Mongabay.co.id

Sampah TPA di Cilacap Ini Habis Terkelola, Bagaimana Caranya?

 

 

 

Sutingah tengah beristirahat sebentar di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jeruklegi, Cilacap Jawa Tengah, sore itu. Dia sudah berada di sana sejak pukul 7.00 pagi bersama suami dan anaknya.

“Kadang kalau lagi penuh, mobil dateng bareng-bareng, ambilnya susah,” katanya.

Mobil yang dimaksud Sutingah adalah pengangkut sampah. Berbagai jenis mobil bak dan truk milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) datang setiap hari ke TPA Jeruklegi.

Setiap hari 143 ton sampah masuk ke TPA ini. Setiap hari Sutingah bersama 130-an pemulung lain sigap mencari sampah plastik, kertas, kaleng, kaca dan barang apa saja yang bisa dijual ke pengepul untuk didaur ulang.

Sutingah asli Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sebelum menikah perempuan 36 tahun ini sempat bekerja sebagai asisten rumah tangga di Jakarta. Setelah menikah, suami Sutingah memboyongnya ke Cilacap.

Sejak tinggal di Cilacap, setiap hari dia ikut suami mencari nafkah di TPA Jeruklegi.

“Kalau di sini rejeki-rejekian,” katanya.

baca : Pertama di Indonesia, Sampah RDF Jadi Pengganti Batu Bara

 

Sampah di TPA Jeruklegi, Cilacap, dipilah pemulung dulu yang bisa dijual, baru sisanya dikelola untuk jadi bahan baku energi. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Kadang dapat sampah banyak kadang sedikit. Kalau beruntung Sutingah pernah dapat uang Rp50.000 dalam tumpukan sampah. Suaminya pernah juga dapat cincin emas.

Setiap Sabtu atau Minggu, Sutingah dan suami membawa pilahan sampah yang dikumpulkan lalu jual ke pengepul. Lokasinya tak jauh dari TPA. Harga sampah berbeda tergantung jenis. Rata-rata dia bisa hasilkan Rp300,000-an per minggu.

Penghasilan ini mereka pakai untuk keperluan dapur dan sekolah anak yang tahun ini naik kelas dua SD.

Nggak cukup, ya dicukup-cukupin.”

Beberapa tahun belakangan makin banyak warga ikut mencari sampah di TPA. Dia pikir, mungkin karena makin sulit mencari pekerjaan.

“Dulu kalau sore sudah sepi, sekarang masih rame ini,” katanya.

 

Sampah yang sudah dicacah dan dikeringkan siap angkut ke pembeli. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

***

Beberapa ratus meter dari gundukan sampah tempat Sutingah dan ratusan warga lain memulung, sebuah shredder (mesin pencacah) raksasa tengah beroperasi.

Mula-mula semua sampah yang tak diambil pemulung, masuk ke dalam shredder. Sampah dicacah menjadi sekitar 10 cm untuk dikeringkan di beberapa bak penampung (drying bay). Di dalam bak, sampah dikeringkan untuk kemudian dipilah kembali.

“Di sini ada emisi kecil untuk blower, di bawah mesin pengering,” kata Sri Murniyati, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cilacap.

Sampah yang sudah kering dan sesuai ukuran masuk ke bak yang kelak akan diangkut PT Solusi Bangun Indonesia (SBI), pabrik semen yang berjarak sekitar 7 km dari TPA.

Sampah yang masih belum sepenuhnya kering dan ukuran masih belum sesuai standar masuk kembali ke shredder untuk proses ulang, hingga semua sampah habis. Singkatnya, ada tiga kali proses untuk menyusutkan kadar air dari 50-60% menjadi 25%.

Saat pertama kali beroperasi dua tahun lalu, mesin shredder ini hanya mencacah 40-50 ton sampah per hari. Tahun ini, meningkat jadi 120 ton sehari.

“Tahun depan kita akan maksimalkan menjadi 200 ton,” kata Murni.

Dari TPA Jeruklegi, sampah kering ukuran kecil dibawa oleh SBI untuk jadikan refuse-derived fuel (RDF). RDF sebagai bahan bakar di pabrik semen. Setiap hari SBI membawa 50 ton RDF. Setiap ton seharga Rp300.000 masuk ke kas Pemerintah Cilacap.

Selain dari SBI, pemkab juga mendapat pendapatan Rp100.000 per ton dari PT Unilever sebagai bagian dari extended producer responsibility. Penghasilan ini untuk membayar listrik TPA yang tagihan mencapai Rp75 juta per bulan.

Selain keuntungan pendapatan daerah, ujar Murni, pemanfaatan RDF menghindarkan lingkungan dari gas metana hasil timbunan sampah.

“Kita juga tidak perlu perluasan lahan lagi. Tidak ada lagi beli lahan untuk TPA,” katanya.

Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Dinas ESDM Jawa Tengah, mengatakan, selain mengurangi permasalahan sampah kota, pemanfaatan RDF juga untuk penggunaan energi alternatif.

baca juga : Tak Sekadar Solusi Sampah, RDF Jadi Energi Terbarukan Rendah Emisi

 

Warga yang memilih sampah untuk dijual di TPS Jeruklegi. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Teknologi RDF di TPA seluas tiga hektar ini dengan teknik membrane bio-dry yang menurut Sujarwanto, instalasi sederhana dan biaya operasional lebih rendah.

“Seandainya tidak ada RDF, DLH terpaksa menambah lahan lagi untuk menimbun sampah,” katanya.

Mulanya, Sujarwanto sempat khawatir karena tak banyak kisah sukses dari proyek pemanfataan waste to energy.

“Karena, kalau mangkrak, piye?” katanya. Karena itu, sebelum maupun setelah peresmian proyek ini, Sujarwanto bolak balik memastikan mesin dan operasional RDF berjalan baik.

Masalahnya, investasi juga tak sedikit, kerjasama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Pemerintah Jawa Tengah dan Pemerintah Cilacap.

KLHK memfasilitasi jasa legal panduan kesepakatan, studi awal dan penyediaan ahli sampah internasional. Juga bantu menyediakan teknologi shredder, screen, konveyor, sistem packing, bio drying membrane dan perlengkapan pemadam kebakaran.

Untuk ini, KLHK mendapat bantuan dari Pemerintah Denmark di bawah program The Environment Support Programme (ESP 3). Pemerintah Denmark melalui Kedutaan Denmark di Jakarta memberi kontribusi Rp44 miliar.

Pemerintah Jateng bertugas menyediakan dukungan biaya operasional dengan dana Rp10 miliar. Pemerintah Cilacap anggaran Rp3 miliar, menyediakan tanah dan akses jalan serta penambahan armada truk.

Infrastruktur seperti picking bay, jalan masuk, hanggar RDF plant, jembatan timbang dan jasa peninjauan detail engineering design (DED) menggunakan anggaran Rp27 miliar dari KPUPR.

SBI yang menjadi inisiator proyek ini sebagai operator dan offtaker atau pengguna produk RDF. SBI mengeluarkan modal Rp13 miliar untuk teknis, studi sosial dan studi karakter sampah.

M Istafaul Amin, General Manager SBI, mengatakan, teknik bio drying membrane ini merupakan proses pengeringan secara biologi gunakan bakteri dari sampah organik. Membran khusus atau semi permeable pada teknik ini bisa menguapkan air keluar.

“Tapi air dari luar tidak bisa masuk ke membrane,” katanya.

Bakteri didapat dari sampah organik seperti sayuran atau sisa makanan yang memang sudah ada dalam sampah kota. Jadi, tak perlu beli bakteri khusus lagi.

 

Sampah dicacah dan dikeringkan di TPA Jeruklegi. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version