Mongabay.co.id

Konflik Manusia dengan Harimau Sumatera Belum Berakhir

 

 

Konflik manusia dengan harimau sumatera di Provinsi Aceh merupakan masalah yang belum terselesaikan.

Muhajir [47] warga Desa Seuleukat, Kecamatan Bakongan Timur, Kabupaten Aceh Selatan, terluka kaki kanannya akibat cakaran harimau, Sabtu [21/05/2022].

Saat itu, dia tengah panen cabai di kebunnya yang berdekatan dengan kawasan hutan. Tiba-tiba muncul harimau. Muhajir berlari dan memanjat pohon, namun kaki kanannya kena cakar. Setelah keadaan aman, Muhajir segera mencari bantuan kepada masyarakat terdekat.

“Korban dirawat di Rumah Sakit Umum Tapaktuan, Aceh Selatan. Kami berusaha menangani kejadian ini,” ujar Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Hadi Sofyan, Senin [23/05/2022] lalu.

Hadi mengatakan, konflik manusia dengan harimau telah terjadi di Desa Seuleukat sejak akhir  2021. Tim BKSDA Aceh dibantu lembaga mitra coba merelokasi harimau tersebut, namun belum berhasil.

“Harimau menyerang warga baru kali ini terjadi. Biasanya, harimau hanya memangsa ternak, atau berkeliaran di kebun warga,” terangnya.

Baca: Instruksi Penyelamatan Satwa Liar dari Jerat dan Perburuan Telah Dikeluarkan, Implementasi Lapangan?

 

Barang bukti kulit harimau ini disita dari mantan Bupati Bener Meriah yang ditunjukkan di Polda Aceh pada 3 Juni 2022. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Aman Rahmat, warga Desa Blangtemung, Kecamatan Dabun Gelang, Kabupaten Gayo Lues mengatakan mereka ketakutan akibat harimau muncul di sekitar desa malam hari.

“Siang di sekitar hutan, malamnya masuk kebun masyarakat. Bahkan, tidur di bawah pondok kami menginap. Kami sudah melaporkannya ke pihak terkait,” ungkapnya, Sabtu [09/07/2022].

Aman berharap, pemerintah segera merespon kejadian ini agar tidak ada korban dari warga atau harimau.

“Kami sadar harimau merupakan satwa liar dilindungi, tapi juga nasib kami harus diperhatikan. Jangan sampai tidak bisa berkebun,” ungkapnya.

Jumat, 15 Juli 2022, konflik harimau dengan warga terjadi di Desa Batu Itam, Kecamatan Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan. Dua kambing warga setempat yang berada di kandang dimangsa.

“Tim BKSDA bersama lembaga mitra telah memasang kamera pemantau, jika posisi harimau ditemukan akan digiring ke hutan,” ujar warga setempat, Askari.

Baca: Jual Kulit Harimau, Mantan Bupati Bener Meriah Ditetapkan Sebagai Tersangka

 

Jerat yang dibersihkan tim patroli FKL di hutan Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Satuan tugas

Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto saat menggelar rapat Tim Satuan Tugas Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar Aceh, Kamis [30/06/2022] mengatakan, pembentukan tim berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Aceh 522.51/1519/2020 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Aceh 522.51/1097/2015 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar Aceh.

Hal ini sebagai upaya mendorong efektivitas dan efisiensi penanganan konflik satwa liar yang melibatkan lintas sektor di Aceh.

“Satuan tugas bekerja mengatasi konflik antara manusia dan satwa liar,” terangnya.

Dalam pertemuan tersebut, Agus mengatakan, berdasarkan data kompilasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh periode 2017 hingga 2021, konflik manusia dengan harimau  terjadi 76 kali.

“Umumnya, harimau memangsa ternak atau masuk kebun warga,” ungkapnya.

Agus menambahkan, konflik bisa menimbulkan kerugian materil dengan hilangnya mata pencaharian masyarakat. Juga, mengancam keberlangsungan hidup satwa liar, serta pada tingkatan terparah dapat menimbulkan korban jiwa.

Rusaknya habitat merupakan penyebab utama konflik, selain kearifan lokal masyarakat menghormati harimau mulai luntur.

“BKSDA Aceh dibantu lembaga mitra telah berkali memindahkan harimau yang berkonflik dengan masyarakat. Termasuk juga, menyelamatkan harimau yang kena jerat,” jelasnya.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Jerat yang Lagi-lagi Membuat Harimau Sumatera Sekarat

 

Jalan tambang yang telah merusak kelestarian hutan Beutong, Nagan Raya, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Konflik masih tinggi

Ahli konservasi harimau sumatera, Hariyo Tabah Wibisono mengatakan, konflik harimau dengan manusia masih tinggi di Aceh. Penyebabnya, kegiatan manusia atau masyarakat dilakukan di habitat harimau.

“Meski habitatnya masih luas, namun karena overlap dengan aktivitas manusia, konflik tidak bisa dihindari,” jelas Hariyo, Minggu [17/07/2022].

Dia mengatakan, masalahnya, masyarakat “menguasai” habitat harimau, lalu memelihara hewan ternak dengan cara melepas di sekitar hutan. Atau, dengan kandang yang mudah dimasuki harimau, akhirnya harimau memakan ternak.

“Ini konflik yang sangat umum terjadi di Sumatera, termasuk di Aceh.”

Saat ini, harimau sumatera berada di blok-blok hutan yang telah terfragmentasi akibat pembukaan lahan untuk pertanian atau perkebunan, perambahan, pembalakan, termasuk pembukaan jalan. Akibatnya, harimau semakin sulit mencari mangsa.

“Bahkan, hewan buruan utama harimau seperti babi dan rusa turut diburu manusia. Akhirnya, harimau mencari alternatif dengan berburu hewan ternak masyarakat,” paparnya.

 

Exit mobile version