Mongabay.co.id

Krisis Iklim Picu Krisis Hak Anak, Mengapa?

 

 

 

 

Dampak krisis iklim muncul di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Bencana banjir, longsor, kekeringan, kebakaran krisis air, cuaca ekstrem, abrasi sampai cuaca tak menentu lagi antara lain yang sudah terjadi di negeri ini. Salah satu pihak yang berisiko terdampak adalah anak-anak. Krisis iklim mempengaruhi upaya pemenuhan hak-hak anak.

Troy Pantouw, Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media Save The Children (STC) Indonesia mengatakan, anak–anak menanggung beban berat dari dampak krisis iklim.

Untuk itu, katanya, penting upaya pemenuhan hak mereka menyasar pada membangun ketahanan mulai peningkatan kesadaran tentang aksi adaptasi krisis iklim, dan mendukung ekonomi keluarga. Juga, memastikan layanan dasar kesehatan pada anak terpenuhi, mendapat perlindungan sosial serta hak pendidikan anak.

“Krisis iklim mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anak dalam berbagai bentuk,” katanya dalam diskusi daring menyambut Hari Anak yang jatuh pada 23 Juli ini, bertema, “Refleksi Pemenuhan Hak yang Mendorong Resiliensi Anak dan Keluarga,” Jumat (22/7/22).

Dalam bidang kesehatan, data Kementerian Kesehatan menyebutkan, penyakit salah satu dari perubahan iklim yaitu diare, pneumonia, infeksi saluran pernapasan akut, serta beberapa masalah gizi seperti kurang nutrisi dan kekurusan.

 

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Makassar mencatat terdapat 3.206 jiwa pengungsi dari orangtua sampai anak-anak yang tersebar di 37 titik pengungsian di 6 kecamatan. Saat banjir seperti ini, hak kesehatan, hak pangan, dan keamanan termasuk hak pendidikan dan haklain juga berisiko tak terpenuhi layak. Foto: Basarnas Sulsel

 

Kemampuan anak dan keluarga beradaptasi dengan dampak iklim juga terbatas. Hal ini, katanya, karena beberapa alasan seperti pengetahuan, informasi dan pendampingan minim dari berbagai pihak. Untuk itu, penting memprioritaskan peningkatan kapasitas adaptasi anak dan keluarga serta memenuhi kebutuhan paling utama pada mereka yang paling terdampak.

Kahfi, perwakilan anak dari Dewan Penasihat Anak dan Orang Muda STC Indonesia mengatakan, momentum Hari Anak ini tepat bagi mereka bersuara soal hak-haknya, termasuk aspirasi dan keresahan krisis iklim.

“Satu contoh banjir rob (pasang air laut). Fasilitas pendidikan rusak. Anak-anak terdampak krisis iklim.”

Ada cerita anak terdampak bernama Rahmi. Dia tak bisa tinggal di rumah karena banjir rob pada 2018. Bersama keluarga, mengungsi selama 41 hari. “Dia bersama anak terdampak lain masih saja terkena banjir karena sampah menumpuk. Akibatnya, terkena gatal-gatal sampai terganggu pencernaan. Itu masalah nyata.”

Dampak krisis iklim, katanya, merusak sarana pendidikan dan akses pendidikan layak anak. “Bagaimana masa depan kami kalau pendidikan kami terganggungu karena krisis iklim?”

Selina Patta Sumbung, Ketua Yayasan Save the Children Indonesia mengatakan, anak-anak di belahan dunia makin terdampak kondisi terburuk iklim dibandingkan kakek mereka yang lahir 1960-an.

“Data yang kami temui, mereka akan menghadapi lebih dari satu kali kebakaran hutan. Tiga kali lebih banyak menghadapi banjir karena luapan sungai. Tiga kali lebih banyak menghadapi gagal panen. Dua kali lebih banyak menghadapi kekeringan, serta tujuh kali lebih banyak menghadapi gelombang panas. Ini nyata terjadi melanda benua Amerika, Afrika, dan Eropa,” katanya.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis periode Januari 2022-21 Juli 2022 sudah ada 2.087 bencana, dengan urutan tertinggi banjir, disusul cuaca ekstrem, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan dan lain-lain. Dari banyak bencana itu, katanya yang terbesar adalah banjir dan cuaca ekstrem. Dua bencana ini murni terjadi karena hidrometeorologi.

“Artinya, dampak krisis iklim ini sangat nyata. Apalagi buat anak-anak yang merupakan kelompok rentan saat bencana. Karena itu, Save The Children menilai, krisis iklim ini sama dengan krisis hak anak.”

 

Anak-anak sebagai generasi mendatang yang akan menanggung beban berat dampak krisis iklim saat ini dan ke depan. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

STC, katanya, secara global selama tiga tahun terakhir memfokuskan pada isu dampak krisis iklim terhadap hak anak. Terlepas dari itu, tentu banyak pihak, organisasi lain atau aktivis yang bergerak dengan tema sama.

STC, katanya, mengutamakan suara anak anak dalam setiap kegiatan dan menggunakan pendekatan inklusif dan partisipatif bahkan dipimpin anak-anak. STC juga mendayagunakan sumber daya yang ada untuk menjangkau jutaan orang melalui edukasi, sosialisasi agar lebih memahami bagaimana adaptasi dan edukasi tentang krisis iklim dengan berpusat pada anak.

“Kami berharap, ada gandengan tangan berbagai pihak. Karena kami tidak bisa bergerak sendiri. Anak-anak kita juga tidak mungkin bisa bergerak sendiri membawa perubahan yang berdampak.”

Dia bilang, STC juga meminta tanggung jawab negara untuk menggunakan litigasi strategis, dan mekanisme akuntabilitas internasional termasuk mendorong pembiayaan negara untuk mengatasi krisis iklim ini.

Harapannya, program pemerintah peka anak, melibatkan anak, dan membuat program yang berpihak pada anak. “Sudah selayaknya Save The Children memanfaatkan kemitraan dengan pemerintah baik secara global, multilateral,maupun lokal. Untuk menciptakan dampak positif nyata berpihak pada anak.”

Arif Wibowo, peneliti Madya Adaptasi Perubahan Iklim, mewakili Laksmi Dhewanthi, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, kementerian siap terlibat dalam upaya memenuhi hak anak di tengah krisis iklim.

Indonesia , katanya, berkomitmen tinggi , antara lain, ikut dalam Perjanjian Paris dan berupaya mengimplementasikan.

“Ini upaya pemerintah komitmen global. Indonesia sudah meratifikasi itu (Perjanjian Paris). melengkapi berbagai komitmen dunia, termasuk perlindungan anak,”katanya.

 

 

Sejumlah siswa menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Meskom, Kabupaten Bengkalis, Riau. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah, katanya, punya mandat mengoperasionalisasikan melalui berbagai penguatan kebijakan maupun aksi. Mulai dari isu anak, gender, atau kelompok orang tua, dan disabilitas. Hal itu menjadi landasan dalam kerangka pikir kerja KLHK (pemerintah).   Meskipun begitu, katanya, semua itu perlu proses cukup panjang .

“Setahu saya, banyak pihak berperan dalam inisiatif perlindungan anak dalam konteks perubahan iklim. Saya ingat pada 2019, ketemu pakar anak dari UNICEF yang datang KLHK berbicara tentang krisis iklim dan anak. Dari pertemuan itu, katanya, berhasil bikin program khusus tema anak dan isu krisis iklim.”

Program KLHK juga didukung UNICEF dengan beragam tema, seperti berbicara soal air, gizi, perlindungan sosial, kesehatan dan kebencanaan.

KLHK , katanya, berupaya memaksimalkan peran baik sendiri maupun bergandengan dengan mitra pembangunan.

Ahmad Arif, jurnalis yang biasa menulis soal isu bencana di Harian Kompas mengatakan, saatnya media tak hanya memberitakan dampak krisis iklim juga mencoba memberikan solusi melalui karya jurnalistiknya. “Jurnalis perlu juga berpikir, jangan-jangan krisis iklim yang makin parah ini karena perilaku individu. Seperti penggunaan kendaraan pribadi masif juga pemilihan makanan bahkan sampah yang dihasilkan.”

Karena itu, katanya, media juga perlu mendukung gerakan mitigasi krisis iklim secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, media perlu membangun kesadaran pemahaman soal krisis iklim, sekaligus menerapkan atau memberi contoh dalam kehidupan sehari-hari. Tak kalah penting, katanya, belajar literasi terkait isu krisis iklim.

 

Anak-anak memancing di Madura. Kala lingkungan rusak, kala air, udara tercemar, maka anak-anak paling berisiko terdampak. Hak-hak mereka mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan bersih tak bisa terpenuhi.Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Sumber: BNPB

******

Exit mobile version