Mongabay.co.id

Wisata Ramah Lingkungan Tomboan Ngawonggo dan Konsep Kuliner Tradisional

 

 

Baca sebelumnya: Situs Petirtaan Ngawonggo, Peninggalan Mpu Sindok yang Dilestarikan Warga

**

 

Sejumlah pengunjung duduk santai di bangku-bangku kayu. Jajanan tradisional dan minum herbal tersaji rapi di meja. Pepohonan bambu menjadi latar pemandangan hijau nan asri. Terletak di Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Tomboan Ngawonggo menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi sejak Maret 2020.

Muhammad Yasin, pengelola Tomboan Ngawonggo mengatakan, tempat rehat ini dibangun swadaya masyarakat untuk menjamu tamu yang berkunjung ke Situs Petirtaan Ngawonggo.

“Nama Tomboan terinspirasi dari sajian wedhang [minuman] dari tumbuh-tumbuhan obat. Tombo dalam Bahasa Jawa artinya obat, semoga tempat ini menjadi obat letih bagi pengunjung,” ujarnya kepada Mongabay di Tomboan Ngawonggo, Rabu [08/06/2022].

 

Tomboan Ngawonggo menjadikan minuman dan makanan tradisional sebagai menu andalan. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

 

Wisata ramah lingkungan

Tomboan Ngawonggo mulai dibangun tahun 2020. Warga menyumbang bahan bangunan maupun peralatan. “Fasilitas dibuat swadaya. Ada yang memberi pawon, gubuk, jedhing [kamar mandi], langgar [mushola], cungkup [bangunan beratap],” lanjut Yasin.

Menariknya, peralatan makan yang digunakan di sini berbahan non-plastik. Mulai piring dan gelas stainless hingga bakul berbahan bambu.

Minuman dirajang langsung di atas pawon berbahan bakar kayu. Serai, jeruk, jahe, bunga rosela, daun kelor hingga racikan rempah wedhang uwuh diolah manual. Disajikan menggunakan teko dan gelas yang bisa dicuci dan digunakan ulang.

Makanan seperti emblem, horog-horog, tiwul, ongol-ongol, getuk, dan lemet dibungkus daun pisang. Ada juga makanan berbahan vegetarian yaitu sego jagung, urap-urap, bongko, bothok, sayur lodeh, tahu dan tempe yang disajikan kepada pengunjung.

Pengunjung dapat mengambil minuman, jajanan, dan makanan secara prasmanan. Bayarnya sukarela, melalui kotak asih yang disediakan.

“Lingkungan situs harus dijaga dengan kearifan lokal. Zero waste diterapkan beriringan dengan konsep tradisional,” ujarnya.

Yasin menjelaskan, Tomboan Ngawonggo memakai filosofi hidup sederhana warga desa dalam keseharian. Warga mengonsumsi daging ketika ada hajatan, sementara makanan harian dipetik dari kebun.

“Kesederhanaan warga 50 tahun lalu. Penggunaan fasilitas dan peralatan pun disesuaikan.”

Pengelola Tomboan Ngawonggo yang disebut rencang terus menerapkan wisata ramah lingkungan. Warga setempat dilibatkan dalam pembuatan jajanan dan makanan. Proses memasak dilakukan dari rumah masing-masing. Setelah matang, disajikan di Tomboan Ngawonggo.

 

Pengunjung Tomboan Ngawonggo menikmati makanan tradisional di lokasi bernuansa alam. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

 

Permasalahan sampah di tempat wisata

Hadi Prasetyo, seorang pengunjung, menyatakan Tomboan Ngawonggo berhasil menyajikan konsep wisata yang meminimalisir sampah. Ada peraturan yang melarang pengunjung membawa produk kemasan plastik.

“Tempat wisata yang memperhatikan aspek lingkungan, sekaligus bisa belajar sejarah di Situs Petirtaan Ngawonggo,” imbuhnya, Rabu [08/06/2022].

Coqi Basil, Head of Public Relation Trash Hero Tumapel, menyatakan banyak sampah plastik kemasan brand minuman kekinian ditemukan di tempat wisata di Malang Raya.

“Berbagai merek minuman kekinian menyisakan sampah plastik dalam jumlah banyak dan tersebar secara merata di Malang Raya,” ujarnya, Kamis [09/06/2022].

 

Tomboan Ngawonggo merupakan lokasi wisata alami yang dibangun dengan swadaya warga. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

 

Coqi memaparkan, UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah tak relevan saat ini. Terutama, pada dua ketentuan pengelolaan sampah, yakni pengurangan dan penanganan.

Pasal 20 menyebutkan, pengurangan sampah dilakukan melalui kegiatan pembatasan timbunan sampah, pendauran ulang sampah dan pemanfaatan kembali sampah. Daur ulang masih menjadi titik tumpu kedua dari pengurangan sampah. Padahal saat ini transisi menuju renewable energy [energi terbarukan] lebih perlu ditekankan.

Renewavle energy dahulu, kemudian reduce [pengurangan], lalu recycle [pendauran ulang],” ujarnya.

Sementara perda [peraturan daerah] di beberapa daerah yang mendukung pengurangan timbunan sampah tidak diterapkan maksimal karena minim pengawasan dan penegakan hukum.

Dia mencontohkan Perda Kota Malang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok, tidak mendapat pengawasan maupun sanksi tegas bagi pelanggar. Di tempat ibadah, institusi pendidikan, tempat wisata disebutkan dalam undang-undang tersebut tidak dipebolehkan  merokok, terutama membuang limbahnya. Sementara dalam aksi clean up yang rutin digelar komunitasnya, Coqi  menemukan kenyataan sebaliknya.

“Regulasi tentang sampah sulit diterapkan. Berharap ada aturan yang mengatur mulai dari ranah peraturan wali kota atau peraturan bupati. Juga ketentuan mengenai pengurangan dan tata kelola sampah,” ujarnya.

 

Minuman herbal merupakan menu andalan di Tomboan Ngawonggo. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

 

Pola hidup nol sampah

Zero waste atau nol sampah menjadi filosofi hidup dengan meminimalisir sampah. Konsep ini  pertama kali digunakan Paul Palmer, ahli Kimia asal Oakland, California, pada 1970-an. Palmer mengembangkan temuannya untuk penggunaan kembali sejumlah bahan kimia yang diproduksi industri elektronik.

Zero waste dapat dilakukan dengan menghindari penggunaan plastik sekali pakai. Reuse atau penggunaan berulang menjadi kunci utama dalam meminimalisir sampah, termasuk sampah plastik.

Memulai gaya hidup zero waste dapat dimulai dengan prinsip 6R yaitu. Rethink, Refuse, Reuse, Reduce, Rot, dan Recycle. Tolak dan kurangi perilaku memproduksi sampah. Pilihlah produk yang sustainable, bisa digunakan berulang.

Pendauran ulang sampah yang dilakukan, bertujuan untuk pengelolaan sekaligus peningkatan nilai dan daya guna sampah. Prinsip 6R merupakan pengembangan dari versi 3R [Reduce, Reuse, Recycle].

Coqi mengungkapkan, upaya mengurangi sampah bisa diterapkan dengan dua cara, dari diri sendiri dan secara luas.

“Diri sendiri dengan membawa tumbler atau alat makan, juga mengajak orang sekitar untuk peduli sampah. Sementara untuk dampak luas, bisa dengan pembaruan regulasi,” tandasnya.

 

* Wulan Eka HandayaniMahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya, Malang. Tulisan ini didukung Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version