah-mudahan harga jual udang bisa meningkat. Kami berharap dengan mendapatkan sertifikasi MSC bisa mengangkat nama kelompok dan desa kami.”

Dia bersama rekan nelayan yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama melakukan berbagai upaya mendapatkan sertifikat perikanan MSC.

 

Kegiatan Kelompok Nelayan Maju Bersama, Kampung Sungai Pasir, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Foto: Donny Iqbal/ MMC

 

Larangan tangkap malam hari

Hal menarik yang terkait praktik perikanan berkelanjutan yang diterapkan di Desa Sungai Pasir. Di sana ada aturan larangan menangkap udang di malam hari. Menurut Tahrudin, aturan ini memang tak tertulis, tetapi sudah disepakati bersama.

“Aturan ini dibuat karena biasa kalau siang udang sudah banyak ditangkap, maka malam akan sedikit hasil. Lainnya, laut dberi jeda dulu. agar udang bisa berkembang biak.”

Aturan lain yang dibentuk yakni pengaturan zonasi perairan yang juga sudah disepakati bersama. Ada daerah tertentu yang khusus nelayan tangkap udang. Bagi nelayan tangkap rajungan dan lain-lain, memiliki wilayah tersendiri.

“Nelayan dari luar daerah sering masuk ke sini untuk menangkap rajungan. Itu ada batas-batas yang kami perbolehkan. Hingga tidak mengganggu nelayan udang. Jadi sama-sama menjaga.”

 

Pemandangan Desa Sungai Pasir, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, dari atas. Foto: Donny Iqbal/ MSC

 

Pathway Project

Anthony Alvin, Fishery Manager Indonesia dan ASEAN MSC mengatakan, Indonesia negara terbesar kedua sebagai produsen perikanan tangkap dunia. Sisi lain, Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati berlimpah. Kondisi ini, juga didukung letak negara berada di coral triangle.

Meski begitu, Indonesia juga memiliki banyak tantangan dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan. Beberapa tantangan antara lain, eksploitasi berlebih, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, dan belum terimplementasi beberapa aturan yang ada. Yang adapun, katanya, perlu diperkuat.

“Karena itu MSC kami hadir di Indonesia ini untuk membantu mengembangkan perikanan tangkap berkelanjutan. Kami hadir di Indonesia, bermitra dengan para pemangku kepentingan untuk menajwab tantangan-tantangan ini,” katanya.

MSC merupakan lembaga yang fokus dalam mengembangkan standar perikanan berkelanjutan yang bisa dipakai di tingkat global. Standar ini dapat dipakai oleh seluruh perikanan tangkap dunia yang ingin diakui praktik keberlanjutannya.

MSC mengembangkan program Pathway project yang diinisiasi untuk mendukung dari program perbaikan perikanan. Ada beberapa tahapan dalam program ini. Pertama, pemetaan sumber daya perikanan yang tersedia. Kedua, pra penilaian. Ketiga, penyusunan rencana aksi program perbaikan perikanan. Keempat tahapan implementasi. Dan kelima tahapan penilaian penuh.

“Dalam tahapan pemetaan, kami mengidentifikasi sumber daya perikanan yang ada. Seperti spesies yang ditangkap, alat tangkap yang digunakan, armada, sumber pendanaan, sistem pengelolaannya dan juga pemangku kepentingan yang terkait. Hal ini penting untuk memberikan basis pengetahuan dari yang akan dilakukan penilaian.”

Proses pemetaan ini juga dapat dikembangkan lebih luas lagi dengan melihat beberapa aspek lain, seperti ketahanan pangan, nilai ekonomi, strategis untuk pentingan masyarakat, pemerintah, riset dan lain-lain. Tujuan pemetaan untuk mengindentifikasi potensi.

Pada tahap pra penilaian, mereka akan menganalisa kesenjangan yang ada. Hal ini penting untuk melihat performa perikanan berdasarkan standar MSC. Ada tiga hal yang menjadi dasar prinsip MSC. Pertama, terkait kesehatan setok. Akan dilihat strategi pemanfaatan yang sudah diterapkan, ataupun kesehatan dari indikator stok perikanan.

Kedua, dampak terhadap lingkungan. Hal yang menjadi perhatian dalam prinsip ini yaitu mengenai alat tangkap yang digunakan, spesies tangkapan yang dilindungi serta bagaimana cara penanggulangan, dampak terhadap habitat dan ekosistemnya. Ketiga, tata kelola perikanan itu sendiri.

“Jadi akan dilihat apakah perikanan sudah memiliki peraturan-peraturan nasional, provinsi, ataupun adat. Juga dilihat bagaimana peraturan-peraturan terimplementasi dan juga bagaimana ada keikutsertaan dari pemangku kepentingan.”

Standar perikanan MSC, katanya, tidak hanya melihat bagaimana peraturan ditulis juga unsur-unsur di balik itu. “Seperti keikutsertaan pemangku kepentingan, atau jika ada konflik-konflik di belakang dari peraturan itu.”

 

Nelayan tradisional udang di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Foto: Donny Iqbal/ MSC

 

Dukungan pemerintah

Syahrudin, penyuluh perikanan muda Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan, masyarakat di Kotabaru sangat tergantung dengan hasil perikanan. Mengingat letak geografis di kepulauan dan dikelilingi laut.

“Ketergantungan masyarakat terhadap perairan laut itu sangat tinggi sekali. Dengan ada potensi itu, kita berusaha memanfaatkan sebesar-besarnya sesuai kaidah-kaidah peraturan berlaku,” katanya.

Jalankan peraturan dalam praktik perikanan, katanya, sangat penting guna menjaga kelestarian serta keberlanjutan. Sebagai kepanjangan tangan pemerintah, dia bersama rekan penyuluh perikanan terus mengupayakan perbaikan tata kelola perikanan. Mereka memberikan edukasi kepada masyarakat nelayan mengenai praktik perikanan berkelanjutan.

“Saya percaya dengan banyaknya kelompok nelayan yang diedukasi, akan memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi optimalisasi sumberdaya perikanan ke depan.”

Syahrudin bilang, perundang-undangan sudah cukup kuat mendukung optimalisasi perikanan di Indonesia. Hanya saja perlu terus sosialisasi intensif agar bisa terimplementasi dengan baik.

Apa yang dilakukan oleh MSC, katanya, sejalan dengan visi ekonomi biru. Yang dilakukan MSC, katanya, sebagai pedoman menuju arah perikanan berkelanjutan.

 

Kegiatan Kelompok Nelayan Maju Bersama, Kampung Sungai Pasir, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Foto: Donny Iqbal/ MSC

 

Dukungan MSC memperbaiki perikanan di Indonesia khusus di Kotabaru, sangat berguna, terutama edukasi kepada masyarakat nelayan. Dari soal cara penangkapan dan mengelola perairan dengan baik, sampai melaporkan hasil tangkapan, menjaga spesies yang dilindungi dan lain-lain.

Rusdi Hartono, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Selatan mengatakan, udang merupakan salah satu potensi unggulan perikanan di provinsi itu. Jumlah tangkapan udang per tahun berkisar antara 11.000-45.000 ton. Sekitar 60-70% dari Kotabaru.

“Hasil tangkapan udang diekspor juga ke beberapa negara di Asia dan Eropa. Pada Februari 2022, ekspor udang kita mencapai 169 ton,” katanya.

Dengan potensi sumber daya kelautan yang melimpah di wilayahnya juga menghadapi banyak tantangan, seperti eksploitasi berlebihan, penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan, dan lain-lain.

Untuk mengatasi itu, katanya, perlu kolaborasi dari berbagai pihak, antara lain, MSC melalui program Pathway project.

“Bersama MSC telah dilakukan penilaian awal di Oktober 2019. Ada dua spesies sering ditangkap atau dilaporkan yaitu udang putih dan udang bintik. Habitatnya di Pulau Laut tengah, Kota baru. Di sini ada rekomendasi untuk perbaikan.”

Hal lain yang dikerjakan bersama dengan MSC adalah diskusi untuk menindaklanjuti proses penilaian awal pada Agustus 2020. Kemudian disusun pula dokumen rencana aksi melalui diskusi mendalam yang disepakati pada Juni 2021. Penyusunan dokumen merupakan tindakan strategis mencakup rancangan besar arah perikanan udang menuju standar keberlanjutan dalam kurun waktu lima tahun.

“Bersama MSC juga telah dilaksanakan diskusi mendalam untuk perbaikan di 2021 dan disepakati perikanan udang Kota baru menuju pemenuhan standar berkelanjutan perikanan MSC. Terakhir, dilakukan pelatihan MSC Desember 2021.”

Meski begitu dia menyadari masih banyak tantangan dihadapi. Di beberapa tempat masih ditemui nelayan pakai alat tangkap tak ramah lingkungan. Mereka bersama MSC terus berkolaborasi mengedukasi nelayan agar pakai alat tangkap ramah lingkungan. Sekaligus juga meningkatkan taraf kehidupan mereka.

Untuk menjaga kelestarian sumber daya laut, masyarakat juga bisa ikut berkontribusi. Konsumen, katanya, memiliki peran dalam pelestarian perikanan dengan mendukung program-program perbaikan pelestarian perikanan, meningkatkan kesadaran akan urgensi dan isu perikanan. Salah satunya, dengan memilih produk perikanan bukan dari hasil tangkap ilegal dan terjamin asal usul keberlanjutannya.

“Harapan kita semoga dunia perikanan di Indonesia bisa maju.”

 

 

 

*******

Exit mobile version