Mongabay.co.id

Gerri D Semet, Gigih Rawat Mangrove Kampung Tua di Batam

 

 

 

 

Bibit jenis Rhizophora tertancap rapat di kawasan mangrove pesisir Kampung Tua Bakau Serip, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau. “Kalau sudah sebesar ini, ada harapan hidup,” kata Gerri D Semet, Pengelola Desa Wisata Kampung Tua Bakau Serip kepada Mongabay, belum lama ini.

Ketika disaksikan secara dekat daun-daun bakau terlihat warna hitam dan berminyak. Hampir seluruh bakau yang baru ditanam Gerri mengalami nasib sama. “Sedih saya, sebagian bahkan ada yang mati, sedih kali. Ya Allah..,” kata Gerri. Limbah tumpahan minyak membunuh mangrove.

Gerri merasa sedih, karena tak mudah menanam bibit mangrove sebesar itu apalagi dengan luas pesisir hampir 12 hektar.

“Padahal sudah bisa dibilang pasti hidup, tetapi pas kena minyak hitam dan daun menguning, stres saya,” katanya.

 

Tercemarnya tanaman mangrove ini terjadi awal 2022. Pesisir Kampung Tua Serip ini berada di perlintasan kapal internasional. “Minyak itu dari kapal asing yang melintas, mudah-mudahan masih ada (bibit mangrove), yang hidup,” katanya.

Gerri bilang, tanam mangrove untuk menghadapi abrasi yang terus menerus di Kampung Tua Serip. Dia melihatkan dinding-dinding pesisir kampung terus terkikis. “Kalau tidak ditanam segera ini makin habis diterjang ombak (abrasi).”

Tak hanya ancaman limbah minyak, bakau kampung ini juga tercemari sampah plastik. Gerri memperlihatkan beberapa plastik menempel di batang mangrove berukuran besar. Dia mengambil dan mengumpulkan di satu titik di sepanjang pantai.

 

Wisatawan menikmati hutan mangrove di Kampung Tua Sekip, Kota Bata,. Foto: Yogi E Saputra/ Mongabay Indonesia

 

Gerro cerita, awalnya kampung ini bak muara sampah yang terbawa arus. Kampung pun kumuh dan bau. “Dulu, nggak berani kesini, bau minta ampun, di batang mangrove ini sampah menggunung.”

Pada 2018, bersama istri dan keluarga di Kampung Tua Serip bergerak membersihkan sampah-sampah itu. Mereka bisa jadi kampung desa wisata dengan nama “Desa Wisata Pandang Tak Jemu.” Bahkan, belum lama ini, desa ini masuk 50 desa wisata terbaik se Indonesia.

Upaya mereka menjaga dan melestarikan mangrove di Kampung Tua Serip ini meneruskan perjuangan orang tua terdahulu. “Nenek moyang kita dulu melindungi bakau dari penebang, kalau ada yang nebang mereka marah,” katanya.

Saat ini, penebang mangrove sudah berkurang tetapi ancaman pencemaran lebih besar, seperti limbah minyak dan sampah.

 

Kondisi anakan bakau yang terkena limbah minyak berwarna hitam. Foto: Yogi E Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Hutan mangrove di sebelah utara pesisir Kota Batam ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Batang-batang mangrove berukuran besar.

“Saya belum lahir, mangrove sudah ada, maka namanya Kampung Tua Bakau Serip, karena sejak dari dulu sudah ada bakau,” katanya.

Sekarang, Bakau Serip seluas tujuh hektar ini jadi obyek wisata di Kota Batam. Tak hanya dikunjungi wisatawan lokal juga mancanegara seperti Singapura, Malaysia, Korea hingga Tiongkok. “Dulu, ini tempat bermain kami waktu kecil, tempat berenang dan mencari kepiting,” kata Gerri.

Tujuan Gerri membangun Desa Wisata Bakau Serip tak hanya untuk menjaga alam, juga membangun ekonomi untuk masyarakat di sekitar Kampung Tua Bakau Serip.

Hampir semua warga terlibat sejak awal membangun Desa Wisata Kampung Tua Bakau Serip ini. Gerri membawa masyarakat sadar mangrove di desa wisata ini. “Artinya mangrove ini keberkahan untuk masyarakat sekitar, setidaknya 50 orang lebih ikut membangun Kampung Tua Bakau Serip,” kata Gerri.

Sampai saat ini, katanya, desa wisata murni dibangun masyarakat sekitar. Tak ada bantuan investor swasta. Jadi, agenda produk UMKM dan berbagai macam usaha di Kampung Tua Bakau Serip dari masyarakat.

Bagi Gerri dan masyarakat Kampung Tua Bakau Serip, mangrove sangat penting. Mereka tak bisa membayangkan kalau mangrove di kampung ini tak dijaga nenek moyangnya. Tentu gernerasi sekarang tak mungkin bisa membangun rumah di pesisir seperti sekarang.

“Kalau tidak ada mangrove, rumah kami ini habis diterjang angin utara, angin sangat kencang disini. Kalau tak ada mangrove atap-atap rumah sudah pada terbang.” Mangrove juga penahan abrasi pesisir kampung.

 

Gerri D Semet, merawat mangrove di Kampung Tua Sekip di Kota Batam. Foto: Yogi E Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

 Edukasi

Bakau Kampung Tua Serip ini terletak di Kecamatan Nongsa, tepatnya arah utara pesisir Kota Batam. Berhadapan langsung dengan Selat Singapura. Selat ini jadi perlintasan kapal besar kargo barang internasional.

Dampak musim angin utara sangat terasa di pesisir Kampung Tua Bakau Serip. Abrasi pun terlihat di sepanjang pesisir.

Mangrove, katanya, jadi benteng alami menghadapi bencana perubahan iklim ini.

Di kampung tua ini mangrove tak hidup merata. Sebagian kiri pesisir mangrove masih mereka usahakan penanaman. Bagian kanan sudah tumbuh sejak ratusan tahun lalu.

“Jadi, kita bisa lihat sendiri, pesisir yang tak ada mangrove dan ada mangrove. Yang tak ada akan abrasi, tanah longsor dan terkisis. Yang ada mangrove aman-aman saja,” kata Gerri sambil menunjuk ke arah pesisir yang tergerus abrasi.

Kondisi itu sebagai edukasi, kata Gerri, murid-murid sekolah yang berdatangan kesini jadi paham melihat perbedaan ini.

Gerri berharap, setiap pengunjung yang sadar juga ikut menjaga lingkungan, terutama melestarikan mangrove di tempat masing-masing.

 

 

*******

Exit mobile version