Mongabay.co.id

Cerita Mbah Gimbal, Tobat dari Dunia Gelap Tekuni Bertani Ramah Alam

 

 

 

 

Ada sawi, kangkung, kacang panjang, bayam maupun tomat dan cabai, semangka sampai sirsak. Keladi, ketela pohon, ubi jalar dan porang pun ada. Berbagai macam sayur mayur dan buah serta umbi-umbian hampir setengah hektar di Jl Makam Kelurahan Klaru Distrik Mariat, Kabupaten Sorong, Papua Barat ini adalah tanaman yang ditanam Mbah Gimbal.

Dia menerapkan model bertani yang memegang prinsip keseimbangan dan berkelanjutan. Bercocok tanam dengan menyandingkan tatanan hidup lestari dengan pola permanen agrikultur (permakultur) ini berada di perbukitan, bertetangga dengan deretan batu nisan makam.

Porang cukup mendominasi dari luas lahan yang ada. Jenis tanaman ini pertama yang dia tanam sejak lahan permakultur ini dibuka pada 2018. Sekitar 2.500 biji porang jadi benih, Mbah Gimbal dari Ngawi, Jawa Timur.

“Dasar saya suka. (permakultur) Ini adalah budaya nenek moyang kita yang sudah hilang, yang harus dikembangkan lagi. Yang saat ini dikatakan pertanian modern, perkebunan modern, disitu tidak pakai kaidah konservasi. Di permakultur, kaidah itu nomor satu,” kata Mbah Gimbal.

Modernisasi pertanian, baginya hanyalah omong kosong malah mendorong kerusakan lingkungan. Langsung maupun tidak, petani malah diajarkan tergantung berbagai bahan kimia. Semua keperluan petani, dari benih sampai pupuk maupun obat-obatan, tak lepas dari produksi pabrik. Ujung-ujungnya, bermuara pada kepentingan bisnis kapitalis.

Dengan konsep permakultur, katanya, petani bekerja dengan alam sekaligus menjaga keseimbangan.

Mbah Gmbal juga pakai mulsa untuk tanamannya. Di permakultur ini dia memanfaatkan alang-alang dan dedaunan sekitar lahan sebagai mulsa organik.

Mulsa ini untuk menjaga kelembaban tanah dan menekan gulma tumbuh. Biasa kebanyakan petani pakai mulsa anorganik, terbuat dari bahan sistetis seperti plastik, yang terurai oleh tanah.

Untuk pupuk, dia memulung sampah organik seperti sayuran dan buah dari masyarakat secara gratis. Bahan-bahan ini dia fermentasi dengan mikro organisme lokal yang telah dikembangkan sendiri.

“Inilah cara kita menjadi petani merdeka, tidak bergantung dengan apapun dan siapapun. Semua dipungut dari alam dan lingkungan.”

 

Kebun Kompipa, menerapkan sistem permakultur. Menanam dengan ramah alam. Foto: : Tantowi Djauhari

 

 

***

Mbak Gimbal punya nama asli, Eko Tugas Kusno Setio, seorang anak tentara. Dia lebih populer dipanggil Mbah Gimbal. Julukan itu tak lepas dari model rambut panjang dan gimbal ala Bob Marley.

Dia lahir di Desa Sidorejo Glongsor, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Pada 1997, Mbah Gimbal pernah menjadi peternak bebek terbilang sukses. Dia punya mesin penetas bebek berkapasitas 12.000 ekor. Bebek dan telur diolah jadi telur asin, sebagian diambil para tengkulak dari Malang, juga ada datang dari Jombang, Pasuruan, Probolinggo bahkan Bali.

Malang tak dapat ditolak, usaha peternakan gulung tikar terkena badai krisis ekonomi, moneter, hukum mapun politik di Indonesia pada 1998. Semua aset peternakan dia jual, dan masih tak cukup membayar utang. Bisnis jual beli mobil bekas yang dia rintis sejak setahun sebelum krisis moneter juga tak mampu menopang.

“Padahal saat itu saya persiapan mau menikah. Akhirnya, batal karena saya bangkrut. Calon mertua tidak setuju.”

Satu-satunya bisnis yang masih bertahan dan menghasilkan duit, berdagang senjata api ilegal. Sebelum usaha ternak bebek dan jual beli mobil benar-benar ambruk, Mbah Gimbal sudah mulai terjun ke pasar gelap perdagangan senjata.

Perkenalannya dengan dunia persenjataan, mulai sejak mengikuti program wajib militer (wamil) tahun 1988. Wajib militer ini adalah wajib oleh anak seorang tentara. Selama pendidikan, Mbah Gimbal pernah berada di peringkat pertama sebagai seorang sniper.

Kemahiran mengoperasikan senapan, jadi modal dia masuk jadi anggota Persatuan Menembak Target dan Berburu Seluruh Indonesia (Perbakin) di Malang.

Koleksi senjata para koleganya ini terbilang lumayan, baik produk dalam negeri maupun buatan asing. Tanpa melibatkan orang lain, Mbah Gimbal mulai menjalankan bisnis gelap terlarang jual beli senjata. Bahkan, bapaknya pun tidak mengendusnya.

Dia pun bergelut dalam jual beli senjata di Jawa Timur, Sumatera dan Kalimantan. Nama ‘besarnya’ terendus bos kayu di Kalimantan dan diminta jadi pengawal. Pada 1999, Mbah Gimbal tertangkap tim Resmob Polda Jatim di Blitar. Sejak beberapa tahun sebelumnya, dia sudah jadi target polisi.

Mbah Gimbal benar-benar bertaubat, meninggalkan dunia hitam dan berhenti sebagai mafia senjata api pada 2001. Selepas dari penjara selama satu tahun, dia memilih Sampit, Kalimantan Tengah, sebagai tempat pelarian.

Di Sampit, dia bertemu seorang guru sufi yang hingga kini menjadi pembimbing spiritualnya, pindah dari dunia hitam. Selama satu tahun dia menjalani proses pembersihan hati, sebelum diperintah melakoni perjalanan spiritual ke Pulau Jawa.

Selama tujuh tahun, Mbah Gimbal berjalan kaki menemui tokoh-tokoh agama yang masih hidup, maupun berziarah ke makam para tokoh yang sudah meninggal. Perjalanan di mulai dari Mesjid Agung Demak, Jawa Tengah ke arah Cirebon, Jawa Barat, kemudian menyusuri jalur pantai selatan hingga Banyuwangi, Jawa Timur dan kembali ke Demak. Perjalanan keliling Tanah Jawa ini dijalani dalam tiga kali putaran.

 

Mbah Gimbal, menanam dengan peduli alam, tak hanya buat diri sendiri juga mengajak dan menularkan ilmu itu kepada orang lain. Foto: : Tantowi Djauhari

 

Selama berkeliling Pulau Jawa, Mbah Gimbal tak dibekali uang sepeserpun oleh sang guru. Bekal yang dia terima hanyalah pesan larangan: tidak boleh meminta, tidak boleh menolak dan tidak boleh menyimpan.

Pernah di tengah perjalanan di Pemalang, Jawa Tengah, dia dikeroyok orang kampung yang menyangkanya maling. Sekujur tubuh dihujani pukulan massa, baik yang menggunakan tangan kosong maupun kayu pentungan.

Namun peristiwa menjelang subuh itu, tidak membuat tubuhnya luka-luka. Hanya pakaian yang dia kenakan, robek tak lagi berbentuk. Beruntung kepala desa di kampung itu mengenalinya. Sang kades sempat memberi uang saku dan mengajak minum kopi, dalam pertemuan sebelumnya di area makam ulama yang ada di Pemalang.

“Waduh, kowe salah uwong. Iki musafir koncoku, duduk maling (kalian salah orang. Ini musafir temanku, bukan maling),” kata Mbah Gimbal, menirukan ucapan sang kades kepada warga yang membawa ke balai desa.

Tujuh tahun proses Mbah Gimbal lepas dari urusan dunia kelam. Katanya, rejeki itu kalau memang sudah jatahnya, tidak akan berkurang. “Hikmah yang saya dapatkan, kita hidup itu harus banyak bersyukur, tidak perlu neko-neko.”

Usai menuntaskan lelaku spiritual, Mbah Gimbal sempat diajak merintis sebuah pesantren di Jepara, Jawa Tengah. Namun hanya berlangsung selama satu tahun, lalu dia memutuskan merantau ke Tanah Papua pada 2015.

Memulai hidup baru Bumi Cenderawasih, Mbah Gimbal merintis usaha sebagai penjual bakso di Kota Sorong. Namun berbagai ketimpangan sosial yang dia saksikan saat itu, membuatnya tidak betah. Dia mengajak istrinya berpindah ke Kabupaten Sorong, Papua Barat.

Di tempat yang baru, pemandangan yang dia saksikan tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Banyak anak-anak asli Papua yang tidak sekolah, ngelem (mabuk dengan menghisap aroma lem Aibon). Kondisi ini yang menggerakkan hatinya mendirikan sebuah perkumpulan sosial. Namanya Komunitas Peduli Papua (Kompipa).

Bersama istri dan sejumlah sejawat yang memiliki tujuan yang sama, Mbah Gimbal dan komunitas membuka sekolah alam, mendatangi perkampungan penduduk masyarakat Papua untuk ajak anak-anak belajar. Kompipa membuka peluang donasi, bagi siapa saja yang ingin menyumbangkan buku-buku bacaan.

“Target awal kami saat itu, bagaimana anak-anak asli Papua yang sudah berusia 12 tahun ini bisa calistung (membaca, menulis dan berhitung),” katanya.

Ketika program sekolah alam sudah berjalan, Mbah Gimbal giliran membidik para orangtua Papua melalui program bekerja dengan alam. Kurikulumnya adalah permakultur, bercocok tanam dengan menjaga kelestarian alam.

Sudah ratusan orang yang mendapatkan ilmu permakultur dari Mbah Gimbal. Mereka ada yang sengaja datang berguru ke area permakultur Mbah Gimbal di Jalan Makam Kampung Klaru, ada pula yang dia datangi ke kampung mereka.

Mbah Gimbal terus menularkan cara-cara menanam alami dengan pola permakultur. Bahan pangan sehat terpenuhi, alam dan lingkungan pun terjaga.

Exit mobile version