Mongabay.co.id

Situs Petirtaan Ngawonggo, Peninggalan Mpu Sindok yang Dilestarikan Warga

 

 

Cak Bagong duduk di hadapan batu yoni, lalu dikeluarkannya dupa yang sejak awal dipegangnya. Tangan kanannya menyalakan korek api, disulutkan pada ujung dupa. Aroma wangi khas menguar. Setelah doa dipanjatkan, dia melanjutkan aktivitasnya.

Menggunakan sapu lidi gagang panjang, lelaki itu membersihkan dedaunan di sekitar Situs Petirtaan Ngawonggo, di Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

“Area situs dibersihkan setiap hari agar tidak ditumbuhi rumput,” terang Muhammad Yasin, juru pelihara sekaligus Ketua Kelompok Sadar Wisata [Pokdarwis] Situs Petirtaan Ngawonggo, Rabu, 8 Juni 2022.

Sebagai situs dengan karakter petirtaan atau pemandian suci, Petirtaan Ngawonggo selalu bersinggungan dengan air. Dipercaya, situs ini tempat para rohaniawan menyucikan diri. Mandala atau kahyangan, sebutannya.

Kondisi relief, sebagian besar tampak aus. Meski masih bisa dilihat dan dibaca tanda-tanda yang memudahkan penafsiran visualnya. Pada klaster 1A situs, dibentangkan tali untuk mencegah pengunjung memegang langsung relief yang dipahatkan pada 9 panel. Upaya preventif dilakukan, sebab struktur Petirtaan Ngawonggo terbuat dari batu cadas yang mudah lapuk dan hancur.

Yasin menambahkan, pembersihan situs dengan metode mekanis kering. Tanpa menggunakan air yang disemprotkan dengan tekanan tertentu. Alatnya berupa sikat ijuk halus.

“Perlahan dan hati-hati, menjaga situs tak luruh,” jelasnya.

 

Cak Bagong membersihkan Situs Petirtaan Ngawonggo dengan menyapu dedaunan yang gugur. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

 

Upaya swadaya warga

Warga sekitar sudah mengenal situs tersebut sejak sejak 1970-an. Mereka menyebutnya reca, karena banyak tinggalan reca [arca], namun tidak mengetahui bila lokasi ini petirtaan.

Masyarakat generasi dahulu menggunakan pancuran di ujung paling barat untuk mandi. Sejak adanya sumur, pompa air, dan akses PDAM, pancuran ditinggalkan. Akibatnya, pancuran tertutup semak.

Dalam cerita rakyat, asal usul Situs Petirtaan Ngawonggo dikenal dengan nama Awonggo yang dibangun Mbah Surayuda atau Mbah Jalaludin pada 1476 Masehi. Mbah Surayuda dikenal sebagai orang Ponorogo, murid Sunan Bayat dari Klaten, Jawa Tengah, yang mengemban tugas menyebarkan Agama Islam.

Versi berbeda dilontarkan Dwi Cahyono, sejarawan dan arkeolog asal Universitas Negeri Malang. Dwi menyatakan, Situs Ngawonggo berasal dari masa kepemimpinan Mpu Sindok era Mataram Kuno. Berbasis literasi dari Prasasti Wurandungan atau Prasasti Kanuruhan B yang berangka tahun 943 Masehi, diketahui terdapat tempat suci di sisi timur Malang Raya bernama Kaswangga. Secara toponimi, nama Kaswangga dekat dengan Ngawonggo.

“Bisa jadi pada 943 Masehi, nama Ngawonggo toponimi arkaisnya Kaswangga,” kata Dwi, Senin [06/06/2022].

Penemuan kembali situs, bermula ketika Yasin dan kawan-kawan mengunggah video lokasi bersejarah di desanya melalui akun YouTube, April 2017. Komunitas pegiat sejarah di Malang Raya melaporkan informasi itu ke Badan Pelestarian Cagar Budaya [BPCB] Jawa Timur.

Ahmad Hariri, saat itu ketua program zonasi dari BPCB Jawa Timur, menyatakan ketika tim ke lokasi, situs tertutup rumput.

“Berair, ada lumpur. Rumput tumbuh subur menutupi situs,” katanya, Jumat [10/06/2022].

Bulan berikutnya, Mei 2017, BPCB Jawa Timur melaksanakan zonasi, termasuk aktivitas ekskavasi sembilan hari. Yasin dan beberapa warga terlibat proses itu, termasuk penggalian.

Yasin mengaku mendapat wawasan bagaimana menjaga, merawat, melindungi, dan melestarikan situs.

“Warga senang, desa ramai dikunjungi akademisi dan pihak instansi,” terangnya.

 

Situs Petirtaan Ngawonggo klaster pertama diberi tali untuk mencegah pengunjung memegang relief secara langsung. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

 

Ada empat klaster pada situs Petirtaan Ngawonggo. Klaster pertama, 1A merupakan relief perwujudan dewa-dewi yang terpahat dalam 7 relief dengan 9 panel. Sementara 1B terdapat kolam dan ukiran atau relief meander. Klaster kedua, 2A dan 2B terdapat dua kolam berjajar dengan relief pusat bumi dan meander. Klaster ketiga, terdapat tebing dengan relief meander. Klaster keempat, terdapat relief yang menggambarkan makhluk Gana [penyangga alam semesta].

BPCB Jawa Timur menentukan zona inti dan zona kedua atau penyangga pada situs ini. Zona inti ditentukan dari sisi timur, mulai jembatan buatan Belanda sampai ujung kolam. Wilayah ini hanya diperbolehkan untuk keperluan dokumentasi atau ritual kepercayan setempat.

Sementara zona kedua berada di sisi luar zona inti, bertepatan dengan wilayah warga sekitar. Di zona ini, warga dapat memanfaatkan keberadaan situs untuk pengembangan ekonomi.

Di bawah koordinasi Yasin, anggota Pokdarwis Situs Petirtaan Ngawonggo yang berjumlah 40-an orang, bahu membahu melestarikan, menjaga, dan merawat tinggalan tersisa. Bersama warga Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, mereka menggelar kerja bakti sebulan atau dua bulan sekali. Kelompok mahasiswa juga kerap bertandang melakukan program pengabdian terkait perawatan situs.

“Rentan lapuk dan hancur, apalagi ketika terjadi bencana. Harus dilestarikan bersama,” kata Yasin.

Ahmad Hariri menambahkan, upaya pelestarian cagar budaya menjadi kewajiban setiap warga. Dia mengapresiasi upaya Yasin dan warga, secara swadaya melestarikan situs.

“Warga bisa memanfaatkan situs tanpa merusak, bahkan ketika tanpa anggaran dari pemerintah,” imbuhnya.

Namun demikian, Hariri menyayangkan, Situs Petirtaan Ngawonggo belum terdaftar resmi sebagai cagar budaya. Data BPCB Jawa Timur menunjukkan, situs masuk sebagai inventaris, termasuk hasil kajiannya.

“Sudah memenuhi syarat cagar budaya. Silakan Pemda Kabupaten Malang melalui Tim Ahli Cagar Budaya [TACB] mengusulkan agar ditetapkan sebagai cagar budaya,” katanya.

 

Kolam klaster kedua Situs Petirtaan Ngawonggo dengan relief pusat bumi dan meander. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

 

Teknologi instalasi air

Dwi Cahyono menyatakan, sebelah timur situs dulunya daerah sawah berair, tempat yang cocok untuk pertanian.

Situs berada di antara dua sungai, DAS [Daerah Aliran Sungai] Kali Manten dan Sungai Dawuhan. Mata air yang berasal dari sebelah timur-selatan mengalir ke kolam-kolam petirtaan.

“Ngawonggo dapat dijadikan media ajar yang berhubungan dengan manajemen air di masa lalu,” imbuhnya.

Dwi memaparkan, di Situs Petirtaan Ngawonggo terdapat instalansi air buatan atau artifisial. Bukan hanya sumber air atau sendang [tanah cekung berisi air], tetapi juga terdapat weluran, talang, petirtaan, kemungkinan juga ada pintu air dari bambu. Jauh sebelum dibangun DAM yang dikenal dengan Sungai Dawuhan, DAM ala tinggalan nenek moyang telah dibuat.

Weluran merupakan saluran air terbuka. Di atas situs terdapat saluran air yang dibuat dengan memotong tebing padas.

“Sama kunonya dengan petirtaan, satu paket. Di sisi selatan kan dibendung, jadi sejak dulu telah ada DAM, namanya weluran. Air dari weluran dialirkan ke talang sisi selatan Sungai Kali Manten. Saluran ini yang memasok air, mengisi petirtaan-petirtaan di bawahnya,” jelasnya.

Dwi menambahkan, talang menjadi bagian tata kelola air di Situs Petirtaan Ngawonggo dengan teknologi yang bisa dibilang maju pada zamannya. Diperlukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui masa pembuatan talang.

“Talang ini lebih muda, apakah berasal dari masa Singasari atau Majapahit? Tinggalan yang kini berada di kawasan situs tak berasal dari satu masa,” kata Dwi.

Tata kelola air di situs dapat disebut accents hydrologi. Budaya masa lalu yang memberikan pelajaran, kearifan lokal mampu mencipta tata kelola air bermanfaat bagi masyarakat. Mulai irigasi persawahan [di sebelah barat] hingga ritual religi.

“Sekarang, tinggalan Situs Petirtaan Ngawonggo dapat dijadikan wisata edutourism, wahana belajar tentang air. Juga untuk belajar tentang lingkungan, ecotourism,” pungkas Dwi.

 

* Wulan Eka Handayani, Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya, Malang. Tulisan ini didukung Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version