Mongabay.co.id

Petani sekitar Danau Toba Tanam Serai Wangi: Tanaman Penjaga Lahan, Penghasil Cuan

 

 

 

Masyarakat adat Tanah Batak, punya kebiasaan tanam sangge-sangge atau serai wangi mengelilingi lahan pertanian mereka. Ia jadi pelindung lahan sekaligus sebagai tanaman penghalau hama. Kini, warga di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, ini mulai mengelola serai wangi jadi beragam produk dan bisa meningkatkan ekonomi mereka.

Tomuraja Tamba, petani asal Desa Lumbanpoki, Pulau Samosir, sudah tiga tahun mengelola sangge-sangge.

“Hasilnya lumayan. Bisalah bikin anak sekolah sampe perguruan tinggi”, katanya.

Tomuraja mengelola lahan seluas dua hektar dengan antara lain tanam sangge-sangge. Dia bikin minyak telon dalam kemasan botol kecil, punya brand sendiri, dan sudah dipasarkan hingga ke luar Sumatera Utara.

Saat pandemi COVID-19, Tomuraja kebanjiran pemesanan karena bikin pembersih tangan dari sangge-sangge.

“Bisa juga buat pengharum ruangan, karbol (mengepel lantai), minyak wangi, minyak telon, juga berfungsi mengobati jamur pada kulit,” katanya.

Dia menanam serai wangi mengelilingi tanaman lain dan berfungsi sebagai pengusir hama alami.

 

Baca juga: Serai, Si Rumput Kaya Manfaat

Tanaman serai wangi warga sekitar Danau Toba. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Baginya, tanam serai wangi relatif mudah, bahkan gulma seperti rumput bukan halangan berarti, tak mengganggu pertumbuhan sangge-sangge.

Tomuraja mengatakan, panen pertama ke panen selanjutnya meningkat. Saat dipotong, daun akan makin banyak, hampir tiga kali lipat. Dalam setahun, katanya, bisa empat kali panen.

“Hasil panen bisa 10 ton per hektar, satu kg per tanaman,” katanya.

Untuk bikin minyak telon, Tomuraja ggunakan mesin suling hasil modifikasi sendiri.

Dia mengenang, kala mulai usaha minyak telon ini tanpa modal. Kini, pembeli makin banyak, dia pun sudah meraup keuntungan hingga puluhan juta menanam sangge-sangge.

Serupa di Desa Hutaginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Lahan tidur seluas tujuh hektar, ditanami beragam seperti kopi, pinus, bawang merah, jagung dan sangge-sangge atau serai wangi.

Serai wangi panen warga desa ini sudah ada pembelinya. “Budidaya sangge-sangge sejak dua tahun terakhir. Ada di beberapa wilayah Danau Toba. Mulai dari akar hingga rumput kita gunakan, tak ada yang dibuang,” kata Bernat Siregar, manager PT. BeniMel Tani Bestari.

Hutaginjang berada di ketinggian 1.400-1.600 mdpl dengan curah hujan tinggi. Kondisi itu membuat kandungan minyak atsiri dalam serai bermutu. Meskipun kontur tanah Hutaginjang miring dan berbukit-bukit, sereh wangi tumbuh optimal.

“Kami punya prinsip konservasi lahan dan pemberdayaan masyarakat,” kata Bernat.

 

Warga Desa Hutaginjang, Kecamatan Muara, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. panen serai wangi. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Dia bertugas mendampingi warga mulai dari pembibitan, penanaman, perawatan, hingga panen. Hasil panen serai wangi antara lain untuk bahan minyak serai. Usaha ini juga mengelola ampas serai wangi untuk pakan sapi, dapat juga jadi pupuk kompos.

Sangge-sangge berpotensi meningkatkan ekonomi warga sekitar. Tanaman ini terbilang mudah menanamnya. Perawatan tak sulit. Sereh wangi, katanya, juga berguna sebagai tanaman konservasi pada lahan kritis, bisa mencegah erosi.

Roganda Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, saat seminar Festival Bumi dan Manusia, Mei lalu mengatakan, sejak turun-temurun warga adat memakai tanaman di hutan sebagai obat-obatan, antara lain serai wangi.

“Ekonomi masyarakat adat bergantung pada hutan, termasuk obat-obatan,” katanya.

Di dalam kebiasaan pertanian tradisional masyarakat adat di Tano Batak, katanya, para petani memagari tanaman padi dengan sangge-sangge. Ia ditanam di sekililing petakan sawah. Model ini dipercaya bisa mengusir hama secara alami.

 

******

 

Exit mobile version