Mongabay.co.id

Terlilit Jaring, Lumba-lumba Mati Terdampar di Pantai Sasak

 

 

 

 

 

Satu lumba-lumba bungkuk Indo Pasific (Sauca chinensis) mati terdampar di Pantai Sasak Nagari Sasak, Kecamatan Sasak Ranah Pesisir, Pasaman Barat, Sumatera Barat, 21 Juni lalu. Evakuasi baru pada 29 Juni dengan kondisi lumba-lumba mulai membusuk.

Pada mulut lumba-lumba ada lilitan jaring, diduga mamalia laut ini tersangkut jaring nelayan yang sedang mencari ikan.

Dari rilis BPSPL Padang yang diterima Mongabay, kabar lumba-lumba mati terdampar ini pertama kali dari akun Instagram @infopasbar_ dan warga atas nama Pipit Y.Y.

Tim respon cepat BPSPL Padang segera menelusuri informasi dengan menghubungi penyuluh perikanan Pasaman Barat, Kelompok Konservasi Penyu Maligi, dan masyarakat yang menayangkan informasi.

Setelah evakuasi dan identifikasi, lumba-lumba dikuburkan oleh masyarakat dengan arahan dari staf respon cepat BPSPL Padang via videocall Whatsapp. Lumba-lumba tidak dilakukan nekropsi karena tak ada dokter hewan maupun peneliti.


Berdasarkan data BPSPL Padang sejak 2017-2022, ada enam kejadian lumba-lumba terdampar di pantai Sumatera Barat. Mamalia laut yang terdampar karena jaring atau alat tangkap nelayan dalam 2008-2022 sebanyak 16 kali.

Yuspardianto, dosen Teknologi Penangkapan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Bung Hatta, Padang menyebut, lumba-lumba terlilit lebih karena ketidaksengajaan.

“Dari foto yang dikirim saya melihat semacam jaring gillnet untuk menangkap ikan, kemungkinan besar jaring putus dengan kondisi terbentang di perairan. Saat itu lewat lumba-lumba.”

Jaring itu, biasa digunakan nelayan di perairan dangkal sekitar zona 1, 2, dan 3 bukan di lepas pantai, sementara lumba-lumba biasa hidup di lepas pantai. Jadi, katanya, kemungkinan besar jaring nelayan ini putus karena badai atau cuaca ekstrem hingga hanyut mengikuti arus dan mengenai lumba-lumba.

“Namanya makhluk hidup kalau sudah kena suatu benda ia akan panik, saat panik itulah terlilit dan tidak bisa melepaskan diri, hingga mati dan terdampar ke pantai.”

 

Lumba-lumba bungkuk Indo Pasific terdampar pada 21 juni, namun penguburan lumba-lumba baru dilakukan pada rabu 29 Juni dengan kondisi lumba-lumba yang sudah mulai membusuk (kode 3).

 

Ketua Program Studi Pemanfaatan Sumber daya perikanan ini menyebut, aturan pemerintah terkait alat tangkap sudah pas, sudah ada ukuran jaring untuk udang dan ikan dan nelayan. “Nelayan Sumbar itu patuh dengan aturan, maka ada surat izin dari pengawasan, setiap kapal masuk akan dicek, hasil tangkapan apa.”

Untuk nelayan tradisional, biasa mereka mencari ikan dengan jaring gillnet. “Meraka menangkap ikan sekitar lima mil dari pantai, yang tertangkap itu bukan untuk dijual hanya untuk makan sehari-sehari atau sekadar untuk kebutuhan dapur.”

Donny Rahma Saputra, Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar mengatakan, regulasi alat tangkap sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/2021 tentang penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan dan laut lepas serta penataan andon penangkapan ikan.

Di Sumbar, katanya, mayoritas alat tangkap nelayan kecil adalah jaring gillnet khusus menangkap ikan pelagis kecil.

 

Satu lumba-lumba bungkuk Indo Pasific (Sauca chinensis) ditemukan mati terdampar di kawasan Pantai Sasak Nagari Sasak, Kecamatan Sasak Ranah Pesisir, Kabupaten Pasaman Barat, pada (21/6/22). Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Dwi Suprapti, ahli mamalia laut dari Asosiasi Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia (IAM Flying Vet) mengatakan, ada sejumlah indikasi penyebab mamalia laut terdampar antara lain, indikasi pencemaran laut oleh limbah plastik dan polutan lain, efek samping kegiatan dengan gelombang sonar, dan kegiatan manusia kurang ramah lingkungan. Juga, kondisi alam, gempa, cuaca buruk, dan lain-lain.

Kalau ada kejadian satwa terdampar, katanya, langkah pertama dengan menghubungi instansi terkait seperti BKSDA, BPSPL, Dinas Kelautan dan Perikanan ataupun first responder yang terlatih.

Kalau ada kejadian terdampar, perlu mengajak dokter hewan bergabung untuk melakukan nekropsi guna meneliti penyebab kematian. Makin awal, katanya, akan lebih banyak pesan atau informasi diperoleh melalui sampel yang diamati. Kalau sudah pembusukan, makin minim yang bisa diteliti, hanya parasit, aspek makrokospis, dan genetika.

Dalam periode 2015-2019, ada 304 kejadian terdampar, 80% tak terjawab karena keterbatasan biaya, sumber daya manusia, dan informasi. Sisanya, tertinggi karena by-catch, tertangkap manusia, luka, internal, cuaca, tertabrak kapal, predator, dan lainnya.

 

Pada saat terdampar ditemukan lilitan jaring pada mulut lumba-lumba. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

***

Adapun penanganan lumba-lumba atau mamalia laut terdampar terbagi menjadi dua yaitu penanganan hidup dan penanganan bangkai (mati). Terkait penanganan lumba-lumba terdampar di Pantai Sasak, dia menilai, sebelum dikubur mestinya nekropsi oleh dokter hewan atau tenaga ahli untuk menginvestigasi penyebab kematian.

“Bagaimana penanganan mamalia laut terdampar sebenarnya tergantung situasi dan kondisi. Ada benarnya penguburan langsung jika memang tak ada dokter hewan atau tenaga ahli yang memiliki kapasitas untuk nekropsi,” katanya, seraya bilang, mengingat kepentingan pencegahan potensial penyebaran penyakit karena lumba-lumba sudah mengalami pembusukan.

Idealnya, kata Dwi, kalau tersedia atau dapat menghubungi dokter hewan atau tenaga ahli sebaiknya nekropsi.

Penanganan mamalia terdampar, katanya, perlu pelatihan karena ada penilaian dan tahapan. “Kalau belum pernah cukup melaporkan. Mamalia laut diberi peneduh jika kepanasan, jika berbatu pindah ke lebih lembut. Tak ada yang mendekat atau mengganggu. Minta arahan saat kontak respon cepat.”

Sejauh ini, katanya, populasi lumba-lumba di Indonesia belum dapat diketahui pasti, mengingat luas wilayah perairan laut negeri ini,

 

Exit mobile version