Mongabay.co.id

Ramai-ramai Desak Pemerintah Cabut Izin PT Permata Nusa Mandiri di Lembah Grime Nawa

 

 

 

 

Lebih 100 pimpinan adat dan tokoh perempuan dari wilayah Grime Nawa mendesak Bupati Kabupaten Jayapura, Mathius Awoitauw mencabut izin lokasi dan izin lingkungan perusahaan sawit, PT Permata Nusa Mandiri (PNM). Pernyataan ini disampaikan dalam musyawarah adat Daerah Grime Nawa di Kantor Dewan Adat Suku Namblong sekaligus Dewan Adat Daerah (DAD) Grime Nawa Kampung Nimbokrangsari, Distrik Nimbokrang Kabupaten Jayapura, Papua pada Kamis (21/7/22).

“Kami meminta Bupati Jayapura mencabut izin-izin ini paling lambat 31 Juli 2022,” kata Mathius Sawa, Ketua DAD Grime Nawa dan Dewan Adat Suku Namblong.

Dalam berita acara yang ditandatangani para peserta musyawarah, mereka juga mendesak Bupati Awoitauw merekomendasikan pencabutan izin-izin lain seperti izin usaha perkebunan (IUP) dan hak guna usaha (HGU).

Musyawarah adat ini menyusul ada laporan terbaru Greenpeace Indonesia menyebutkan PNM kembali membuka lahan di Lembah Grime Nawa. Penyelidikan Greenpeace merekam operasi perusahaan dengan alat-alat berat di lokasi termasuk enam ekskavator dan kendaraan perusahaan lain 5 Juli 2022.

Eksavator perusahaan kembali membersihkan vegetasi dan mengolah tanah.

“Rekaman video kami menunjukkan ekskavator perusahaan masih bekerja enam bulan setelah pengumuman Presiden Jokowi (Joko Widodo) dan pembatalan izin pelepasan kawasan hutan perusahaan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Pemilik perusahaan abai terhadap perintah presiden, menteri, hukum lingkungan dan hak atas tanah adat,” kata Sekar Banjaran Aji, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.

 

Baca juga: Cabut Izin Tak Hentikan Perusahaan Sawit Buka Hutan Papua, Ini Foto dan Videonya

Foto: Yayasan Pusaka

 

Sebelumnya, awal 2022, perusahaan juga membuka hutan lebih 70 hektar. Pembabatan hutan ini menuai kontroversi karena hanya beberapa hari setelah Jokowi mengumumkan pencabutan izin sejumlah perkebunan sawit, termasuk izin pelepasan kawasan hutan PMN.

Pada hari sama, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengumumkan pencabutan izin pelepasan kawasan hutan berbagai perusahaan, termasuk PNM.

Aktivitas perusahaan kala itu langsung menuai protes dari masyarakat adat Suku Namblong. Masyarakat adat Namblong melalui Dewan Adat Suku (DAS) Namblong dan Organisasi Perempuan Adat (Orpa) Namblong mendesak Pemerintah Jayapura menghentikan aktivitas perusahaan ini. Izin-izin terbit di wilayah ini tanpa sepengetahuan seluruh pemilik ulayat.

Merespon desakan masyarakat adat ini, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DMPTSP) menyurati perusahaan agar berhenti aktivitas di wilayah izin sampai ada klarifikasi KLHK.

Setelah sempat berhenti, kini perusahaan kembali beraktivitas. Laporan Greenpeace diperkuat dengan foto citra satelit menunjukkan aktivitas perusahaan pada awal tahun dan minggu pertama Juli 2022.

 

Baca juga: Presiden Cabut Izin Jutaan Hektar, Saatnya Kembali ke Rakyat dan Pulihkan Lingkungan

Hutan yang baru dibuka perusahaan sawit, PT PNM di Kabupaten Jayapura, pada Januari lalu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Evaluasi izin sawit

Dodi Sambodo, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Jayapura, mengatakan, Pemerintah Jayapura sedang evaluasi perizinan sawit di wilayah ini.

Bupati Jayapura membentuk tim evaluasi izin usaha perkebunan kelapa sawit melalui Surat Keputusan Nomor 188.4/214/2022. SK ini ditandatangi di Jayapura pada 9 Mei 2022.

Berdasarkan evaluasi Pemerintah Papua, katanya, ada tujuh perusahaan beroperasi di Kabupaten jayapura. Dua sudah beroperasi, sisanya berpotensi dicabut.

“Bagian dari situ (evaluasi izin sawit provinsi). Tim dibentuk pemerintah daerah untuk tindak lanjut. Ada strategi nasional pencegahan korupsi KPK dan ada aspirasi masyarakat hingga dibentuk. Data semua sudah sinkron. Tapi perlu hati-hati dan minta konfirmasi ke dinas terkait dan perusahaan,” katanya di Jayapura usai rapat tim evaluasi.

Pemerintah, katanya, menargetkan evaluasi selesai secepatnya. Dari lima perusahaan yang berpotensi dicabut, empat hampir pasti dicabut, sedangkan PMN perlu gali lebih dalam karena sudah mengantongi hak guna usaha (HGU).

“Masih ada kekurangan dan harus panggil perusahaan, dapatkan informasi jelas karena ada HGU. Apakah masih ada celah ke situ nanti akan dibahas termasuk kenapa perusahaan tidak beroperasi. Yang lain hampir 98% dicabut, tapi PNM ini masih terus digali lebih dalam lagi.”

Delila Giyai, kepala DMPTSP Kabupaten Jayapura juga mengatakan, evaluasi izin PNM menjadi prioritas pemerintah Kabupaten Jayapura. Kewenangan kabupaten hanya pada izin lokasi. Sedang izin usaha perkebunan, izin kawasan hutan, dan HGU merupakan kewenangan instansi lain. Izin pelepasan kawasan hutan PNM sudah KLHK cabut awal tahun.

“Kita akan evaluasi semua. Tapi satu-satu. Kita mulai dengan PNM dulu. PNM ini kan masyarakat adat sudah teriak-teriak. Pada akhirnya pemerintah harus melihat masyarakat adat. Cuma kita cari cara yang terbaik. Ini kan konsekuensi hukumnya ada,” katanya.

 

Baca juga: Ktu Mai, Hutan Suku Namblong dan Rumah Satwa dalam Keterancaman

Lebih 100 pimpinan adat dan tokoh perempuan dari wilayah Grime Nawa mendesak Bupati Kabupaten Jayapura, Mathius Awoitauw mencabut izin lokasi dan izin lingkungan perusahaan sawit, PT Permata Nusa Mandiri (PNM). 21 Juli lalgu. Foto: Yayasan Pusaka

 

PNM mendapat izin lokasi dari Bupati Kabupaten Jayapura pada 2011 seluas 32.000 hektar. Izin ini menyebar di enam distrik yakni, Unurum Guay, Nimbokrang, Nimboran, Namblong, Kemtuk, dan Kemtuk Gresi. Pada Februari 2014 Bupati Jayapura menerbitkan izin lingkungan. Sebulan kemudian Kepala DMPTSP Papua menerbitkan izin usaha perkebunan (IUP) seluas 30.920 hektar.

Selanjutnya, Agustus 2014, Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan, menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan seluas 16.182,48 hektar kepada PNM.

Pada 2018, ada empat sertifikat HGU di IUP PNM. Pertama, SK HGU atas nama Koperasi Produsen Naba Nen Abdekan Mari Kita Bersama Membangun Plasma, HGU berdasarkan Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No. 73/HGU/KEM-ATR/BPN/2018, tertanggal 21 Agustus 2018, seluas 1. 578,77 hektar.

Kedua, SK HGU atas nama Koperasi Produsen Plasma Musari Mandiri, berdasarkan keputusan Menteri ATR/Kepala BPN N0. 78/HGU/KEM-ATR/BPN/2018, tertanggal 29 Agustus 2018, seluas 475,35 hektar. Ketiga, sertifikat HGU dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jayapura, Nomor 00021, tertanggal 15 November 2018, seluas 1.578,77 hektar berlokasi di Desa Beneik, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura.

Keempat, HGU dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jayapura, Nomor 00022, tertanggal 15 November 2018, seluas 475,35 hektar berlokasi di Desa Bunyom, Kecamatan Nimbokrang, Jayapura.

Laporan Greenpeace menyebutkan, manajemen PNM tumpang tindih dengan Salim Group, kumpulan perusahaan termasuk Indofood Agri Resources (IndoAgri) yang terdaftar di Singapura dan Frankfurt dan Indofood yang terdaftar di Indonesia, produsen mie instan terbesar di dunia.

Meskipun IndoAgri tak mencantumkan PNM di antara aset mereka, Greenpeace berpendapat, semua perusahaan yang terhubung dengan Grup Salim harus mematuhi tak hanya hukum Indonesia juga Kebijakan minyak sawit berkelanjutan yang diterbitkan IndoAgri. Ia mencakup komitmen nol deforestasi dan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (padiatapa) alias free prior informed consent (FPIC).

Pada pertengahan 2019, PNM sudah pernah membabat hutan. Aktivitas berhenti. Perusahaan ini kembali membersihkan hutan awal 2022, saat pemerintah pusat mengumumkan pencabutan izin pelepasan kawasan hutan.

Menteri KLHK menerbitkan SK No. 01/2022 tentang pencabutan izin konsesi puluhan perusahaan perkebunan sawit di Papua termasuk PNM.

Presiden Jokowi membentuk Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi. Pembentukan tim ini dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 1/2022 yang dipimpin Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, dibantu Wakil Ketua Menteri ESDM, Menteri LHK dan Menteri ATR/ Kepala BPN.

Pada 29 Maret 2022, Kepala BKPM mencabut izin konsesi kawasan hutan 15 perusahaan. Tiga adalah perusahaan yang memiliki izin pelepasan kawasan hutan di Papua, yakni PNM di Kabupaten Jayapura seluas 16.182,48 hektar, PT Menara Wasior (MW) di Kabupaten Teluk Wondama seluas 28.838,82 hektar. Kemudian PT Tunas Agung Sejahtera (TAS) di Kabupaten Mimika seluas 39.500,42 hektar, total 84.521,72 hektar. Laporan Yayasan Pusaka menyebutkan, ketiganya merupakan anak usaha dari Indo Gunta Grup.

Pada 14 Juni 2022, ketiganya menggugat keputusan Kepala BKPM ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

 

alan yang dibuat perusahaan sawit dengan membuka hutan di Kampung Beneik, Distrik, Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Desakan Koalisi Masyarakat Sipil

Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa bikin kertas posisi yang memuat analisa hukum atas perizinan PNM. Koalisi ini terdiri dari Pt.PPMA, Walhi Papua, Jerat Papua, LBH Papua, DAS Namblong, dan ORPA Namblong. Juga, Dewan Adat Daerah Grime Nawa, DAS Oktim, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Greenpeace Indonesia, dan Auriga Nusantara.

Mereka menyebutkan, ada beberapa pelanggaran perusahaan ini, seperti perolehan tanah lokasi izin tanpa persetujuan utuh pemilik hak ulayat. Hal ini bertentangan dengan UU Otonomi Khusus Nomer 21/2001 dan Perdasus 21/2001. Satu persatu informasi tentang izin PMN baru diketahui masyarakat sejak pembukaan lahan awal 2022 dan ramai protes.

“Kenapa perusahaan membongkar hutan? Itu karena masuk dalam HGU. Kalau belum ada HGU tidak mungkin perusahaan bongkar hutan. Sekarang saya minta siapa yang lepaskan hutan hingga pemerintah terbitkan HGU? Saya minta pelepasan adat ditunjukkan pada kami,” kata Abner Tecuari, pemilik ulayat Namblong.

Lokasi perizinan usaha ini tumpang tindih dengan hutan adat. Pada 12 Maret 2018, Bupati Jayapura mengeluarkan keputusan Nomor 188.4/150/2018 tentang penetapan kawasan Bukit Isyo Rhepang Muaif sebagai hutan adat dengan se19.000 hektar di Wila.

Jangka waktu izin lokasi juga telah habis. Peraturan Menteri ATR/ Kepala Badan Pertanahan Nasional 17/2019 tentang izin lokasi, memberikan jangka waktu izin lokasi selama tiga tahun. Perolehan tanah harus diselesaikan dalam jangka waktu itu.

Izin lokasi dapat diperpanjang selama satu tahun dengan syarat “apabila tanah yang sudah diperoleh mencapai sekurang-kurangnya 50% dari luas tanah izin lokasi.” Ada pembiaran dari pemerintah.

PNM tak penuhi kewajiban di dalam IUP dan Permentan soal Pedoman Perizinan Berusaha Perkebunan. PNM telah memperoleh beberapa HGU dalam bentuk sertifikat sejak tertanggal 15 November 2018 dan 5 Desember 2018. Sejak 2018 sampai 2021, tak mengusahakan HGU seperti dalam peraturan. Dengan begitu, kata koalisi, PNM melakukan penelantaran tanah sesuai PP 20/2021.

Badan Pertanahan Nasional Jayapura pun wajib menetapkan sebagai tanah terlantar, mencabut HGU PNM, dan mengembalikan kepada masyarakat adat.

PNM, juga tidak melakukan kewajiban SK pelepasan kawasan hutan. Menteri KLHK sudah memutuskan pencabutan izin pada awal 2022. Karena itu, aktivitas PNM membuka hutan tanpa izin itu tidak sah.

Koalisi juga mendesak Bupati Jayapura mencabut izin lokasi dan izin lingkungan PNM. Mereka juga mendesak DPMPTSP Papua mencabut IUP perusahaan ini. BPN Kabupaten Jayapura agar menetapkan HGU perusahaan sebagai tanah terlantar, kemudian kepada pemilik ulayat.

Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Papua juga diminta asistensi terhadap Bupati Jayapura, DPMPTSP Papua, BPN Jayapura untuk evaluasi dan pencabutan izin- PNM.

 

 

Lindungi masyarakat adat

Selain mendesak mencabut izin PNM, peserta Musyawarah Adat Daerah Grime Nawa ini juga mendesak pemerintah serius akui dan lindungi masyarakat dan wilayah adat.

“Masyarakat adat Grime Nawa menolak legitimasi pelepasan tanah sepihak karena tak sesuai hukum adat kami. Masyarakat adat sepakat pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan tanah maupun hutan adat milik berdasarkan pengetahuan dan hukum kebiasaan adat kami,” begitu bunyi salah satu poin pernyataan sikap mereka.

Mongabay berusaha konfirmasi ke PNM. Ridwan Syarif Abbas, yang diketahui sebagai humas perusahaan, tak merespon saat dihubungi. Berdasarkan data Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Jayapura, perusahaan ini tak memiliki kantor operasional di Jayapura.

 

 

 

*******

Exit mobile version