Mongabay.co.id

Warga Desa Setawar, Berkebun Sawit dengan Terus Menjaga Hutan Leluhur

 

 

 

 

Jalanan berdebu kala memasuki Desa Setawar, di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Jalan tanah merah pengerasan. Debu tanah merah menutupi pohon-pohon dan tanaman hias di pekarangan warga. Dinding rumah warga dekat sisi jalan pun terlapisi debu tanah merah.

“Dulu mereka ini kerja kayu semua,” kata Darno, warga Sekadau yang mengantar Mongabay ke Desa Setawar.

Jalan menuju desa ini pun merupakan peninggalan perusahaan hak penguasaan hutan (HPH) PT Kayu Lapis, PT Barito dan PT Halisa. Ketiga perusahaan tak lagi beroperasi sudah puluhan tahun lalu.

Jalan ini secara administrasi masuk di Desa Gonis Tekam. Ia jalan dengan panjang ratusan kilometer. Warga menyebutnya Jalan Kayu Lapis. Ia melintasi empat kabupaten. Kilometer satu hingga kilometer 32 masih berada di Kabupaten Sekadau, selebihnya masuk di Sintang, Melawi dan Ketapang.

Jalan ini non status hingga menyulitkan pemerintah menganggarkan dana guna memperbaiki dan merawat jalan itu. Padahal ini jalan penghubung antarkabupaten dan antar desa. Jalan Kayu Lapis pun ‘dirawat’ oleh perusahaan sawit.

Ada tiga perusahaan sawit ikut memelihara jalan ini, lantaran punya kepentingan mendistribusikan buah dari kebun menuju pabrik.

Darno mengatakan, perusahaan yang memelihara jalan itu yakni, PT Agro Andalan, PT Jake Sarana dan PT Multi Prima Entakai. Pemerintah Sekadau yang menginisiasi pembagian tanggung jawab pemeliharaan jalan ini.

Masa kejayaan kayu di era 70an, terganti sawit. Rata-rata warga di Sekadau merupakan petani sawit termasuk Darno.

Dia bilang, kalau warga tak ikut menanam sawit maka hanya akan jadi penonton semata, seperti yang terjadi saat industri kayu berjaya di Kalimantan. “Orang ambil kayu dari hutan kami, yang kaya mereka. Kita dapat sisa-sisa.”

 

Petani sawit mandiri di Sekadau. Petani sawit mandiri perlu mendapatkan perhatian pemerintah, termasuk Uni Eropa, yang sedang bikin aturan uji tuntas. Bukan hanya aturan dibikin yang bisa berdampak buruk bagi mereka, tetapi bagaimana menguatkan petani mandiri bisa meningkatkan taraf hidup sekaligus menjaga lingkungan. Foto: Kaoem Telapak

 

Menjaga hutan adat

Desa Setawar, mempunyai luasan 65,52 kilometer persegi dengan penduduk 1.324 jiwa. Desa ini terdiri dari tiga dusun, yakni Setawar, Sidap dan Beransit. Anggaran dana desa per tahun mencapai Rp1 miliar lebih.

“Masih kami optimalkan untuk membangun Jalan Usaha Tani, biar masyarakat mudah mengangkut hasil tani,” kata Agus, Kepala Desa Setawar.

Sebagian besar warga desa merupakan petani sawit mandiri. Hanya satu dua warga yang masih berladang.

“Berladang sawah atau kebun sayur hanya untuk kebutuhan keluarga sendiri,” katanya. Jenis padi yang ditanam pun padi lokal yang dipanen setahun sekali.

Selain petani mandiri, warga pun tergabung dalam kemitraan dengan perusahaan. Kebanyakan warga tergabung sebagai mitra PT Agro Andalan.

Perusahaan ini masuk ke delapan desa di Sekadau. Paling luas di Desa Setawar. Tujuh desa lain, yaitu Nanga Pemubuh, Tapang, Perodak, Nanga Menterap, Mondi, Boti dan Sungai Sambang.

Sebagian besar warga bertanam sawit, kata Agus, meskipun begitu tetap mempunyai wilayah untuk kebutuhan hidup, termasuk hutan adat. “Ya, contoh ladang mereka itu. Beberapa juga masih ada tembawang,” katanya.

Masyarakat Desa Setawar punya hutan adat yang disebut rimba sekitar 400 hektar. Hutan tak dalam satu hamparan, tetapi terdiri dari tiga kawasan.

Sejak nenek moyang, mereka menjaga hutan ini agar tak rusak. Masyarakat juga lakukan ritual di hutan ini.

Tiga rimba Desa Setawar yakni Rimbang Engkulong Bris seluas 189 hektar, Rimba Bukit Jundak 196 hektar, dan Rimba Geradok 19 hektar.

Pada Februari lalu, desa ini mendeklarasikan hutan desa sebagai perlindungan hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi, hutan setok karbon tinggi, dan hutan masyarakat adat.

Deklarasi perlindungan hutan yang mempunyai setok karbon tinggi ini melalui Peraturan Desa Nomor 6/2021 tentang Perlindungan Hutan Adat Desa Setawar.

Perlindungan hutan oleh petani sawit dan masyarakat adat di desa ini melalui pendekatan setok karbon tinggi (high carbon stock approach/HCSA), dan nilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV).

Bernadus Mohtar, Ketua Serikat Petani Sawit (SPKS) Sekadau, mengatakan, mereka turut dalam proses perancangan peraturan desa hingga aturan itu terbit.

SPKS ikut mendampingi petani sawit. Mohtar paham benar komitmen menjaga hutan di sekitar kebun merupakan isu krusial pada perkebunan sawit berkelanjutan.

Kerjasama SPKS dengan pemerintah desa sejak 2018. Setelah peraturan desa terbit, penting buat implementasi aturan. “Kita ingin menjaga agar masyarakat tetap konsisten menjaga hutan, tak hanya nilai adat juga ekologisnya.”

Komitmen petani sawit menjaga hutan ini, kata Mohtar, bisa jadi contoh nyata dan bukti komitmen kebun sawit [rakyat] tanpa deforestasi dan degradasi hutan.

Dia bilang, tak bisa dipungkiri industri sawit merupakan sektor pencipta lapangan pekerjaan dan bisa tingkatkan perekonomian masyarakat.

Untuk meningkatkan produktivitas sawit petani rakyat, SPKS pun mendampingi dengan mendekatkan informasi maupun beri berbagai pelatihan pada petani. “Termasuk penerapan good agriculture practices (praktik pertanian yang baik) untuk peningkatan produktivitas kebun sawit,” katanya.

SPSK juga membantu petani untuk memperoleh sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

 

Desa Setawar, mayoritas warga petani sawit. Mereka juga komitmen kuat menjaga hutan adat. Foto: Kaoem Telapak

 

Rimba purba

Tiga rimba, sebagai hutan adat di Desa Setawar bisa terbilang purba. Seperianus Seka, Kepala Dusun Setawar, mengatakan, usia pepohonan di hutan itu kemungkinan sudah ratusan tahun. Di beberapa tempat ada peninggalan-peninggalan leluhur, seperti gong, batu-batu dengan jejak kaki atau kayu-kayu tua yang diyakini sebagai pedagi atau empagu, yakni sesembahan para leluhur.

“Mayoritas Suku Dayak di Desa Setawar ini adalah Sub Suku Benawas,” kata Seka.

Ada pula sub Suku Desak, Kerabat, Sekujam dan Jawan. Dari zaman dulu, rimba adat ini sudah dijaga Temenggung Adat dari jarahan manusia.

Di hutan itu, tumbuh pohon ulin, biasa disebut kayu belian,. Ada juga, meranti, dan bengkirai. Masih ada beberapa pohon dengan diameter lebih dua meter. Bahkan, ada pohon dengan lingkar batang enam pelukan orang dewasa.

Hutan ini gudang segala bagi warga. Seka bilang, kayu di rimba Kampung Sejaung masih boleh untuk perumahan, dengan seizin Temenggung Adat dan perangkat desa.

Kayu-kayu di Rimba Bukit Jundak tak boleh sama sekali ditebang. “Barang yang boleh diambil hanya tumbuhan untuk ramuan keperluan dukun serta rotan.”

Pengetahuan leluhur mengenai alam sudah sangat maju. Pada rimba larangan ambil kayu, adalah rimba-rimba yang mempunyai riam di atasnya.

Leluhur melarang menebang pohon, dan masyarakat meyakini kalau pohon ditebang akan terkena bala atau bencana. “Mungkin karena kalau pohon tak ada, tak ada yang menyerap air di atas,” kata Seka.

Riam-riam jadi sumber mata air utama warga desa. Sayangnya, pipa-pipa yang mengalir ke desa banyak rusak karena kurang pemeliharaan.

Lagi pula, tak semua warga desa yang dapat menjangkau pipa itu, karena sebaran pemukiman tak merata.

Masyarakat pun menjadi saksi masa kejayaan industri kayu di kawasan hutan. Sebagian orang jadi penonton. Setelah perusahaan tak lagi beroperasi, sebagian lahan terbengkalai hingga perusahaan sawit masuk. Menurut Seka, saat itu beberapa bagian dari kawasan itu tidak lagi hutan primer.

“Orang Dayak punya lahan luas, karena dulu memang wilayah luas. Yang menjadi penanda bagi masing-masing keluarga adalah Tembawang,” katanya.

Tembawang atau kebun buah berasal dari biji-biji buah yang dimakan kakek nenek dulu saat berladang.” Ketika ditinggalkan, biji-bijian ini tumbuh di sekitar pondok yang mereka tinggali.

Begitu terus bergiliran di setiap lahan kelola masing-masing, sampai kembali lagi ke lahan pertama yang ditinggalkan.

Biasanya satu keluarga punya lebih dari dua wilayah kelola. “Jadi, kalau masyarakat luar heran kenapa orang Dayak punya lahan luas, ya lahan juga dikelola bukan dibabat habis,” kata Seka.

Temenggung Adat menyambut baik upaya desa–sebagai perwakilan negara–melindungi hutan adat dengan membuat peraturan desa. Secara status, hutan itu berada di area penggunaan lain (APL).

Petrus Bangki, Temenggung Adat Desa Setawar, mengatakan, ketika masyarakat mulai meninggalkan kegiatan berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup, penguatan hutan adat oleh warga desa sudah merupakan keharusan.

“Masih banyak warga yang ambil ikan di sungai, ambil tanaman untuk dimakan di hutan, atau untuk obat,” katanya.

Warga pun masih melakukan ritual-ritual adat dalam kehidupan sehari-hari. Tak jarang hukum adat lebih disegani ketimbang hukum positif. Warga masih melakukan ‘royong’ atau kegiatan bergotong royong untuk membuka lahan sawah, merawat lahan kebun, atau membangun rumah.

“Beberapa tradisi yang tidak ditinggalkan, utamanya, dalam ritual menanam padi,” katanya.

Ritual manggu tanah, untuk meminta restu kepada penguasa tanah dan langit agar hasil panen berlimpah. Termasuk pula ritual Ngudah Kayu, yakni tradisi meninggalkan satu pohon atau kayu di lahan garapan untuk ‘semengat padi’.

Bangkin bilang, godaan melepaskan hutan cukup besar. Tak hanya saat industri kayu masih berjaya, dewasa ini pun ancaman hutan adalah pembalakan liar. “Kayu memang komoditi instan. Sekali tebang, langsung bisa diuangkan.”

 

Desa Setawar, sekitar 400 hektar wilayah desa ini merupakan hutan adat atau rimba yang terjaga. Desa punya aturan desa untuk perlindungan kawasan. Foto: Kaoem Telapak

 

Aturan Eropa

Intan Asmiati, petani sawit di Desa Setawar merawat kebun sawit bersama suaminya. Rata-rata petani sawit di desa itu pun mengurus kebun sendiri. Sawit jadi modal utama dalam menyokong perekonomian keluarga, setelah harga karet jatuh. “Sudah banyak yang tak lagi menoreh karet. Ada yang ganti karet dengan sawit, ada yang masih ada. Dibiarkan saja,” katanya.

Sawit relatif tak memerlukan biaya besar dalam perawatan. Beberapa warga malah tak memupuk sama sekali. “Harga pupuk mahal dan jarang ada,” kata Intan.

Saat karet berjaya, Intan masih belia. Warga yang punya karet akan menoreh pagi-pagi, lalu siang bekerja di kebun sawit. Sawit baru di bawah usia tiga tahun memerlukan perawatan ekstra. Setelah itu, tak sedikit yang membiarkan secara alami.

Intan sama sekali tidak mengetahui ada proposal aturan uji tuntas Uni Eropa terhadap komoditas-komoditas termasuk sawit.

Dari laman Komisi Eropa menyatakan, komitmen ekonomi adil dan berkelanjutan: Komisi menetapkan aturan bagi perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia dan lingkungan dalam rantai nilai global.

Proposal yang diajukan ini bertujuan mendorong perilaku perusahaan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab di seluruh rantai pasok global. Arahan ini mengharuskan perusahaan untuk melakukan uji tuntas hak asasi manusia (human rights due diligence/HRDD) yang akan membantu mengidentifikasi, menilai, dan menanggapi setiap risiko nyata atau potensial pelanggaran HAM.

Perusahaan yang gagal melakukan uji tuntas yang layak atau gagal mengambil tindakan pencegahan atau korektif akan kena sanksi administratif serta kewajiban hukum.

Ada juga soal pembatasan lahan kepemilikan petani, hanya dapat 1,5 hektar. Kalau itu berlaku bisa membuat hasil panen sawit mereka tak lagi diterima pabrik.

Kok kayaknya tidak adil ya,” katanya, saat dijelaskan mengenai aturan itu. Kalau hasil panen petani tak diterima pabrik, bukan mustahil harga akan makin turun,” katanya.

Seka bilang, seharusnya masyarakat penerima manfaat sawit, -jika ingin tangan tidak dikotori dengan label pengrusak alam,-dapat memberikan bantuan kepada para petani kecil di negara-negara penghasil sawit.

“Bahkan harusnya ada reward kepada petani rakyat yang mau menjaga hutan.”

Salah satu cara petani lebih kuat adalah berserikat. Kata Seka, rata-rata warga desa sudah bergabung dengan SPKS.

Mereka merasakan manfaat pendampingan dan perluasan jaringan informasi. Namun perlu waktu tak sebentar untuk memberikan pendampingan guna menunjang petani rakyat dapat menerapkan praktik-praktik terbaik, mematuhi komitmen NDPE, serta engelolaan perkebunan sawit berkelanjutan.

“Uni Eropa bantu juga-lah.”

 

Warga Desa Setawar, mereka berkebun sawit. Untuk keperluan sehari-hari bertanam sawyur mayur juga berladang. Warga juga punya sekitar 400 hektar hutan adat. Foto: Kaoem Telapak

 

********

Exit mobile version