Mongabay.co.id

Satwa Liar Terus jadi Sasaran, dari Jual Hidup, Awetan sampai buat Kerajinan

 

 

 

Satwa liar langka dilindungi terus jadi sasaran perburuan dan perdagangan ilegal di berbagai daerah. Satwa-satwa ini dijual dalam keadaan hidup maupun awetan. Kasus baru-baru ini ada di Sumatera Barat, sampai Jember, Jawa Timur.

Di Sumatera Barat, tim gabungan menangkap W, yang diduga melakukan perdagangan awetan dan bagian tubuh satwa dilindungi, di Kota Padang Panjang. Dari pelaku, petugas menyita 26 jenis satwa berupa awetan dan bagian-bagian tubuh satwa.

Demi kepentingan penyidikan petugas baru mengumumkan kasus itu pada 17 Juni lalu. Petugas gabungan dari Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat, dan Polda Sumbar.

Pelaku diperiksa penyidik Balai Gakkum, sedangkan barang bukti dititipkan di BKSDA Sumbar. Mengingat usia pelaku sudah 74 tahun, penyidik tak melakukan penahanan.

”Kami masih menelusuri keterlibatan pihak lain dalam kasus ini. Kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar dilindungi harus ditindak tegas,” kata Subhan, Kepala Balai Gakkum KLHK Sumatera, dalam konferensi pers di Padang, Jumat (17/6/22).

 

Petugas memperlihatkan awetan bagian tubuh dari 26 jenis satwa dilindungi itu antara lain macan dahan, simpai Sumatera, kankareng perut putih, rangkong badak, trenggiling, dan kepala rusa.

Ada juga, tanduk rusa, tengkorak kepala rusa, kepala kijang, kangguru pohon, elang pana, kucing hutan, kambing hutan, kucing mas, rangkong, siamang, binturong, bajing terbang, belangkas besar, tritan terompet, moluska nautilus, kulit macan dahan, kulit kucing mas, dan potongan kulit harimau Sumatera.

Petugas tak menghadirkan W karena faktor usia. W, jadi tersangka tak ditahan namun sudah ada jaminan dari keluarga kalau dia kooperatif dan tak melarikan diri.

Ardi Andono, Kepala BKSDA Sumbar mengatakan, penangkapan itu bermula dari laporan masyarakat akan jual-beli bagian tubuh harimau Sumatera oleh W.

Petugas mengumpulkan informasi dan bergerak menangkap. ”Awalnya, kami dapat informasi hanya tengkorak, kulit, kuku, dan taring harimau. Setelah rumah digeledah, banyak kami temukan. Di sini juga ada kucing emas, yang kondisinya saat ini sangat langka,” katanya.

W masih bungkam terkait pemasok satwa-satwa dilindungi itu. Namun, sebagian besar hewan ini diketahui berhabitat di hutan Sumbar. Kemungkinan besar satwa didapat dari pemburu di provinsi ini.

Selama ini, W dikenal sebagai pembuat awetan hewan dan cukup dikenal di Sumbar. Dia merupakan generasi keempat yang menekuni keahlian ini di keluarganya. Sebelumnya, W punya surat izin penitipan satwa, tetapi telah dicabut pemerintah. Dia diduga punya bagian tubuh satwa dilindungi tanpa izin dan memperjualbelikannya.

Pembuatan awetan satwa, katanya, selama sesuai aturan tak tidak masalah. “Itu suatu keahlian. Masalahnya, dia tidak ada izin, dan jumlahnya sangat banyak. Dengan penangkapan ini, kami bisa menghentikan peredaran lain (satwa dilindungi) masuk ke situ. (Hasil tangkapan) pemburu tidak masuk ke situ juga,” katanya.

W diduga mendapat bahan baku berupa satwa yang sudah mati dari oknum petugas lembaga konservasi (LK), mengingat tersangka merupakan mitra konservasi yang sering menerima pesanan awetan dari lembaga konservasi bahkan BKSDA.

Sustyo Iriyono, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Pencegahan dan Pengamanan KLHK mengatakan, pengungkapan kasus ini tidak akan berhenti pada W. Tersangka jadi pintu masuk memburu pemasok dan jaringan pemburu satwa dilindungi.

Selama lima tahun terakhir, katanya, KLHK melakukan 1.804 operasi pengamanan lingkungan hidup dan kawasan hutan di Indonesia, 430 merupakan operasi tumbuhan dan satwa liar.

KLHK juga membawa 1.210 kasus ke pengadilan, baik terkait pelaku kejahatan korporasi maupun perorangan.

 

Satwa awetan yang disita di Sumbar. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Dwi Adhiasto, spesialis penanganan perdagangan ilegal satwa liar, mengatakan, awetan satwa di Indonesia masih tergolong tinggi karena permintaan cukup banyak dan satwa juga banyak.

“Itu juga menimbulkan daya tarik tersendiri karena masih banyak masyarakat belum tahu tentang berbagai jenis satwa di Indonesia. Ketika mereka melihat suatu jenis satwa unik tanpa harus ribet memelihara, maka awetan jadi pilihan.”

Sejauh ini, katanya, satwa awetan paling sering diminta pasar adalah harimau, jenis kucing-kucingan besar seperti macan tutul, dan macan dahan. Kalau dari burung, masih favorit adalah cenderawasih, dan satwa laut berupa awetan penyu.

Pasar satwa awetan, kata Dwi, cukup besar namun kebanyakan domestik, tak sampai luar negeri. “Apalagi sekarang perdagangan online luar biasa tinggi mencapai 40% dari perdagangan satwa ilegal di Indonesia. Lebih leluasa menjual dibanding menjual satwa hidup yang mesti dipajang seperti penjualan burung di pasar burung.”

Alasan pelaku perdagangan awetan jalur online karena memajang satwa merupakan hal cukup riskan apalagi satwa dilindungi. Karena itu, pelaku perdagangan awetan ini banyak berinteraksi melalui media sosial atau online.

“Kalau saya lihat modus online, dengan nama samaran. Dalam bertransaksi mereka seringkali memakai jasa orang ketiga supaya tak ketahuan siapa pelaku, penjual dan pembeli,” katanya.

Selain dari perburuan liar, kata Dwi, salah satu sumber penting pengawet satwa adalah kebun binatang dengan melibatkan orang dalam.

“Kenapa kebun binatang jadi pilihan, karena kematian pasti ada. Berbagai jenis satwa ada disana, jadi tak perlu susah-susah mencari di alam. Mayoritas diopset itu memang satwa dilindungi, satwa langka.”

 

Satwa langka dilindungi awetan yang disita dari pembuatnya di Sumbar. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Saat ada satwa mati di kebun binatang, katanya, oknum di kebun binatang menjual satwa kepada si pengawet.

Seperti kasus di Garut, Jawa Barat, katanya, si pengawet satwa mengambil dari oknum di kebun binatang. Pelaku sudah diproses hukum. “Jadi memang kebun binatang jadi sasaran empuk bagi pengawet satwa.”

Kondisi ini bisa terjadi, katanya, karena ada kebocoran, seperti ada satwa mati tak dilaporkan, atau dilaporkan tetapi tidak detail, apakah satwa dibakar atau dikubur dan lain-lain. “Itulah kenapa ada oknum bermain.”

Untuk itu, katanya, harus mengawal dan mengawasi ketat lembaga konservasi ketat karena dalam pengelolaan melibatkan banyak petugas. “Bisa jadi mereka punya motivasi berbeda-beda. Itulah seharusnya lembaga konservasi melakukan pembinaan, pengawasan kepada staf untuk mengeliminir kenakalan.”

Dengan begitu, tak menutup kemungkinan kasus awetan satwa di Sumbar melibatkan ‘orang dalam’, mengingat tersangka sering menerima pesanan awetan satwa dari kebun binatang bahkan BKSDA.

Untuk mencegah ini, Dwi menyarankan, BKSDA sebagai perpanjangan tangan KLHK pengawasan atau pemantauan rutin dan ketat terhadap lembaga konservas

“Harus ada pemantauan ketat, inspeksi rutin, sidak, pengecekan look book-nya, berapa satwa lahir, satwa mati dan perpindahan dari satu lembaga konservasi ke lembaga konservasi lain.”

Hal ini, katanya, guna mengeliminir penyimpangan, termasuk lembaga konservasi harus melaporkan secara jelas jumlah satwa hidup dan yang mati. “Kalau mati dikemanakan ada fotonya tidak? Ada catatannya, ada bukti kematiannya.”

 

Sitaan awetan satwa oleh Gakum KLHK di Sumbar. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Dwi menyebut, dokter hewan di kebun binatang juga bisa membuat laporan terkasit kondisi satwa termasuk kematiannya. “Karena apa matinya, sarkasnya dikemanakan.”

Kemudian, pemerintah membuat mekanisme yang tepat untuk pengelolaan izin lembaga konservasi. “Ketika ada oknum nakal, itu tanggung jawab lembaga konservasi. Mereka harus mendapatkan sanksi berupa teguran lisan maupun tulisan, jika masih berlanjut memungkinkan untuk dicabut izin lembaga konservasinya.”

Kasus lain di Sumbar, Polda menangkap R, selalu penjual sisik trenggiling sebanyak 12,5 kilogram. Kombes Pol Satake Bayu selaku Humas Polda Sumbar mengatakan, kronologi penangkapan R berawal dari informasi masyarakat soal ada perniagaan kulit trenggiling di Kelurahan Perupuk Tabing, Padang.

“Pada 31 Mei 2022 personil kita bergerak. Sekitar pukul 14.30, petugas menemukan langsung R membawa sisik trenggiling dengan motor. Pelaku sudah janji dengan calon pembeli.”

Polda, katanya, sedang mendalami jaringan jual beli ini karena status R hanya sebagai penghubung. Dia dapatkan Rp1,5 juta dari hasil penjualan sisik trenggiling satu kilogram.

Sustyo Iriyono, Plt Direktur Pencegahan dan Pengamanan KLHK sekaligus Polhut Ahli Utama mengatakan, Sumbar adalah lumbung satwa liar.

“Ia kaya. Ada TNKS, ada Bukit Barisan, ini menyimpan kantung-kantung satwa yang banyak. Kayak kelinci hutan pun masih ada, di tempat lain tak ada. Kucing emas juga masih ada.”

Untuk itu, guna mencegah perdagangan atwa ilegal, katanya, perlu memperkuat pengawasan beberapa pintu keluar seperti Bakauheni dan tempat lain. Melalui akses-akses baik darat atau pun laut, katanya, tak hanya satwa, juga kayu dan semua yang ada di hutan dibawa keluar.

 

Sitaan satwa awetan Polres Jember. Foto : YouTube Humas Satreskrim Jember

 

Kerajinan kulit satwa

Di Jember, Jawa Timur, 25 Mei lalu Polres Jember mengungkap kasus penjualan kerajinan kulit satwa liar dilindungi oleh MMR, warga Desa Tembokrejo, Kabupaten Jember.

AKBP Hery Purnomo, Kapolres Jember, mengatakan, dari penyidikan, pelaku sudah jalankan ini sekitar delapan bulan. Dia bikin satwa dilindungi jadi kerajinan seperti tas dan sabuk lalu jual di media sosial, Facebook.

Satwa-satwa yang jadi kerajinan seperti kepala rusa dengan bagian leher, dua tubuh kijang awetan relatif utuh, selembar kulit macan tutul dan beberapa tas maupun sabuk berbahan kulit harimau dan macan tutul.

“Patroli cyber Polres Jember mendapati MMR menjual benda seni dengan bahan dasar dari satwa liar terancam punah. Hewan-hewan yang diawetkan ini dari hutan lindung di Sumatera. Bisa jadi ada yang berasal dari hutan di sekitar Jember,” kata Kapolres.

Polres Jember tengah penyidikan lebih lanjut guna mengungkap jaringan pemburu satwa liar dilindungi. “Petugas memburu seseorang yang berperan memasok satwa liar kepada MMR.”

Hery bilang, petugas juga memburu pembeli atau pengoleksi benda dari satwa dilindungi.

 

Perajin kulit di Jember, yang bikin kerajinan dari kulit satwa dilindungi. FotoYouTube Humas Satreskrim Jember

 

Rosek Nursahid, Ketua Profauna mengatakan, kerajinan berbahan kulit satwa liar baik dilindungi maupun yak dilindungi salah satu penyebab keterancaman kekayaan fauna di Indonesia. “Saya mengapresiasi pengungkapan kasus ini. Aktivitas mereka ini yang jelas menjadi salah satu penyebab kepunahan satwa. Semoga dapat mengungkap jaringan sampai tuntas,” katanya kepada Mongabay.

Erwin Wilianto, pendiri Yayasan Save the Indonesian Nature and Threatened Species (Sintas) mengatakan, kemampuan seni seperti MMR ini seharusnya tersalur buat kegiatan legal.

Dia bilang, harus jadi perhatian bagi perajin seni ke depan, untuk berhati-hati dalam menyalurkan bakat seninya. “Tidak ada yang salah dengan kesenian selama tak melanggar norma dan hukum berlaku.”

 

Jangan korbankan satwa

Rosek bilang, kesenian maupun kerajinan tak harus mengorbankan satwa liar baik yang dilindungi maupun tidak. Masih banyak pilihan lain bikin kerajinan kulit hewan bukan satwa liar, seperti dari kulit sapi, maupun kambing atau kulit sintesis.

Dia contohkan, Reyog Ponorogo awalnya gunakan kepala harimau dan bagian bulu dari merak asli. Sekarang, perajin kesenian mulai sadar dan mengganti dengan bahan lain dengan memodifikasi bahan lain menyerupai kepala harimau atau bulu merak.

“Dengan cara alternatif modifikasi dari kulit sapi atau kambing tadi, maka perburuan satwa liar dilindungi maupun tidak, akan tetap aman di habitatnya.”

 

Beruang madu awetan sitaan dari Sumbar. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Erwin Wilianto mengatakan, penegakan hukum kasus perdagangan satwa ilegal memberikan efek jera kepada pelaku. Apalagi, kalau kasus tak diberantas sampai ke akar-akarnya, maka jaringan akan berkembang. “Jaringan satu ditangkap, akan buat jaringan baru.”

Untuk kasus di Jember, katanya, kemungkinan memang bahan dari Sumatera untuk harimau. Kalau macan tutul, bisa saja dari Jawa.

Soal jalur penyelundupan, katanya, sejauh ini belum bisa dipastikan terlebih, perdagangan lewat media sosial. “Mudah sekali mendeteksinya, namun sulit mengungkap pelakunya.”

Kalaupun diketahui akun, pelaku justru biasa hanya modal hapus akun untuk menghindar dan bisa bikin lagi. Kadang, yang jual satu orang, tetapi punya banyak akun dan barang sama.

Kalau bicara pengawasan, pemerintah punya Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di sana, ada kerjasama dengan Kementerian Informasi untuk mengawasi soal itu. Kemungkinan, katanya, pengawasan kurang efektif.

Bahkan, Facebook, katanya, berjanji meminimalisir perdagangan satwa tetapi hanya bisa blok konten dan akun. “Tidak bisa memberikan petunjuk lebih jauh ke jaringan perdagangan ini.”

Marison Guciano, Direktur eksekutif FLIGHT mengatakan, berdasarkan penelusuran mereka, Sumbar jadi lumbung satwa liar.

“Lumbung sumber asal perdagangan satwa ilegal. Rata-rata hampir sebagian besar dari Sumbar. Mulai dari sisik trenggiling, beruang madu, macan dahan dan yang pernah kami temukan di Sumbar paruh enggang gading hingga siamang,” katanya.

Sumbar, katanya, hutan masih luas. Ada Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Bukit Barisan juga.

Marison menyebut, Solok Selatan,Pasaman, Sijunjung dan Dharmasraya, sebagai daerah sumber satwa liar diburu dan diperjualbelikan baik domestik atau internasional.

“Banyak satwa dari sana dan banyak pemburu lokal, kalau bandar besar di kota-kota besar.”

 

Sitaan bagian tubuh satwa dilindungi di Sumbar. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

***

Ardinis Arbain, pakar ilmu lingkungan Universitas Andalas mengatakan, perburuan terus menerus akan mengurangi jumlah dan jenis satwa. Perburuan satwa liar, katanya, bisa bahayakan kesehatan manusia, karena rawan terkena penyakit yang bisa berpindah dari satwa ke manusia atau sebaliknya (zoonosis).

Bahaya lain, katanya, kalau satwa punah seperti burung atau trenggiling, itu termasuk penyebar biji (seed dispersal), akan hilang.

Mereka, berperan sebagai penyebar benih alami. “Mereka yang biasa membawa biji, kalau tak ada, hutan kita makin seragam dan dampaknya panjang,” katanya.

Untuk itulah, dia khawatir penanaman monokultur macam sawit yang mengubah bentang alam dengan tanaman maupun tumbuhan beragam jadi sejenis.

Kalau keanekaragaman hayati hilang, kata Ardinis, manusia akan kehilangan kosakata, bahasa dan budaya. Ada ragam nama buah dan tumbuhan, katanya, bisa memperhalus bahasa dan budaya.

Winda Kusuma Dewi, dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dalam makalah “Korelasi antara aktivitas deforestasi dan perburuan hewan liar terhadap wabah penyakit zoonosis mengatakan, 60-70% penyakit manusia merupakan zoonosis, seperti HIV1, HIV-2 dan influenza. Ada pula, hanta virus, nipah virus, ebola dan SARSCov.

 

Exit mobile version