Mongabay.co.id

Konflik Manusia dengan Gajah di Koridor Sugihan-Simpang Heran Memakan Korban

 

 

Abdul Karim [21], warga Dusun Belanti, Desa Banyubiru, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, yang juga karyawan perusahaan HTI [Hutan Tanaman Industri] PT. BAP [Bumi Andalas Permai], tewas terinjak gajah liar di lahan perusahaan tersebut, Selasa [19/07/2022] sekitar pukul 01.45 WIB. Lokasi kejadian, tidak jauh dari Desa Jelutung, Kecamatan Air Sugihan.

Berdasarkan informasi yang didapatkan Mongabay Indonesia, tempat kejadian itu merupakan koridor gajah kantong Sugihan-Simpang Heran. Sepanjang tahun, kelompok gajah selalu melintasi atau berdiam di wilayah ini.

Koridor gajah kantong Sugihan-Simpang Heran melalui kawasan konsesi PT. KEN [Kerawang Ekawana Nugraha], PT. SBA [Sebangun Bumi Andalas], PT. BAP [Bumi Andalas Permai], hingga PT. BMH [Bumi Mekar Hijau].

Pada kantong gajah Sugihan-Simpang Heran tercatat 48 individu gajah liar. Mereka terbagi empat kelompok [keluarga]. Kantong gajah Sugihan-Simpang Heran bagian dari lanskap Padang Sugihan, yang terdiri empat kantong gajah liar yakni kantong Cengal, Penyambungan, Sebokor, dan Sugihan-Simpang Heran. Luasnya mencapai 232.338,71 hektar. Tercatat 127 individu gajah liar yang hidup di lanskap ini.

Koridor ini sudah dipahami [disepakati] antara perusahaan, pemerintah desa, Balai KSDA Sumatera Selatan, Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, serta sejumlah organisasi nonpemerintah.

“Para pekerja tersebut tengah mencari dan mengumpulkan bibit akasia. Mereka sudah tahu kehadiran kelompok gajah, yang datang sehari sebelumnya,” kata seorang sumber.

Pada saat kejadian, Abdul Karim bersama empat rekannya tidur pulas di tenda. Satu individu gajah dari kelompok itu mendatangi tenda, merusaknya. Gajah itu kemudian menginjak Abdul Karim yang tidur. Dia berteriak kesakitan. Teriakanya membangunkan empat rekannya. Mereka pun berlarian.

Nyawa Abdul Karim tidak terselamatkan. Selasa [19/07/2022] siang, jasadnya dimakamkan di TPU di Desa Banyubiru.

“Tenda itu berada di tanah lapang, tidak jauh dari jalan. Saat datang, si Mbah [gajah] tidak memberi tanda, sehingga kelima pekerja tidak mengetahui kehadirannya. Tiba-tiba datang,” kata Susanto, Kepala Desa Banyubiru, kepada Sumatera Ekspres Minggu.

Baca: Saat Kantong Gajah di Sumsel Kian Terdesak Permukiman dan Perkebunan

 

Kawanan gajah liar yang berada di Sugihan-Simpang Heran. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Terkait peristiwa tersebut, Susanto meminta warga desanya menghindar jika bertemu kelompok gajah liar, atau melaporkannya ke perangkat desa. “Jangan sekali-kali mendekat. Kelompok gajah ini tampaknya jinak, tapi membahayakan.”

Susanto juga berharap pemerintah dan pihak-pihak yang fokus pada penanganan gajah membentuk tim khusus yang memantau dan menangani gajah liar. Khususnya, di desa yang berbatasan langsung dengan koridor gajah Sugihan-Simpang Heran, seperti Desa Banyubiru, Desa Srijaya Baru, dan Desa Jadi Mulya.

“Tim khusus yang memberikan pengarahan kepada masyarakat, bagaimana caranya [mitigasi] gajah liar ini,” kata Susanto.

Susanto berharap ada pembekalan dari kelompok peduli gajah tentang cara mengatasi gajah liar pada setiap desa di sekitar koridor gajah Sugihan-Simpang Heran. Selama ini pembekalan hanya diterima sejumlah perwakilan desa. “Agar tidak ada korban lagi,” katanya.

Baca: Seorang Anggota TNI Tewas Diserang Gajah Liar di Sumatera Selatan, Peneliti: Pahami Karakter Gajah

 

Salah satu cara menghindari konflik dengan gajah liar adalah dengan menjaga jarak dan tidak merusak habitatnya. Foto: PJHS

 

Habitat gajah

Air Sugihan yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] di bawah tahun 1980-an merupakan kawasan hutan rawa gambut, yang merupakan habitat ratusan gajah sumatera.

Pada 1981, Pemerintah Indonesia menjadikan Air Sugihan sebagai kawasan transmigran dari Jawa. Ribuan hektar hutan dibuka menjadi permukiman dan lahan perkebunan. Akibatnya, kebun dan tanaman masyarakat transmigran dirusak gajah.

“Pemerintah bukan memberikan pengetahuan bagaimana menghadapi gajah yang tetap bertahan di habitatnya, justru melakukan Operasi Ganesha, yakni memindahkan kawanan gajah di Air Sugihan ke Lebong Itam. Tindakan tersebut membenarkan gajah merupakan satwa yang mengganggu manusia,” kata Syamsuardi, Ketua PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa] kepada Mongabay Indonesia, Rabu [20/07/2022].

Gajah yang dipindahkan tersebut tentu saja kembali lagi. Sebab, gajah hidup mengikuti koridor yang sudah terbentuk selama ratusan tahun. “Selama 40 tahun, selalu terjadi konflik gajah dengan manusia,” katanya.

“Konflik ini harus dihentikan atau diminimalisir. Untuk memulainya, kita harus berpikir bahwa gajah bukan musuh. Gajah harus diajak hidup damai. Berdampingan. Oleh karena itu, kita perlu berbagi dengan gajah. Baik terkait koridor maupun pangan,” kata Syamsuardi.

Baca juga: Menyambungkan Koridor, Agar Gajah Tidak Punah dari Pesisir Timur Sumsel [Bagian 3]

 

Gajah itu kuat. Ayunan belalai dan terjangan kakinya yang terlemah, dapat mematahkan tulang manusia. Foto: PJHS

 

Mengatasi konflik

Selain memahami gajah bukan musuh, Syamsuardi juga menjelaskan berbagai tindakan atau kiat menghindari berkonflik dengan gajah.

Pertama, saat bertemu gajah, baik gajah tunggal [laki-laki] maupun kelompok gajah, manusia harus mengambil jarak yang aman dari gajah, sekitar 50 meter.

“Seandainya gajah berlari mengejar masih dapat menghindar, atau di sekeliling kita telah ada pengaman seperti kanal dan sebagainya. Karena, kecepatan gajah berjalan dan berlari melebihi kecepatan manusia di medan yang sama.”

Kedua, hati-hati melakukan pengusiran gajah jantan yang sedang must [sedang birahi], karena sering berperilaku mengamuk atau kegilaan. Lebih baik menghindar. Tanda-tanda itu adanya cairan yang keluar dari kelenjar yang terletak, antara mata dan telinga. Perilaku ini terjadi setiap 3-5 bulan selama 1-4 minggu.

Ketiga, hati-hati mengusir gajah yang membawa anak kecil, pergerakannya akan lambat dan cenderung agesif karena melindungi anak. Pengusiran dilakukan benar-benar pelan, dengan tanpa memaksa mereka cepat pergi. Juga, pastikan tingkah laku gajah tidak agresif pada saat pengusiran, bila agresif sebaiknya pengusiran dihindari.

Keempat, jangan melakukan pengusiran dengan melukai gajah, karena gajah-gajah yang terluka cenderung agrasif, stres, dan menyerang manusia. Gajah yang terluka dan sakit akan mempunyai pergerakan yang lambat, sehingga kelompoknya juga bergerak lambat atau kelompoknya menunggu sampai gajah tersebut sehat.

Kelima, pada waktu pengusiran jangan membuat gajah terkejut. Kecuali, kita punya areal lokasi untuk mengamankan diri, karena biasanya gajah yang terkejut akan berlari tidak tentu arah dan tidak bisa dipastikan kemana berlarinya. Mereka bisa berlari menuju para pengusir dan ini sangat membahayakan.

“Keberadaan gajah pada satu tempat biasanya tidak lama. Bila mereka lama, harus dicek betul penyebabnya. Biasanya ini terjadi apabila salah satu anggota keluarga mereka mengalami sakit.”

Berbagai pengetahuan tersebut, kata Syamsuardi, sebenarnya sudah disampaikan dalam sejumlah kegiatan yang melibatkan perwakilan warga dari Desa Jadimulya, Desa Banyu Biru, Desa Simpang Heran, Desa Bukit Batu, dan desa lainnya.

“Mungkin ke depan kita akan melakukan pelatihan pada setiap desa, sehingga pengetahuan ini kian dipahami banyak warga,” katanya.

 

Exit mobile version