Mongabay.co.id

Merawat Hutan Mangrove Pangkalan Jambi, Konservasi dan Sumber Ekonomi Masyarakat

 

 

 

 

Ujung Jalan Nelayan, Desa Pangkalan Jambi, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis, Riau, kini hijau dengan hutan mangrove rapat. Ada jembatan kayu yang bisa membawa pengunjung meliuk-liuk di tengah lebatnya hutan bakau dan api-api.

Di beberapa lokasi ada saung-saung kecil. Ada menara yang bisa dipanjat untuk melihat sebaran pohon penahan abrasi itu. Luas sekitar 18,9 hektar. Ini satu-satunya wisata alam di Pangkalan Jambi dengan nama Mangrove Education Center (MEC). Khusus wisata ini seluas tiga hektar.

Selama dua tahun pandemi COVID-19, wisata di sana sempat berhenti total. Tak ada pengunjung. Ngumpul dilarang. Lebaran lalu, kembali menggeliat dan perlahan membangkitkan lagi perekonomian masyarakat. Dalam satu hari wisatawan mencapai 2.000 ribuan kepala.

Alpan, nelayan juga tokoh masyarakat yang giat merehabilitasi mangrove, sempat khawatir dengan membludaknya penikmat wisata hutan dengan nama latin rhizophora ini karena fasilitas belum sempat dirawat.

“Was-was juga. Alhamdulillah aman. Pemerintah desa juga sudah mulai perhatikan kegiatan ini. Mereka juga mau buat wahana permainan yang ramah bagi anak-anak,” katanya belum lama ini.

 

Papan informasi mengenai Mangrove Education Center (MEC). . Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Hutan mangrove itu terhampar dari perbatasan Desa Lubuk Muda sampai Desa Dompas. Dalam laporan Tim HSSE Pertamina RU II Sungai Pakning 2020, terdapat 22 jenis mangrove di Pangkalan Jambi. Semula cuma tujuh.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 106/2018, jenis mangrove memang tidak dilindungi tetapi rata-rata dalam status berisiko rendah dan tidak terevaluasi menurut daftar IUCN dan CITES.

Mangrove Pangkalan Jambi juga tempat hidup dua jenis mamalia dan 25 jenis burung dari 14 famili. Layang-layang batu merupakan burung paling dominan, sementara cinenen belukar tercatat paling melimpah. Jipasan belang yang dilindungi juga ditemukan di sini.

“Mungkin karena ekosistem makin membaik. Jangankan flora, fauna juga nambah. Sekarang muncul simpai hitam. Sebelumnya gak pernah kelihatan. Berang-berang muncul, apalagi monyet,” kata Rizal Indra, Community Development Facilitator, PT Pertamina RU II Sungai Pakning.

MEC Pangkalan Jambi, bermula pada 2004. Kelompok Nelayan Harapan Bersama merehabilitasi pohon mangrove yang ditebang secara liar. Tiap pulang melaut atau saat libur cari ikan, mereka gotong royong tanam pohon ala kadarnya, karena belum mengenal teknik penanaman yang baik.

Kerusakan mangrove kala itu memperparah abrasi di pesisir desa. Daratan kian terkikis mencapai 1oo meter lebih. Masyarakat nelayan berangsur-angsur pindah mencari pemukiman baru yang jauh dari hantaman gelombang laut.

Jadi, hutan mangrove kini tumbuh kembali, dulu bekas pemukiman nelayan. Masih ada beberapa peninggalan gubuk kayu masyarakat di tepi suak, tempat tambatan sampan nelayan.

“Kawasan ini sempat gundul. Jalan depan kita ini, jalur asal Pangkalan Jambi. Sudah tiga turunan,” cerita Alpan.

Bagi Alpan, tak mudah mengembalikan pohon bakau dan api-api dengan keterbatasan pengetahuan yang mereka miliki. Tanam 1.000 paling hanya tumbuh 100 pohon. Belum lagi menghadapi penebangan liar oleh masyarakat sekitar maupun dari luar.

Kayu bakau dan api-api ditebang untuk bangunan atau pembuatan kayu arang. “Dulu, hukum ini belum begitu ketat dan digalakkan betul. Masyarakat hanya menebang tapi tidak menanam lagi. Alhasil gundul dan terjadi abrasi,” kata Alpan.

“Payah nak diceritakan. Awalnya, jadi tantangan besar kami. Pejam mata saja. Terus berusaha dari tahun ke tahun. Sampai hari ini kami dapat keberkahan. Harapan kami makin maju.”

 

Bibit mangrove yang disiapkan untuk penanaman. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2017, kegigihan Alpan dan nelayan Pangkalan Jambi terbantu dengan pendampingan PT Pertamina RU II Sungai Pakning. Lewat program tanggung jawab sosial, perusahaan datangkan akademisi dari Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro untuk kajian.

Intinya, nelayan diarahkan membangun penahan ombak agar tingkat keberhasilan penanaman mangrove lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Ia terbuat dari belahan kayu nibung yang ditancapkan ke dalam lumpur, dengan menyisakan ketinggian dua meter di atas permukaan. Bentuk segi tiga dan membenteng daratan sepanjang 150 meter yang ditambahi dengan jaring.

Model hybrid engineering itu bukan yang pertama. Awalnya, cuma bentuk pagar kayu. Karena kurang kuat, diganti dengan nibung campur ranting pohon. Bentuknya juga menyerupai pagar tetapi tak tahan lama. Sampai akhirnya beralih seperti model saat ini dan bertahan sudah lebih dua tahun.

Metode itu cukup berhasil menahan lumpur. Sampai 2020, sedimentasi sudah 10.500 meter kubik. Dua tahun belakangan belum ada penghitungan terbaru. Dari ketinggian nibung yang tersisa di permukaan kemajuan bisa dilihat secara kasat mata.

Dari situ barulah ditanam api-api dan bakau. “Tiap tahun ada pengawasan dan evalusai untuk lihat perkembangan tanaman. Kalau dilihat dari awal tanam sampai tumbuh, keberhasilan mungkin di atas 80%. Memang ada sebagian yang hanyut,” kata Rizal.

Setelah pemulihan mangrove menampakkan hasil, kini Kelompok Nelayan Harapan Bersama mulai memperkuat pengawasan. Tiap-tiap kuala sungai dan pinggir pantai dipasang papan informasi larangan penebangan pohon.

Menurut Alpan, masyarakat Pangkalan Jambi kini sudah melek hukum. Mereka tak susah payah lagi menyosialisasikan ancaman pidana yang akan menyandung penebang liar. Bahkan, terbantu karena masyarakat turut menegur orang-orang luar yang ingin merusak mangrove di desa mereka.

“Dulu, masyarakat di sini yang menebang. Sekarang mereka yang melarang. Ada kesepakatan berkat kita beri pengarahan tentang kegunaan mangrove. Pelan-pelan masuknya. Alhamdulillah mengerti dan sadar lingkungan,” kata Alpan.

 

Kawasan ini berhutan mangrove lagi setelah sempat rusak. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat Pangkalan Jambi hanya nelayan kecil yang melaut di tepi pantai dengan pompong kapasitas 2 GT. Sejak mangrove berangsur pulih, ikan mulai melimpah dan kepiting bermunculan. Sesuatu yang jarang mereka temui ketika pohon bakau lenyap satu per satu.

Melihat peluang itu, Pertamina RU II Sungai Pakning juga tidak berhenti pada rehabilitasi mangrove semata. Mereka memfasilitasi masyarakat mengolah hasil laut dan buah mangrove lewat ragam pelatihan.

Para perempuan yang juga tergabung dalam Kelompok Harapan Bersama, kini mahir mengolah ikan lome jadi kerupuk dan amplang. Buah kedabu dan nipah pun dibuat dodol dan sirup. Bahkan daun jeruju juga dibikin keripik.

Warga juga difasilitasi pengemasan hingga pemasaran. Produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) itu sudah disalurkan ke pusat oleh-oleh, Pekanbaru. Bahkan merayap di gerai-gerai bandara di Riau.

“Sebenarnya pasar mereka juga sudah banyak di desa ini. Karena dari masyarakat yang berkunjung sudah cepat habis,” kata Asri Dewi, anggota Community Development Officer Pertamina RU II Sungai Pakning.

Ide mengolah hasil laut dan mangrove jadi makanan, katanya, kebanyakan datang dari masyarakat, di samping juga diperkenalkan fasilitator. Segala peralatan dan fasilitas lain yang dibutuhkan juga tersedia di kawasan mangrove, tempat kelompok beraktivitas.

Kegiatan itu juga jadi penghasilan baru bagi perempuan Pangkalan Jambi. “Dapatlah beli garam dan bantu memenuhi belanja keluarga. Kalau dulu kami hanya di rumah. Sekarang, siang sampai sore, kami ke rumah produksi,” kata Karmita, anggota kelompok.

“Kita tinggal pikirkan kebutuhan sekolah anak aja lagi,” sahut Alpan.

Setidaknya, ada 20 perempuan nelayan terlibat dalam pengolahan hasil laut dan mangrove. Hasil evaluasi, tahun lalu, rata-rata pendapatan anggota kelompok meningkat sekitar Rp800.000 per bulan di luar pendapatan suami.

Semua bermula dari konservasi. Kini, MEC Pangkalan Jambi telah dibangun rumah pengeringan ikan dengan tenaga surya atau disebut hybrid solar dier system (HSDS). Nelayan bebas bikin ikan asin dalam kondisi cuaca apa pun.

 

Rumah produksi, tempat para perempuan mengolah ikan jadi beragam pangan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Alat ini memang belum operasi maksimal dan masih tahap pengembangan. Ia akan menambah nilai jual ikan lome jadi lebih mahal, ketimbang ditawarkan masih basah. Ia juga mendukung produksi amplang dan kerupuk berbahan dasar ikan itu.

Kolam ikan nila air tawar yang sempat terhenti produksi juga aktif kembali. Budidaya perikanan ini juga untuk memenuhi ketersediaan bahan dasar pembuatan kerupuk dan olahan makanan lain.

Alpan tak menyangka sekaligus bangga dengan hasil jerih payah mereka. Dampaknya, tidak hanya pada anggota kelompok, tetapi masyarakat lain yang ikut memanfaatkan wisata MEC. Mereka bisa menambah penghasilan dengan kawasan wisata mangrove menyediakan gerai-gerai kecil untuk berjualan.

Didy Wurjanto, Kapokja Kehumasan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), mengatakan, rehabilitasi mangrove memang sulit, tanpa disertai pengembangan ek0nomi.

“Tidak ada celah perolehan keuntungan ekonomi mengakibatkan mangorve jadi sasaran sebagai upaya bertahan hidup. Paling mudah memanfaatkan kayu dan jadi tambak,” katanya lewat aplikasi perpesanan.

MEC Pangkalan Jambi pun akhirnya jadi referensi Kementerian Dalam Negeri untuk menangani abrasi di desa-desa pesisir. Desa ini juga masuk dalam program kampung iklim (proklim).

Gubernur Riau Syamsuar, saat kunjungan pernah mengatakan, Pangkalan Jambi akan jadi percontohan desa pesisir di Riau.

Alpan juga meraih penghargaan setia lestari bumi dari Gubernur Riau, kategori penyelamat lingkungan. Kelompok Harapan Bersama juga didaftarkan untuk meraih Kalpataru, kategori kelompok penyelamat lingkungan.

 

 

 

********

Exit mobile version