Mongabay.co.id

Pulau Kelapan dan Jalur Perdagangan Maritim Nusantara

 

 

Pulau Kelapan yang luasnya sekitar 385,907 hektar, merupakan pulau terdepan dalam gugusan dua pulau besar di Provinsi Bangka Belitung, yakni Pulau Lepar [16.930 hektar] dan Pulau Pongok [4.835 hektar].

Pulau yang berjarak sekitar 23 kilometer dari daratan Pulau Bangka [Pelabuhan Sadai] atau tiga jam perjalanan dengan perahu nelayan, dihuni Suku Bugis yang hidup dengan budaya bahari. Selain melaut, mereka juga berkebun.

“Sekitar 1960-an, masyarakat Melayu yang berasal dari Tanjung Sangkar [Pulau Lepar] sempat tinggal dan membuka kebun di Pulau Kelapan. Mereka umumnya menanam cengkih, lada, kelapa, padi, dan pisang. Namun sekitar 1965, mereka kembali ke Tanjung Sangkar. Sejak itu masyarakat Bugis mulai menetap serta melanjutkan tradisi berkebun,” kata Muhammade [55], tokoh adat Pulau Kelapan, kepada Mongabay Indonesia, Rabu [23/6/2022].

Jumlah penduduk di Pulau Kelapan sekitar 184 jiwa [46 Kepala Keluarga]. Mayoritas Suku Bugis yang keseharian melaut dan berkebun.

“Dinamakan Pulau Kelapan, karena pulau ini berada di urutan “kelapan” atau kedelapan, dari sejumlah pulau-pulau di sekitar Lepar dan Pongok,” lanjut Muhammade yang merupakan generasi kedua masyarakat Bugis yang menetap di Pulau Kelapan.

Baca: Gelasa, Pulau Perawan Bertabur Terumbu Karang Purba

 

Seorang warga tampak mencari ikan di sekitar Pulau Kelapan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kondisi geografis Pulau Kelapan yang masuk wilayah Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, berhadapan langsung dengan laut lepas. Memasuki masa transisi musim Angin Timur menuju musim Angin Tenggara pada Juni-Oktober, banyak masyarakat tidak melaut, karena rawan badai, sehingga hasil kebun menjadi andalan.

Jumain [53], tokoh masyarakat Pulau Kelapan, mengatakan cengkih menjadi hasil kebun yang menjanjikan. “Total, sekitar 92 hektar lahan,” ujarnya.

Selama pengamatan Mongabay Indonesia yang mengikuti ekspedisi UBB [Universitas Bangka Belitung] Diving Club selama tiga hari [20-23 Juni 2022], ketika menyusuri dua bukit di Pulau Kelapan, terlihat sejumlah pohon cengkih usia puluhan tahun, yang ditanam di sekitar lereng perbukitan.

“Cengkih di sini rata-rata di atas 50 tahun,” lanjut Jumain.

Di Pulau Kelapan, cengkih dipanen dua kali setahun. Satu pohon bisa menghasilkan 30-40 kilogram yang dijual ke Toboali, dengan satu kilogram seharga 100 ribu Rupiah.

“Di sini tidak ada yang menanam sawit, karena tidak cocok, butuh banyak lahan, malah bisa mendatangkan bencana seperti longsor dan kekeringan,” kata Jumain.

Baca: Melacak Nautilus di Perairan Gelasa

 

Pelangi terlihat menghiasi sore hari di Pulau Kelapan. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Dihuni sejak masa Kedatuan Sriwijaya

Kepulauan Lepar Pongok yang berada di Selat Gaspar [Pulau Bangka dan Pulau Belitung], merupakan perairan yang ramai dan penting bagi jalur perdagangan maritim Nusantara, sejak Kedatuan Sriwijaya.

Menurut Muhamade, Pulau Kelapan kemungkinan sudah dihuni sejak zaman kerajaan hingga kolonial. Hal ini merujuk temuan sejumlah pecahan gerabah atau keramik saat warga membuka kebun.

“Ada warga yang menemukan tombak dari kuningan, serta sejumlah pecahan keramik berwarna kuning, hijau, hingga kehitaman. Semuanya sudah diserahkan ke peneliti UBB,” katanya.

Di atas bukit juga pernah ditemukan bekas bangunan yang diduga benteng pengintain pada zaman kolonial Belanda. Sementara, di sisi timur Pulau Kelapan terdapat padang savana, panjangnya sekitar 2.000 meter dan lebar 200 meter.

“Bentuknya seperti landasan udara. Dulu pernah saya tanami kelapa, tapi tidak tumbuh, mungkin di bawahnya ada karang atau bangunan,” kata Jumain, yang kebunnya berjarak sekitar 100 meter dari savana tersebut.

Berdasarkan artikel ilmiah yang ditulis Ahmad Syukri Busnia, gerabah dan keramik ditemukan juga di Pulau Pongok.

“Hasil analisis para ahli menunjukkan, keramik yang terdiri guci, mangkuk, cangkir, teko, kendi, dan berbagai bentuk lainnya, berasal dari Tiongkok, masa Dinasti Tang tahun 618-907 M [R.Widiati:27],” tulisnya.

Sementara penemuan peninggalan bawah air di perairan Pulau Pongok menunjukkan jenis beragam, yaitu dari abad ke-10 hingga koloial Belanda.

“Hasil pendataan yang dilakukan Direktorat Bawah Air, situs-situs arkeologi bawah air di Pongok antara lain Situs Batumandi dan Situs Karanglucan,” tulisnya.

Penelitian yang sama menyatakan, di sekitar Kepulauan Lepar dan Pongok terdapat tujuh situs kapal tenggelam, yang lima di antaranya telah disurvei oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.

“Situs ini kemungkinan berasal dari sejumlah kapal yang mengalami kecelakan pada abad ke-5 hingga ke-20,” tulisnya.

Baca: Taber Laot, Manusia Jangan Serakah dan Merusak Laut

 

Masyarakat Pulau Kelapan dikenal juga sebagai ahli pembuat perahu. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Khusus di sekitar perairan Pulau Kelapan, menurut Jumain, ada satu bangkai kapal tenggelam yang letaknya di sekitar Pulau Senior.

“Mungkin dari zaman Jepang, tidak pernah diganggu, karena menjadi lokasi nelayan mancing ikan kerapu dan tenggiri,” katanya.

M. Rizza Muftiadi, dosen sekaligus peneliti dari jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan UBB mengatakan, BMKT [Benda Muatan Kapal Tenggelam] yang ada di sekitar Kepulauan Lepar Pongok harus mendapat perhatian penuh pemerintah. Ini merupakan aset budaya penting, khususnya bagi Kepulauan Bangka Belitung.

“Situs kapal tenggelam di Kepulauan Bangka Belitung, khususnya di Kepulauan Lepar Pongok, dapat menjadi daya tarik wisata bawah,” ujarnya.

Baca juga: Kisah Pilu Dugong di Perairan Pulau Bangka

 

Warga Pulau Kelapan terlihat beraktivitas di kebunnya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dijaga

Berdasarkan Peraturan Daerah RZWP3K [Renzana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil] Kepulauan Bangka Belitung tahun 2020, Pulau Kelapan masuk zona budidaya laut seluas 2.788,6 hektar, sehingga kemungkinan akan dijadikan tambak udang atau ikan.

“Kami jelas tidak sepakat bila ada perusahaan yang ingin membuat tambak di sini. Kami hidup bahagia dengan hasil laut dan kebun,” kata Muhammade.

Sudah banyak bukti, tambak udang skala besar bukannya menguntungkan masyarakat, malah merusak lingkungan. Masyarakat hanya dijadikan buruh perusahaan.

“Sejak dihuni Suku Melayu hingga Bugis, Pulau kelapan selalu terjaga. Kami semua berkomitmen melindungi pulau dari segala ancaman yang merusak,” tegas Jumain.

 

Exit mobile version