Mongabay.co.id

Pesona Uniknya Flora Fauna Kawasan Karst Maros-Pangkep

 

Pada suatu sore di akhir tahun 2019, di mulut situs prasejarah gua Leang Batu Tianang, kawasan Rammang-rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros,

Sulawesi Selatan, satu individu kupu-kupu jenis Throides helena, terbang rendah. Bagian dalam sayapnya yang kuning, membuatnya mudah dikenali. Kupu-kupu ini, adalah jenis yang dilindungi dan menyebar di beberapa tempat di kawasan bentangan pegunungan karst Maros-Pangkep.

Throides helena adalah kupu-kupu yang anggun dan endemik. Dia menjadi salah satu serangga incaran pemburu kupu-kupu. Biasanya hinggap di bunga dan terbangnya rendah. Di tempat lain, di hamparan sawah yang bersebelahan dengan pegunungan karst yang runcing –yang kemudian dinamakan Hutan Batu dalam kawasan wisata Rammang-rammang-– burung kirik-kirik melesat cepat menangkap kupu-kupu.

Di kawasan karst lainnya, saya juga menjumpai bagaimana hewan mamalia berkantung kus-kus Sulawesi berjalan lambat saat siang hari. Melilitkan ujung ekornya yang kuat, lalu menggapai pucuk dahan lainnya. Saat berpindah dahan, rantingnya terangkat bergoyang.

Tak sampai disitu, saya juga melihat Tarsius fuscus, menjaga anaknya di penangkaran alam wilayah Pattunuang karst, pun sama mendebarkannya. Primata nocturnal (aktif di malam hari) ini berbadan yang kecil dan mata melotot, bagai mengawasi. Jika menoleh, kepalanya bergerak seperti berputar 90 derajat, dan terlihat lucu.

baca : Kisah Belantara Karst Maros-Pangkep yang Menakjubkan

 

Seekor mamalia Tarsius fuscus. Foto : dok. TN Bantimurung Bulusaraung

 

Tapi menyaksikan monyet hitam Sulawesi (Macaca maura) adalah atraksi yang juga tak kalah mencengangkan. Monyet-monyet itu bergerak dalam sebuah kawanan, bergelantungan diantara pepohonan di lantai tebing, menggoyangkan ranting dan daun, hingga teriakannya menjadi sangat ramai. Kadang-kadang pemimpin monyet itu akan berdiri dan memamerkan rahangnya yang kuat dengan taringnya.

Beberapa kali saya menyaksikan monyet itu turun di gunung Bulu Barakka, atau di sisi sungai kampung Berua, Rammang-ramamng. Kawanan monyet yang bermain dan berebut makan di waktu siang, di sisi sungai Berua, menjadikan ranting dan pohon bergoyang keras.

Dan burung Sri Gunting akan menunggu dengan sabar tak jauh dari tempat kawanan monyet itu. Dahan-dahan yang ditempati beberapa serangga bersembunyi atau beristirahat, akan beterbangan dan siap dilahap dengan cepat oleh si burung.

Sri gunting, juga dikenal sebagai burung penjaga monyet. Suaranya yang melengking dan bervariasi, menjadikan perburuan itu menyenangkan untuk disaksikan. Ekornya yang lebar menyerupai sirip ekor ikan, dan berwarna hitam. Di kampung Berua, saat jelang sore, mendengar kicauannya sangat menyenangkan. Atau siulan burung kepodang Sulawesi yang merdu.

baca juga : Menjaga Karst, Menjaga Keanekaragaman Hayati Rammang-rammang

 

Panorama Kampung Berua, kawasan Rammang-rammang, Desa Salenrang, Maros, Sulsel. Foto : Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Paniki karst Maros

Ketika matahari sudah turun, jingga merah di arah barat, menjadikan panorama kawasan Rammang-rammang menakjubkan. Pucuk-pucuk punggungan karst akan terpapar warna jingga dan sementara kaki bukit telah gelap. Di antara puncak bukit, yang memisahkan kampung dan bentangan sungai Sangkarra, satu persatu burung elang terbang dengan santai. Puluhan burung akan bermain dan mendekati arah mulut gua, menunggu kelelawar pemakan serangga dan buah keluar.

Di kawasan Rammang-rammang ada jenis kelelawar kecil. Dalam dunia kelelawar ada dua pengelompokkan. Kelelawar berukuran kecil disebutnya Microchiroptera – biasanya memakan serangga. Sementara kelelawar berukuran besar disebut Macrochiproptera, biasanya memakan buah.

Dua jenis kelompok kelelawar ini, terdapat di kawasan karst Maros-Pangkep. Namun, khusus untuk Microchiroptera, kelelawar ini menjadi sangat unik. Ketika dia terbang dan meninggalkan gua, mereka tak menggunakan penglihatan, karena memiliki mata yang sangat kecil. Kemampuan terbang kelelawar jenis ini lebih mengandalkan pada pendengaran karena memiliki telinga yang cukup besar.

“Telinga itu sangat sensitif, dan digunakan untuk menangkap suara.Sementara Macrochiproptera, lebih menggunakan penglihatan saat terbang, memiliki mata yang menonjol dan terlihat dengan jelas,” kata Risma Maulany, peneliti kelelawar Universitas Hasanuddin, Makassar yang dihubungi pertengahan Maret lalu.

baca juga : Mengenal Kelelawar, Satwa Penyerbuk Tanaman dan Pengendali Hama

 

Kelelawar pemakan buah di Parangtinggia, Maros, Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Risma menjelaskan, kelelawar pemakan serangga mempunyai kemampuan ekolokasi yaitu menggunakan telinganya dalam menjangkau dan mengenal lokasi. Kemampuan navigasi dengan cara mengeluarkan bunyi yang kemudian dipantulkan oleh obyek-obyek yang ada di sekitarnya. Bunyi pantulan itu akan membantu mengidentifikasi keberadaan obyek.

“Sehingga kelelawar itu meski terbang tidak pakai mata, tetapi tidak bakalan nabrak. Contohnya ketika terbang di dalam gua yang gelap. Ekolokasi digunakan sebagai alat navigasi untuk berkelana atau berburu. Tanpa harus menabrak stalagtit atau ornamen gua,” jelas Risma.

Di Rammang-rammang dan secara umum Maros, kelelawar dalam bahasa lokal disebut paniki. Keberadaan paniki kecil di Kampung Berua membawa manfaat yang besar pada praktik pertanian. Kotorannya yang menumpuk menjadi guano –-untuk dijadikan pupuk kompos– yang sangat baik untuk pertanian. Kelelawar itu menempel di langit-langit dan dinding gua, dan kotorannya menjadi persediaan pakan bagi organisme di lantai gua. Dan paniki ini juga adalah predator ulung beberapa jenis serangga yang menjadi hama pertanian.

Tahun 2018-2019, Risma bersama tim dari Universitas Hasanuddin, juga melakukan penelitian di Kecamatan Simbang, Maros, pada kelelawar buah. Kemudian tahun 2021, penelitian kelelawar berlanjut, pada kelelawar serangga di gua Leang Londrong dalam gugusan karst wilayah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Tim itu menemukan tiga jenis kelelawar Microchiroptera, yang menghuni gua. Masing-masing Hipposideros diadema, Rhinolopus arcuatus, Myotis sp. Jumlah spesies yang tercatat selama penelitian berbeda dengan yang dicatat oleh penelitian sebelumnya di gua Leang Londrong oleh Suyanto & Wiantoro yang menyebutkan hanya dua spesies yang menghuni gua, yaitu Hipposideros diadema dan Miniopterus schreibersii.

Tidak ada catatan tentang Rhinolopus arcuatus dan Myotis sp ditemukan. “Ini mungkin terkait dengan sifat gua. Dimana ada kemungkinan spesies lain juga menempati gua ini,” tulisnya dalam laporan, Diversity of cave-dwelling bats in Leang Londrong, Bantimurung-Bulusurasung National Park: An initial field note, dipublikasikan oleh IOP Conf. Series: Earth and Enviromental 886 tahun 2021.

menarik dibaca : Gua-Gua Prasejarah, Wajah Lain Kawasan Ekowisata Rammang-Rammang

 

Panorama didalam gua Leang Londrong, Kabupaten Pangkep, Sulsel. Foto : dok. TN Bantimurung Bulusaraung

 

Detail laporan itu juga menyebutkan, jika gua Leang Londrong memiliki luas 51,57 ha dengan panjang 5,9 km dan dijadikan sebagai sarana objek wisata sejak tahun 2006. Situs ini juga memiliki sungai yang mengalir sepanjang tahun dan beberapa pipa besar menyembul di mulut gua untuk kebutuhan air, pemukiman dan perusahaan yang berada di sekitarnya.

Untuk memasuki Leang Londrong, dengan kondisi sungai yang terus mengalir, dibutuhkan perahu kano dan ataupun perahu karet, agar dapat menjangkau relung terdalamnya. Untuk itu, Risma dan tim hanya memasang perangkap dalam jarak 25 meter. Beberapa celah dibuat jebakan yang diperkirakan menjadi pintu keluar atau pintu masuk kelelawar. “Selain itu, kemampuan Microchiroptera sebagai pemakan serangga dengan ingatan tiga dimensi yang baik dapat memungkinkan kelompok ini untuk dapat menghindari lokasi perangkap.”

Kelelawar Hipposideros diadema atau diadem leaf-nose bat status perlindungannya adalah least concern (LC) oleh IUCN dengan tren populasi menunjukkan penurunan. Dan populasi jenis Hipposideros diadema yang ditemukan di Leang Londrong dianggap lebih besar daripada yang ditemukan di situs lain. Dimana secara umum jenis ini memiliki panjang tubuh sekitar 100 mm dengan berat antara 50-73 gram. Namun di Leang Londrong rata-rata panjang tubuh di atas 100 mm dengan berat di atas 60 gram.

Jenis lainnya adalah Rhinolopus arcuatus (kelelawar tapal kuda Arcuate) dianggap sebagai least concern (LC) oleh IUCN. Meski populasi spesies ini dilaporkan stabil, namun habitat dan kualitas lingkungan dilaporkan telah menurun di daerah tempat.

Spesies ini pertama kali dilaporkan sebagai salah penghuni Leang Londrong. Dan di Sulawesi Selatan, spesies ini telah dilaporkan juga menghuni Gua Marapettang dan Sawi di Maros dan Gua Mara Kallang, di Pangkep. Dan laporan lainnya juga menyebutkan jika jenis ini juga dilaporkan keberadaannya di Taman Alam Mangolo dan Taman Nasional Rawa Aopa, Sulawesi Tenggara.

Jenis kelelawar selanjutnya adalah dari genus Myotis dimana tercatat total 343 spesies. Sebanyak 12 spesies berada di Indonesia dan 5 spesies tercatat ada di Sulawesi. Masing-masing adalah Myotis ater, M. adversus, M. formosus, M. horsfieldii, dan M. muricola. Salah satu spesiesnya ditemukan di Leang Londrong.

Temuan kelelawar dalam kelompok Microchiropteran di Leang Londrong ini menjadi situs yang penting untuk melihat keseimbangan habitat kelelawar. Hingga data yang lengkap tentang gua dan kelelawar akan digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan kawasan, dalam pengembangan wisata dan masa depan dalam mendukung upaya konservasi dan perlindungan habitat di kawasan karst Maros-Pangkep.

baca juga : 10 Kelelawar Paling Unik di Dunia, Bagaimana Wujudnya?

 

Julang sulawesi yang merupakan burung endemik Sulawesi ini bisa ditemukan di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Julang yang anggun

Iyajji (60 tahun) adalah warga kampung Berua, Rammang-rammang. Ketika ditemui di rumahnya pada awal Maret 2022, dia bercerita tentang masa lalunya kisaran tahun 1980-an. Menerawang dengan pandangan menuju tebing-tebing karst yang mengelilingi kampung. “Dulu, selalu ada itu Alo’ (burung julang Sulawesi) melintas dan bisa main sebentar di sekitar pepohonan itu,” katanya sembari menunjuk lokasinya.

Kini dia hampir tak bisa lagi mengingat kapan terakhir burung berparuh besar itu melintas. Meski beberapa warga mengungkapnya, tahun 2021, burung itu pernah melintas di atas kampung, namun hanya satu individu.

Julang atau Aceros cassidix, adalah jenis burung yang terbang berpasangan. IUCN mengategorikan burung ini dalam status daftar merah atau rentan. Di kawasan Leang Londrong, saya berkesempatan menyaksikan burung ini terbang dan bermain bersama pasangannya. Melompat dari satu dahan ke dahan pohon lain. Jika terbang, kepakan sayapnya berbunyi.

Dalam catatan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, terindentifikasi, sedikitnya 740 spesies satwa liar, sebanyak 33 jenis mamalia, 154 burung, 17 jenis amfibi, 30 jenis reptil, 23 jenis ikan dan 240 jenis kupu-kupu. “Diantaranya terdapat 52 jenis penting yang dilindungi undang-undang dan 364 jenis endemik Sulawesi,” tulis laporan itu.

Dari jumlah spesies tersebut diatas terdapat 8 jenis yang merupakan spesies kunci yaitu monyet Hitam Sulawesi (Macaca maura), kus-kus beruang (Ailurops ursinus), kus-kus Sulawesi (Strigocuscus celebensis), musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii), babi hutan Sulawesi (Sus celebensis), julang Sulawesi (Aceros cassidix), kengkaren Sulawesi (Penelopides exarhatus), dan elang Sulawesi (Spizaetus lanceolatus).

 

Monyet dare atau monyet hitam Sulawesi (Macaca maura). Foto : Ady Kristanto

 

Sementara kupu-kupu yang menjadi salah satu ikon kawasan karst ini. Kupu-kupu yang terdapat di taman nasional ini tidak kurang 240 jenis yang teridentifikasi pada tingkat spesies, dengan jenis endemik antara lain adalah: Papilio blumei, Papilio polytes, Papilio sataspes, Troides halyphron, Troides helena, Troides hypolithus, dan Graphium androcles.

Selain itu, terdapat pula jenis hewan endemik dalam gua sebagai penghuni gelap abadi seperti ikan dengan mata tereduksi bahkan mata buta (Bostrychus spp.), kecoa buta (Nocticola spp.), kumbang gua (Eustra saripaensis), jangkrik gua (Rhaphidophora sp.), serta tungau gua (Trombidiidae).

Sementara untuk jenis tumbuhan, sedikitnya 709 jenis yang teridentifikasi dari 14 keluarga kelas monocotyledonae dan 86 keluarga kelas dicotyledonae. Diantaranya terdapat 43 jenis tumbuhan ficus yang merupakan spesies kunci. Sebanyak 116 jenis anggrek alam. namun dari jumlah tumbuhan itu, terdapat 6 jenis yang dilindungi, yaitu eboni (Diospyros celebica), palem (Livistona chinensis, Livistona sp.), anggrek (Ascocentrum miniatum, Dendrobium macrophyllum dan Phalaenopsis amboinensis).

Catatan hewan dan tumbuhan TN Bantimurung Bulusaraung ini, beberapa diantaranya juga terlihat di kawasan Rammang-rammang. Meski kawasan itu tidak masuk dalam kawasan konservasi, namun menjadi zona penyangga kawasan yang penting.

Pabrik semen Bosowa yang tak jauh dari kawasan Rammang-rammang, dengan getaran saat pabrik melakukan peledakan batuan, atau debu yang melayang hingga ke wilayah itu, menjadi kejadian yang harus mendapatkan perhatian. Jarak Rammang-rammang menuju pabrik semen hanya sekitar 3 km, atau sekitar 5 menit perjalanan menggunakan motor.

 

Koridor air di hulu aliran sungai kawasan Rammang-rammang. Foto : Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Di bukit Tamangura, akan dengan mudah menyaksikan sisihan wilayah konsesi dan kawasan Rammang-rammang yang hanya dipisahkan bentangan bukit yang memanjang. Bukit yang hingga saat ini, belum banyak dieksplorasi flora dan faunanya, hingga sistem hidrologi.

Jalur air dalam kawasan karst yang rumit inilah yang terus menerus menjadi teka teki bagi para petualang dan pencinta gua. Di kawasan wisata air terjun Bantimurung misalnya, aliran airnya bermula dari banyaknya aliran celah, hingga aliran permukaan sejauh 20 km lebih. Sementara sistem hidrologi Jamalaa, yang bersisihan dengan air terjun Bantimurung, belum dapat dipetakan dengan pasti. Padahal dua aliran ini bermuara pada satu sungai Bantimurung.

Rumitnya celah batuan karst yang terus bertumbuh dengan proses karstifikasi menjadikan bentangan itu terasa hidup. Ornamen gua dari mulai stalagmit, stalagtit, hingga pilar pada ratusan gua terus terjadi. Gua-gua itu juga membentuk iklim mikro sendiri. Menjadikan beberapa flora dan fauna yang berada di dalamnya memiliki karakter dan morfologi yang unik.

Di banyak tempat, jangkrik yang berjalan di lantai atau dinding gua, memiliki antena atau sungut yang panjangnya dapat tiga kali melebihi ukuran tubuhnya. Atau ikan, kepiting, serta udang dalam kubangan-kubangan gua. Rasanya menjelajahi kawasan karst, bagai memasuki labirin pengetahuan alam, yang pelan-pelan terus berupaya disingkap.

Amran Achmad, guru besar kehutanan Universitas Hasanuddin, mengkonfirmasi hal itu. “Karst bukanlah gunung batu yang mati. Tapi terus bertumbuh, seperti mahluk hidup lainnya dalam kawasan itu. Jadi menjaga karst, adalah menjaga keberlangsungan hidup, alam dan manusia,” katanya.

 

Lansekap kawasan karst Maros dari puncak bukit Tamangura. Foto : Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version