Mongabay.co.id

Warga Intaran Paparkan Dampak Pembangunan Terminal LNG pada Tahura Mangrove

 

Pemprov Bali bersama PT PLN berencana membangun terminal gas alam cair (LNG) di Bali di kawasan mangrove Tahura Ngura Rai, Denpasar. Proyek tersebut ditentang warga Desa Adat Intaran, Sanur karena dinilai berpotensi merusak kawasan mangrove, berpotensi menimbulkan abrasi dan merusak terumbu karang.

Setelah aksi pertama di Desa Intaran, Sanur pada 19 Juni 2022 lalu, warga kembali mengadakan aksi penolakan pada Selasa (21/06/2022) dengan jumlah berlipat lebih banyak. Dengan menggunakan pakaian, mereka memutari setengah Lapangan Renon dan dan audiensi ke DPRD Bali

Selain pakaian adat dan baleganjur, elemen budaya aksi kali ini adalah barong rangda. Ini seni tari sakral dan pertunjukan yang melambangkan pertempuran kekuatan baik dan jahat, keseimbangan, dan penyadaran.

Parade aksi dimulai dari lapangan parkir Timur lapangan Renon, melewati kantor Gubernur Bali, sampai di depan gedung DPRD Bali. Saat akan masuk halaman gedung, petugas kepolisian menghalangi dan menutup pintu gerbang.

Sebagai mediasi, sejumlah tokoh masyarakat diberi izin masuk lebih dahulu. Sementara peserta aksi masih menari, menabuh gong, dan orasi di depan pintu gerbang. Setelah 30 menit, mereka akhirnya diizinkan masuk menuju wantilan untuk audiensi.

baca : Aksi Protes Warga Desa Adat Intaran Sanur terhadap Rencana Proyek Terminal LNG

 

Warga Desa Intaran, Sanur kembali melakukan aksi penolakan rencana pembangunan terminal Liquified Natural Gas (LNG) di kawasan Tahuran mangrove Ngurah Rai pada Selasa (21/06/2022). Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pada aksi yang kedua ini, warga ada mempresentasikan riset kawasan tapak lokasi pembangunan terminal Liquified Natural Gas (LNG) yang diprotes. Fakta-fakta hasil riset ini disampaikan depan anggota DPRD Bali yang menerima rombongan aksi.

Sebelum dipresentasikan, Ketua Komisi III DPRD Bali bidang infrastruktur dan energi Agung Adhi Ardana menyatakan dalam Perda tata ruang Bali yang disahkan 2020 disebutkan ada jaringan pipa gas. Karena itu diperlukan adanya terminal pipa gas.

Sementara revisi tata ruang yang dilakukan menurutnya karena ada kewajiban integrasi di UU Cipta Kerja terkait penggabungan tata ruang daratan dan lautan, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Ia mengaku tidak setuju ada pembangunan dermaga karena mangrove melindungi pulau Bali dan tidak serta merta bisa dibabat. Kalaupun diperlukan, menurutnya harus ada pengganti.

Sementara itu Wayan “Gendo” Suardana yang mempresentasikan hasil riset Walhi Bali, Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (Kekal), dan Frontier Bali mengatakan pembahasan revisi RTRWP Bali itu bukan integrasi tapi menambah hal baru dengan memasukkan terminal LNG di pesisir itu.

“Revisi ini khusus melegalisasi pembangunan terminal LNG. Pasal 26 memasukkan terminal LNG di Sidakarya. Itu hal baru. Yang bisa hanya jaringan pipa. Satu-satunya terminal LNG di Benoa. Peninjauan kembali tidak bisa dilakukan untuk pemutihan atau mengakomodir izin proyek,” sebutnya.

Perubahan Perda juga dinilai tak harus dipercepat karena melanggar asas partisipasi publik. Menurutnya istilah integrasi tak ada di UU, mekanisme revisi harus 1×5 tahun di akhir tahun. Jika revisi 2020, harusnya dilakukan 2025. Karena itu keluarnya izin prinsip untuk pembangunan terminal LNG ini menurutnya melanggar tata ruang. Yang harus jadi patokan adalah Perda RTRWP bukan RTRW Kota.

baca juga : Proyek Energi Bersih Tapi Berisiko Merusak Ekosistem Pesisir dan Mangrove?

 

Warga Desa Intaran melakukan audiensi dengan DPRD Bali dalam aksi penolakannya pada 21 Juni 2022. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Perubahan Blok Perlindungan

Suardana juga menelusuri dugaan penyesuaian regulasi ini. Mulai dari adanya MoU Gubernur Bali dengan PLN sehingga diperlukan penyediaan lahan terminal LNG. Pemprov membentuk Perusda, lalu Perusda membuat perusahaan pengelola terminal, PT Dewata Energy Bersih (DEB). Suardana menyebut pada 2021, status Tahura Mangrove diganti peruntukannya di lokasi tapak proyek dari blok perlindungan jadi blok khusus untuk mengakomodasi terminal.

Menurutnya perubahan status blok ini tidak tepat karena dari hasil riset, referensi, dan observasi lokasi tapak kondisi eksisting mangrove menunjukkan kepadatan, keragaman satwa, dan tidak ada pembangunan. Selain itu di kawasan pesisir ada beragam ekosistem terumbu karang dan lamun.

Kerapatan mangrove di lokasi tapak ini disebut masuk kualifikasi sangat rapat dan sedang. Selain itu kepekaan ekologis mangrove sangat sensitif pada intervensi aktivitas pembangunan.

Kawasan mangrove di antara Serangan dan Sanur ini pun memiliki sejarah panjang menarik. Awalnya lahan gundul walau statusnya hutan karena ada aktivitas tambak. Suardana menceritakan, pada 1992, Menteri Lingkungan Hidup kala itu Emil Salim marah pada Gubernur Bali saat itu IB Oka, karena hutan mangrove gundul. Setelah itu ditetapkan jadi taman hutan rakyat atau Tahura pada 2003. “Tambak digusur, bedol tambak untuk jadi hutan,” urainya.

Setelah itu masuk program JICA Jepang yang merevitalisasi mangrove sampai tumbuh lebat lagi. Pada 2009, mangrove makin padat dan tinggi. Tingginya kini sampai 10 meter setelah ditanam 30 tahun.

 

Rencana lokasi pembangunan terminal LNG di kawasan mangrove Tahura, Denpasar, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pada 2012, di kawasan tapak rencana lokasi terminal ini termasuk blok perlindungan, aktivitas hanya untuk riset. Kemudian pada 2021 diubah jadi blok khusus. “Kenapa dijadikan blok khusus pada 2021? Harusnya komisi III DPRD protes blok khusus ini,” sebut Suardana.

Hal lain, walau pemrakarsa proyek mengatakan hanya memanfaatkan mangrove 3 ha, tapi analisis riset ini menyebut akan terdampak 7 ha.

Soal janji penggantian mangrove, ia tidak percaya karena dari dua kasus sebelumnya, hal ini belum nampak. Misalnya saat pembangunan jalan tol di atas laut, Tahura kehilangan 2 ha. Kemudian saat proyek reklamasi Pelindo di Teluk Benoa, Tahura kehilangan mangrove 17 ha. “Sampai sekarang tidak nampak. Janji dua kali. Sekarang kami tidak percaya,” ketusnya.

Terkait kerusakan terumbu karang, dari peta indikatif terumbu karang RZWP3K, disebutkan kemungkinan sekitar 5 ha yang terdampak. Apalagi sebelumnya ada proyek transplantasi dan pembuatan struktur pada 2020 di kawasan itu.

Made Mangku, warga Sanur, pendiri Sekretariat Kerja Pelestari dan Penyelamat Lingkungan Hidup (SKPPLH) mengkhawatirkan dampak pengerukan alur laut agar kapal pembawa LNG bisa masuk, berpotensi terjadi abrasi.

 

Mangrove mati karena reklamasi untuk perluasan Pelabuhan Benoa pada September 2019. Gubernur Bali meminta PT Pelindo III untuk menghentikan reklamasi. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dalam aksi kali ini, sejumlah tokoh masyarakat dan pimpinan dusun di Desa Adat Intaran menyampaikan kegelisahannya.

Bendesa/Kepala Desa Adat Intaran I Gusti Agung Alit Kencana heran minta DPRD mendukung protes warga dan menolak pembangunan terminal. Mangrove dinilai sudah menjadi isu internasional termasuk di perhelatan G20 nanti. “Mangrove bisa menghindari tsunami, menyerap karbon, tempat biota berkembang biak, bagaimana penghidupan warga nanti?” tanyanya.

Ia mendukung pembangunan asal tidak menghancurkan alam. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Denpasar juga sebagian besar dari wisata Sanur yang dinilai akan terdampak dari proyek ini.

 

Exit mobile version