Mongabay.co.id

Kapan Manusia Berdamai dengan Gajah Sumatera?

Gajah sumatera bersama sang mahout di Pusat Latihan Gajah [PLG], Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Konflik manusia dengan gajah sumatera masih berlanjut.

Dwi Adhari Nugraha, Koordinator Bidang Riset Forum Konservasi Gajah Indonesia [FKGI] menuturkan, pertikaian masih terjadi karena dekatnya tempat aktivitas manusia dengan habitat gajah. Manusia masuk ke habitat gajah untuk berkebun, sedangkan gajah semakin terancam dan akhirnya menyerang manusia.

“Manusia mengubah 38 persen dari luas tanah dunia untuk pertanian, menebangi hutan untuk industri, pertambangan dan infrastruktur, serta menyisakan kurang dari 15 persen kawasan lindung darat untuk konservasi keanekaragaman hayati,” kata Dwi pada Bincang Alam Mongabay Indonesia dengan tema “Praktik Terbaik Untuk Solusi Konflik Gajah dan Manusia”, Kamis [23/06/2022].

Akibat minimnya kawasan lindung, terjadilah interaksi manusia dengan gajah yang mengakibatkan efek negatif pada konservasi satwa liar atau pada lingkungannya.

“Bahkan, terjadi perburuan dengan cara diracun atau disetrum untuk diambil gadingnya.”

Dampaknya mengkhawatirkan, gajah sumatera saat ini masuk dalam daftar satwa terancam punah. Dari FKGI dari 2002-2007 menunjukkan, di Provinsi Aceh terdata 68 gajah mati, yang 55 individu [81 persen] akibat konflik dengan manusia. Sedangkan korban manusia tercatat 11 orang luka dan 8 meninggal.

“Penurunan populasi gajah juga terjadi, dari 800 individu pada 2005 menjadi 500 individu pada 2015. Jika konflik terus terjadi, gajah di Aceh akan punah pada 30-40 tahun ke depan,” kata Dwi.

Sedangkan data konflik manusia dengan gajah di Riau menunjukkan, dari 2000-2007 tercatat 71 gajah mati. “Sementara 25 manusia meninggal dan 221 gajah ditangkap,” ujarnya.

Baca: Uniknya Gajah Borneo, Ukurannya Kerdil dan Hanya Ada di Kalimantan

 

Gajah sumatera bersama sang mahout di Pusat Latihan Gajah [PLG], Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Penangkapan gajah bukan solusi

Apakah mitigasi dengan cara menangkap gajah di alam liar merupakan solusi konflik? Tidak. Sebab, perubahan perilaku gajah liar pasca-penangkapan akan menjadi tantangan besar. Gajah bisa mati karena stres dan gangguan lainnya.

“Tindakan mitigasi harus dilakukan hati-hati, karena menyangkut keselamatan manusia dan gajah itu sendiri. Bahkan, setiap mitigasi konflik membutuhkan biaya besar.”

Hal yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi mendalam akar masalah, intensitas konflik, besaran akibat konflik, serta kondisi masyarakat dengan gajah yang berkonflik.

“Tujuannya, agar mitigasi sesuai informasi lapangan yang akurat,” jelasnya.

Baca: Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera

 

Mahout berpatroli dengan gajah sumatera di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Upaya penanganan konflik

Upaya penangan konflik juga telah dilakukan masyarakat. Misalnya, pemasangan pagar kaleng. Pemagaran ini dilakukan sejak 1980-an sebagai alat deteksi awal guna mengusir hama babi dan burung, namun sayangnya pagar kaleng ini rentan rusak oleh gajah.

Lalu pagar sirine, digunakan 2005-2007 sebagai alat deteksi dan penghalau. Namun, rentan dicuri, perawatannya juga harus intensif.

Pagar kawat pun dicoba. Digunakan tahun 2000-an sebagai pengahalau pasif. Namun, rentan dirusak gajah juga berisiko melukai mamalia besar ini. Pagar sarang lebah juga perna diuji tahun 2004 sebagai penghalau pasif. Namun, dapat dihindari gajah dengan membuka jalur baru.

Tahun 1980-an, dilakukan penjagaan manusia sebagai deteksi awal dan penghalau aktif, melibatkan masyarakat desa. Penanggulangan konflik cara ini membutuhkan dedikasi dan komitmen.

Selain ancaman perburuan dan pembukaan hutan untuk perkebunan dan pertambangan, konflik manusia dengan gajah juga terjadi karena pembangunan infrastruktur jalan. Kondisi ini membatasi mobilitas gajah yang memang terkenal sebagai penjelajah handal.

Berdasarkan kajian FKGI, bangunan infrastruktur membuat satwa liar, termasuk gajah sumatera terhambat untuk bergerak, bankan enggan lewat. Hal ini akibat lalu lintas, kebisingan, asap hingga lampu kendaraan. Bahkan, ancaman lainnya adalah kematian akibat tabrakan dengan kendaraan manusia.

“Ancaman lain, hilangnya habitat dan terfragmentasi hutan. Belum lagi ancaman sampah yang diproduksi pengendara,” tutur Dwi.

Baca juga: Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia

 

Gajah kerdil kalimantan di Kalimantan Utara. Foto: WWF – A.Christy WILLIAMS

 

Kapan gajah dan manusia bisa berdamai?

Mengakhiri konflik manusia dengan gajah, butuh pertimbangan yang didasari kelestarian satwa.

Misalnya, manusia menghormati habitat gajah dengan menghentikan konversi hutan alam tersisa dan mengembangkan ekonomi kemasyarakatan bersahabat alam, misalnya program ekowisata.

“Namun solusi penanganan konflik antardaerah pasti berbeda, tidak ada solusi tunggal. Upaya penanggulangan harus berdasarkan penilaian menyeluruh dari wilayah jelajahnya,” kata Dwi.

Paling penting adalah tanggung jawab multipihak mulai masyarakat setempat, pemerintah daerah, perusahaan, dan lembaga lainnya.

“Pendampingan masyarakat, perusahaan, dan pemerintah daerah untuk antisipasi konflik harus ada,” paparnya.

Di Indonesia terdapat dua jensi gajah yang merupakan sub-spesies gajah asia [Elephas maximus], yaitu gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] dan gajah kalimantan [Elephas maximus borneensis].

Berdasarkan data Lembaga Konservasi Dunia [IUCN], gajah sumatera masuk daftar Critically Endangered, yang mengahadapi risiko sangat tinggi terhadap kepunahan di alam. Sementara gajah kalimantan berstatus Genting (Endangered]. Artinya, dipertimbangkan berisiko sangat tinggi terhadap kepunahan alam. Status di CITES kedua spesies ini masuk kategori Appendix 1 [tidak boleh diperdagangkan].

Pemerintah Indonesia melindungi gajah sumatera dan gajah kalimantan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

 

Exit mobile version