Mongabay.co.id

Mengenal Wanar, Kampung Bonsai dan Tanaman Hias di Lamongan

 

 

 

 

Wanar, begitu nama desa yang dikenal sebagai kampung bonsai ini. Berlokasi di Kecamatan Pucuk, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, desa ini berada sekitar tujuh kilometer ke arah barat dari pusat kota. Saking populernya desa ini dengan bonsai, Pemerintah Lamongan menobatkan desa ini sebagai desa wisata.

“Iya, 26 Maret lalu, desa kami ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab Lamongan. Desa ini punya banyak ahli taman, tanaman hias dan bonsai,” kata Ali Thohir, Kepala Desa Wanar, belum lama ini.

Bonsai dan tanaman hias pun banyak dijumpai di desa ini. Setiap jengkal lahan kosong, ada bonsai dan tanaman hias berbagai jenis dan ukuran. Mayoritas ipik dan pule, sama-sama dari keluarga Ficus SPP.

Ali bilang, predikat kampung bonsai yang disandang desa itu tak lepas dari mata pencaharian warga sebagai ahli atau tukang taman. Yang unik, keahlian itu tak mereka dapat dari bangku sekolah atau kuliah tetapi secara otodidak.

Keahlian itu, kata Ali, mereka dapat turun temurun sejak 1980-an. Kala itu, ada seorang warga merantau di Surabaya sebagai penjual pupuk dan tak sengaja dimintai tolong merawat taman milik pelanggannya.

“Di Surabaya, warga yang jualan pupuk ini diminta merawat taman. Lama-lama permintaan merawat taman itu makin ramai, akhirnya ngajak tetangga lain,” katanya.

Sejak saat itu, pekerjaan jadi tukang taman terus ditularkan secara turun temurun. Bahkan, katanya, dari 6.673 warga, sekitar 30-40% jadi tukang taman. Beberapa, bahkan melakoni pekerjaan itu hingga ke luar negeri, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.

 

Pintu gerbang memasuki Desa Wanar, Lamongan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Proses regenarasi para ahli taman ini berjalan secara alamiah. Sebelum jadi ahli, para calon tukang yang kebanyakan lulusan SMA biasa ikut bekerja kepada mereka yang sudah berpengalaman. Mereka ini yang pada gilirannya jadi ahli atau tukang taman begitu seterusnya proses regenarasi terjadi.

Salah satu warga yang hidup dengan menjadi tukang taman seperti, Zakariya. Lelaki 40 tahun ini bilang, keahlian membuat landscape taman diperoleh dari saudaranya.

Saat masih SMA, dia kerap diajak ikut bekerja jadi kuli. Kebetulan, ketika itu 1997, sang kerabat ada proyek penanaman rumput di GOR Delta Sidoarjo. Di sela libur sekolah, ikut menggarap pekerjaan ini.

Sejak itu, dia sering terlibat pekerjaan taman. Hingga, berbagai model taman dan seni gambar seperti relief, landscape dia kuasai.

Penuturan sama dari Hanafi. Keahlian membuat taman dia peroleh dari senior warga sekampung yang lain. Untuk mendukung pekerjaan itu, dia memenuhi pekarangan rumah dengan beragam bonsai dan tanaman hias.

Menurut dia, bonsai-bonsai itu akan memberi pemasukan lebih ketika sedang mengerjakan taman. “Kalau taman, biasa ada bonsainya. Tidak perlu beli di luar, cukup dari yang ada ini,” kata Hanafi.

Sebaliknya, kalau sedang tak ada pekerjaan, dia masih bisa bertahan hidup dengan menjual bonsai.

Ada bonsai Hanafi. Mulai dari dolar, beringin, serut, hingga sancang. Di antara jenis koleksinya, jenis sancang paling digemari. Selain bentuk mini, tak sampai satu meter, harga pun relatif murah.

“Yang ramai sancang ini. Karena kecil-kecil, jadi cocok ditaruh di dalam ruangan atau dalam rumah.”

Soal harga, ada Rp150.000 hingga belasan juta rupiah. Bergantung bentuk dan ukuran.

Ketika saya temui, Hanafi tengah sibuk memangkas ranting pohon Ipik yang hendak jadi bonsai.

 

Bonsai di Desa Wanar, Lamongan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

***

Wanar, satu dari 17 desa di Kecamatan Pucuk, Lamongan. Desa seluas 5,7 kilometer persegi, dengan penduduk 6.637 keluarga ini merupakan terluas se kecamatan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Lamongan 2018, lahan Desa Wanar mencapai 569 hektar. Mayoritas untuk pertanian (359,47 hektar), lahan kering (106 hektar), bangunan (49 hektar) dan lain-lain (54,52 hektar).

Kendati memiliki lahan pertanian cukup luas, sektor ini dinilai kurang jadi pilihan. Dari 359, 47 hektar lahan pertanian, 109 hektar sawah tadah hujan. Dengan kata lain, saat kemarau, lahan lebih banyak menganggur. Baru kembali ditanami saat musim hujan tiba. Bonsai dan tanaman hias pun jadi andalan.

Sahlan, pengurus kelompok tani desa mengatakan, bertani jadi dilematis. Beralih menjadi tukang taman, jelas tak memungkinkan lantaran tenaga dan usia tak lagi muda.

“Tukang taman itu kudu keliling terus nyari orderan. Kecuali yang muda-muda, buka jasa lewat internet. Kayak saya yang sudah tua ini ya ndak mungkin. Mau tidak mau ya bertani ini,” katanya.

Masalahnya, penghasilan sebagai petani tak begitu menjanjikan. Harga turun saat panen. Belum lagi cuaca tak menentu, maupun rawan serangan hama dan penyakit.

Menjelang musim panen raya padi ini, hektaran padi milik warga rusak karena serangan hama tikus. Beberapa gagal panen. Padahal, mereka sudah keluar biaya besar, termasuk untuk pengairan.

“Kalau sudah begini, ya pasti rugi. Untuk mengairi sawah saja, petani harus menyewa mesin pompa karena tidak ada hujan. Padahal, sekali sewa, bisa Rp400.000. Giliran mau panen, diserang tikus, ya habis.”

Pemandangan tersaji di sepanjang jalan masuk ke desa ini. Petak-petak lahan yang sebelumnya merupakan sawah, kini berganti tanaman keras macam pule atau bibit beringin.

 

Desa Wanar, terkenal sebagai desa bonsai. Di sini juga tempat tanaman hias lainnya. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Adaptasi ilmu pengetahuan

Hermanto Rohman, dosen Otonomi Daerah dan Pemerintahan Desa Universitas Jember (Unej) mengatakan, keengganan pemuda bertani saat ini merupakan gejala umum di banyak tempat. Fenomena itu, katanya, bentuk respons atas pertanian yang dinilai tak mampu memberi harapan kesejahteraan.

Para pemuda cenderung mencari pekerjaan lain yang dirasa lebih menjanjikan ketimbang bergelut lumpur jadi petani. Padahal, pandangan itu tak sepenuhnya benar.

Salah satu kelemahan pertanian Indonesia, katanya, lambat merespons perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Para petani cenderung dengan sistem pertanian tradisional sekalipun hasil tak maksimal.

Hermanto yang asli Lamongan ini pun mendukung langkah pemerintah daerah yang menetapkan Wanar sebagai desa wisata bonsai dan tanaman hias. Penetapan itu, katanya, sekaligus membuka ruang kolaborasi segala potensi di desa itu, termasuk pertanian.

Status desa wisata, kata Hermanto, akan jadikan tingkat kunjungan ke desa meningkat. Momentum kunjungan ini perlu dimanfaatkan dengan menambah destinasi, misal, membuat demplot pertanian organik dan lain-lain. “Ini perlu didorong agar status desa wisata tak hanya seremonial, memang benar-benar membawa dampak positif bagi masyarakat.”

Pria yang banyak melakukan kegiatan pemberdayaan desa-desa di Jawa Timur ini mengatakan, tugas paling berat desa wisata adalah meningkatkan kunjungan. Cara itu, bisa diawali dengan memperkuat branding melalui media sosial atau platform digital lain.

“Setelah brand dapat, berikutnya pelayanan dan infrastruktur atau sarana dan prasarana. Karena tanpa pelayanan dan infrastruktur layak, akan susah berkembang.”

Ali mengamini masukan ini. Dengan dukungan dana desa, mereka telah mencanangkan sejumlah kegiatan guna mendukung desa sebagai destinasi wisata. Mulai dari perbaikan saluran irigasi dan gorong-goeong, hingga pembuatan tempat pengolahan sampah terpadu.

Exit mobile version