Mongabay.co.id

Cerita Kelompok Tani Kelola Izin Perhutanan Sosial di Jambi

 

 

 

 

Ada meranti, bulian, sengon dan bibit pepohonan lain di kebun bibit Kelompok Tani Hutan (KTH) Padukuhan Mandiri, Desa Suo-suo, Kecamatan Tebo Ilir, Tebo, Jambi. Bibit-bibit tanaman hutan ini akan ditanam pada area izin hutan tanaman rakyat seluas 83 hektar.

Supradillah, Ketua KTH Padukuhan Mandiri, mengajak saya ke kebun bibit itu. Bibit ini siap ditanam di sela-sela kebun sawit yang sudah mereka tanam jauh sebelum skema perhutanan sosial dipilih. Lahan kebun 23 anggota petani yang tergabung di KTH Padukuhan Mandiri berada di areal penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

Awalnya, dia dan kelompok bingung dengan kejelasan kebun-kebun sawit yang sudah terlanjur mereka tanam. “Kalau dulu, ya kita masih was-was soal status lahan kebun,” katanya. Kini,  mereka sudah dapatkan izin perhutanan sosial pada 2018. Petani mulai menyela tanaman sawit dengan tanaman keras seperti meranti, sampai sengon.

KTH Padukuhan Mandiri mulai dengan membuat kebun bibit seluas satu hektar ala-ala petani, dengan bermodal iuran semua anggota.

“Karena minim sumber daya manusia dan dana, memang pengolahan secara bertahap, “ kata Supradillah.

Rata-rata anggota hanya memiliki satu sampai dua hektar kebun. Sejak awal mereka sudah mensiasati naik-turun harga sawit. Mereka menanam palawija, buah-buahan dan jengkol di kebunnya.

Izin HTR yang mereka kantongi memberi peluang untuk aturan jangka benah yang tertuang dalam Pasal 117 Peraturan Menteri LHK Nomor 09/2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Mereka diberi kesempatan satu daur ulang 25 tahun melanjutkan sawit yang sudah terlanjur ditanam.

Kelompok juga wajib menanam minimal 100 batang tanaman hutan untuk setiap hektar sawit yang mereka tanam.

Pengelolaan hutan sosial tidak semudah membalikkan telapak tangan. KTH Padukuhan Mandiri, bertahan dari bujuk rayu pola mitra yang ditawarkan perusahaan-perusahaan di sekitar mereka.

“Kita optimis, perhutanan sosial bisa menjawab pengelolaan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Meski kami membutuhkan dukungan dari pemerintah kabupaten dalam pengelolaan izin tapi tidak bermitra dengan perusahaan.”

Untuk kayu, mereka masih belum mampu menjual dengan harga bersaing. Kendalanya, pengurusan dokumen legalitas kayu dari kawasan hutan tanaman rakyat belum ada.

 

Anggota KTH Padukuhan Mandiri menanam Sengon pola jalur di kebun sawit yang terlanjur mereka tanami. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Kendala ini juga memicu beberapa KTH lain bermitra dengan perusahaan. Sistem mitra, perusahaan melakukan penanaman dan pemeliharaan bersama. Tidak bagi kelompok yang Supradillah ketuai.

Dia bilang, mengelola sendiri hasil lebih besar. Supradillah contohkan, dari 25 pohon jengkol yang ditanam di sela-sela kebun sawit bisa memperoleh 500 kg setiap panen. Setahun minimal bisa panen dua kali. Harga jual ke toke saat ini Rp6.000-Rp8.000 per kilogram. Berarti ada Rp3-Rp4 juta penghasilan bersih dari jengkol saja.

“Ya, nggak mau-lah bermitra. Ditanam jengkol saja, bisa sama dengan hasil bagi untung dari perusahaan setiap panen. Sementara lahan bisa ditanami tanaman lain juga,”katanya.

Heri Nurhadi, dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Tebo Ilir sebutkan, dari 105.000 hektar kawasan hutan yang mereka kelola , 55.000 hektar sudah dikuasai dua perusahaan HTI dan satu perusahaan restorasi. Sekitar 23.000 hektar ada izin skema perhutanan sosial dalam bentuk hutan kemasyarakatan (HKm) dan HTR.

“Saya ikut bangga dengan KTH Padukuhan Mandiri, karena tidak tergiur bermitra. Memang izin ini harus diekola masyarakat sendiri. Ini ada juga 1.500 hektar lahan untuk skema perhutanan sosial di Desa Suo-suo,” katanya.

Adi Junaidi, Deputi KKI Warsi mengatakan, kunci dari skema perhutanan sosial adalah pemberdayaan masyarakat. “Masyarakat jangan dibiarkan sendiri, izin perhutanan sosial ini dilihat dari sisi kuantitas, Jambi bisa berbangga dengan pecapaian 360.000-an hektar izin beragam skema perhutanan sosial. Perlu pembenahan dari sisi kualitas, antara lain peningkatan kesejahteraan masyarakat, resolusi konflik dan pelestarian hutan.”

Junaidi bilang, Pemerintah Merangin memasukkan perhutanan sosial dalam RPJMD agar ada alokasi dana afirmasi untuk perhutanan sosial sejak 2021 patut dicontoh. Alokasi per desa meningkat dari Rp15 juta untuk satu perizinan hutan sosial jadi Rp20 juta pada 2022.

Setelah Merangin luncurkan Perda Dana Afirmasi ini, alangkah baiknya bila disusul peraturan gubernur hingga lebih menyeluruh dalam intervensi perekonomian untuk hutan.

Amsiridin, Asisten I Kabupaten Tebo mengatakan, perlu keseimbangan antara ekonomi dan ekologi dalam memanfaatkan sumber daya alam. “Hutan kita luas, hanya di atas kertas. Kita semua sudah teledor, memberikan hutan ini ke tangan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Semua belum terlanmbat, kita bisa kelola dengan adil dan lestari,” katanya.

Dia wanti-wanti tak ada pendatang yang memperoleh skema pengelolaan hutan. “Administrasi kependudukan juga tolong dijaga, agar tidak memicu konflik lahan ke depannya.”

 

 

Supradillah di kebun jengkolnya. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Penerimaan negara dan uji tuntas

Realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari kayu dan hasil hutan bukan kayu Jambi 2021 tercatat sebesar Rp63 miliar dari target Rp55 miliar. Angka ini menempatkan Jambi berada di posisi ketiga se- Sumatera setelah Riau dan Sumatera Selatan. Perhutanan sosial, antara lain penyumbang PNBP di Jambi ini.

Rincian PNBP Rp61,5 miliar berasal dari hasil hutan kayu, sisanya Rp1,5 miliar dari hasil hutan bukan kayu. Kontribusi terbesar setoran PNBP dari perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dan sebagian kecil dari hutan hak. Dari skema perhutanan sosial (PS) menyumbang sekitar Rp150 juta.

Wahyu Nur Hidayat, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah IV Jambi menyebutkan, pada 2022, target PNBP naik jadi Rp95 miliar, realisasi sampai pertengahan Juni 2022 sebesar Rp24, 432 miliar.

Dari data Sistem Informasi Perhutanan Sosial Terintegrasi berbasis elektronik (goKUPS), potensi perhutanan sosial di Jambi terdapat 405 skema izin dengan luasan 203.479 hektar. “Kita berharap sektor ini menyumbang lebih banyak lagi dengan pembenahan dan kerjasama di berbagai aspek,” katanya.

Beberapa tantangan untuk meningkatkan PNBP dari potensi perhutanan sosial antara lain, minim kemampuan pengelola untuk memahami sistem dalam penjualan akhir kayu dan hasil hutan bukan kayu ke industri primer.

“Masih minim tenaga teknis yang dimiliki perhutanan sosial, masih sedikit pengetahuan terkait sistem informasi SIPUHH (sistem informasi penatausahaan hasil hutan) atau SIPNBP (sistem informasi PNBP), ini tantangan ke depan untuk mendongkrak dari areal-areal perhutanan sosial.”

Ade Mukadi, Direktur Izin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, Peraturan Menteri Nomor 8/2021 guna optimalisasi produktivitas kawasan, mendorong perizinan usaha pemanfataan hutan (PBPH) menerapkan multiusaha kehutanan dalam areal izin.

Multiusaha kehutanan merupakan konsep pemanfaatan hutan yang memadukan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, bukan kayu, pemanfaatan kawasan termasuk jasa lingkungan. Produktivitas hasil hutan yang meningkat, gilirannya menaikkan perolehan PNBP sektor kehutanan.

“Kontribusi perizinan perhutanan sosial terhadap PNBP yang saat ini relaif masih kecil perlu kita dorong dan optimalkan,” katanya.

Rozi Koperasi, Ketua KTH Teriti Jaya Tebo bercerita kegundahan pemegang perizinan perhutanan sosial dengan skema HTR. Dia bilang, prinsipnya siap berkontribusi terhadap optimalisasi PNBP tetapi terkendala dengan pemahaman mekanisme SIPUHH.

“Secara keseluruhan juga tidak memiliki tenaga teknis yang menjadi pembuat LHP (laporan hasil produksi) pada areal perhutanan sosial. Di KPHP tenaga teknis ASN juga terbatas.”

Selain itu, katanya, banyak anggota perhutanan sosial terlanjur mengelola, dan menjual HHBK mandiri hingga menyulitkan pengurus koperasi mengumpulkan melalui SIPUHH. “Untuk ini KPH sudah mencoba mendampingi dan meminta pabrik sekitar untuk tidak menerima HHBK ilegal.”

Ade mengatakan, perlu tenaga teknis mumpuni untuk menjalankan SIPUHH. Kalau semua pengguna SIPUHH memiliki tenaga teknis handal dalam mengoperasikan sistem itu, tentu akan mengurangi risiko kesalahan dalam penginputan data dan peredaran hasil hutan akan berjalan baik dan cepat.

Tenaga teknis juga berperan penting mendorong pencapaian PNBP oleh pemegang izin. SIPUHH, katanya, jadi lacak balak guna memastikan akses legal, ketelusuran dan kelestarian dalam rantai penjualan hasil kayu dan non kayu dalam kawasan yang sudah memperoleh izin.

Sejak 2016, SIPUHH sudah bisa diakses online hingga mempermudah para pihak dalam penatausahaan hasil hutan.

Dalam kaitan dengan negara pembeli produk, termasuk kayu, Uni Eropa sedang susun aturan uji tuntas atas produk-produk yang berelasi dengan deforestasi dan degradasi. Wahyu bilang, tidak ada beda dengan persyaratan legal yang sudah ada.

Untuk produk kayu, katanya, Indonesia sudah punya sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang diakui Uni Eropa. Kayu-kayu V-Legal Indonesia bisa masuk tanpa uji tuntas lagi.

“Tidak ada permasalahan dengan peraturan uji tuntas [yang baru] Uni Eropa.”

 

Pembagian wilayah kelola KTH Padukuhan Mandiri. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

Exit mobile version