Mongabay.co.id

Menelusuri Batanghari, Sungai Kebanggaan Sumatera yang Kian Merana

 

 

 

 

 

Pada abad ke 14, arca batu Bhairawa sekitar 4 ton setinggi 4,41 meter, melintasi sungai itu. Meliuk dari muara melewati aliran Sungai Batanghari, menuju pedalaman di Dharmasyara.

Bambang Budi Utomo, seorang arkeolog, memandang batang sungai itu memikirkan bagaimana orang-orang masa lalu mengangkutnya. Memindahkan dari satu tempat ke tempat lain dengan jarak ratusan kilometer.

“Pengangkutan barang dan manusia melalui jalan darat di wilayah Asia Tenggara baru dikembangkan pada abad ke 19,” kata Bambang menuliskan makalahnya.

Sekitar 500 tahun berselang, perjalanan darat baru mulai dengan masif. Rentang itu jadikan sungai dan perairan sebagai lalu lintas sebagai nadi utama. Di batang Sungai Batanghari inilah, saya dan Bambang berdiri, pekan lalu, menyaksikan jalan itu.

Sejak 11 Juli-19 Juli 2022, saya bersama 50-an peserta dalam Ekspedisi Sungai Batanghari yang diadakan Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, menjelajahi sungai ini dari pedalaman Dharmasraya di Sumatera Barat—melintasi tujuh kabupaten dan kota–, menuju hilir di Kampung Teluk Majelis, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Perjalanan itu, dengan kapal mesin yang berpendingin ruangan dari Kepolisian Air Polda Jambi.

Awalnya, ekspedisi ini akan menyusur batang sungai tanpa jeda, lalu berhenti di perkampungan. Namun, pada beberapa badan sungai, tak bisa dilayari karena kondisi sudah mengalami pendangkalan.

Praktis perjalanan terputus-putus, dilakukan di Dhamasraya menuju situs Pulau Sawah, kemudian dari Kampung Rambutan Masam, menuju Kota Jambi dan Teluk Majelis.

Air Sungai Batanghari yang keruh dan berlumpur, pengetahuan yang terbangun sebelum datang pun sirna seketika. Saya jadi tak tahu apa-apa. Ini adalah sungai purba yang menciptakan kebudayaan agung di sepanjang pesisir. Ratusan situs budaya, mulai candi, stupa, wihara, hingga bangunan kolonial menjadi saksi.

 

Sungai Batanghari. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sungai agung yang membentang sejauh 800 km. Sungai penuh romantisme yang diabadikan dalam pantun Melayu. Kini berbeda. Rasanya sulit mengembalikan kiasan “mewah” dalam pantun tentang Batanghari, yang ada kemarahan dan kekecewaan.

Batanghari sungguh tak elok jadi sungai pelepas penat.

Sungai yang lebar mencapai 500 meter itu, kini serupa aliran pembuangan raksasa. Di sepanjang perjalanan saya menyaksikan tebing-tebing sungai roboh dan terkikis. Ada pohon yang beserta akar jatuh ke sungai. Ada sempadan penuh sawit dan tergerus.

Pepohonan di masing-masing sisi sungai, menoton. Kalau bukan karet ya sawit. Kalau bukan perkebunan, maka itu konsesi pertambangan batubara, atau industri pengolahan karet alam.

Alat-alat pengeruk pasir yang disebut dompeng, sekaligus penghisap tanah dan pasir untuk menambang pasir emas.

Dompeng itu berderet di sepanjang sungai dari mulai Tembessi menuju Kota Jambi. Beberapa orang terlihat sedang mendulang di pinggiran sungai. Bagi masyarakat di bantaran Batanghari, mendulang emas dengan tradisional sangat berisiko, karena pakai cairan merkuri untuk mengikat emas. Logam berat itu bahkan dapat mengalir ke sungai.

Tahun 2014, harian Kompas melakukan uji kualitas air di Sungai Mesumi, Merangin dan Tembesi– bagian dari Batanghari. Hasilnya, bahan baku air minum ini dengan kadar merkuri di permukaan Mesumai 0,0008 mg/l, arsenik 0,002 mg/l, dan besi 2,73 mg/l.

Konsentrasi merkuri dan arsenik itu nyaris mendekati batas aman. Kadar besi sudah sembilan kali lipat ambang itu.

 

Pabrik di muara SUngai Batanghari. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Meninggalkan sungai

Saya bertemu Novpriadi, di Kabupaten Tebo, 13 Juli lalu. Dia sedang mempraktikkan bagaimana ritual memandikan anak di Sungai Batanghari. Ritual itu diturunkan oleh neneknya, Siti Aminah yang sudah sepuh.

Pelan-pelan dia menjelaskan peralatan yang digunakan, dari mulai kembang sampai batu. Intinya, ritual memandikan anak bayi ke sungai, sebagai ungkapan syukur dan suka cita. Ia dilakukan ketika bayi telah putus tali pusar, biasa berusia 7-10 hari. Bayi itu digendong dan badan dibasahi air Batanghari.

“Waktu saya kecil, cerita orangtua, saya merasakan ritual itu,” kata Novpriadi. “Sekarang orang-orang sudah tak melakukannya.”

Alasannya, sungai sudah kotor. Tidak membawa kesehatan, malah penyakit. “Saya punya anak. Saya tidak mandikan anak saya lagi di Sungai Batanghari, di rumah saja. Tapi tetap dengan ritualnya,” katanya.

Bagi Novpriadi, bertahan dan mengingat ritual itu penting untuk menjaga ingatan pada manusia dan alam. Kalau sungai sudah rusak, ritual itu menjelaskan pada masa lalu, setidaknya 20 tahun lalu, sungai masih bersih.

Di ujung aliran Kampung Teluk Majelis, muara Sungai Batanghari, ritual mandi pengantin pun sudah bergerak meninggalkan sungai. Kalau dulu, air untuk penyiraman dari Batanghari, kini pakai air sumur bor.

Batanghari sudah rusak dan tak layak konsumsi bahkan jadi ritual.

 

Penyimpanan batubara di tepian Sungai Batanghari. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Tergerus abrasi

Indo Umang, baru saja menyiapkan perlengkapan sekolah anaknya di Teluk Majelis, pagi itu. Rumahnya menghadap Sungai Batanghari sekaligus berhadapan langsung dengan laut.

Kalau air pasang, kolong rumah yang tinggi akan penuh air, lalu surut beberapa jam kemudian. Rumah Umang, adalah deretan rumah terakhir yang berhadapan sungai. Sebelumnya, ada dua lorong kecil mirip gang di depannya, tetapi beberapa tahun lalu sudah lenyap, karena tebing sungai roboh.

“Saya juga sudah bersiap. Sudah beli tanah di sana (dia menunjuk bagian daratan kampung). Kalau cukup uang akan pindah ke sana, karena di sini sudah tidak bisa lagi,” katanya.

Pesisir Kampung Teluk Majelis, 10 tahun terakhir kehilangan sekitar 150 meter daratan. Orang-orang mengeluhkan dampak ekstraktif pengerukan dan perubahaan hutan yang massif tahun 2000.

Kapal-kapal dengan tonase besar melintasi sungai dan menciptakan gelombang raksasa di pesisir dan tebing sungai. Perkebunan skala besar juga mengubah area tangkapan air dan membuat semua saling bertautan.

Di Rambutan Masam, syair mengenai madu, sebelum para petani memanen madu, kini tak lagi berfungsi. Meski mereka masih menghapalnya, tetapi pohon besar dan bunga sebagai makanan utama lebah sudah raib sejak lama.

Harimau, gajah sudah lebih awal bersumbunyi di pedalaman, karena pembukaan lahan makin massif.

Duku, yang jadi kebanggaan  warga, sudah empat tahun terakhir, terserang hama, mula-mula daun menguning, lalu seluruh tangkai dan ranting mengering, mati. Para petani, tak berdaya, bagaimana menyelamatkannya, hanya melihat pohon mati perlahan.

“Sekarang kita mulai mengenang semua itu. Semua sudah berubah,” kata Bambang.

Dia ingat betul, sejak 1981, ketika pertama kali menjejakkan kaki di Sumatera, dan membaca literatur maupun melihat bukti nyata tinggalan arkeologis. Dia menyebutnya sebagai kebudayaan yang besar. Sriwijaya maupun Dharmasraya, menciptakan kapal untuk perdagangan lintas pulau bahkan negara.

Wihara di kompleks situs Muara Jambi seluas 3.981 hektar dengan ratusan situs membuktikan peradaban yang besar. Orang-orang datang berguru dan belajar. “Orang-orang itu datang melalui lalulintas sungai. Mereka menjadikan sungai sebagai halaman depan yang perlu dijaga,” kata Bambang.

 

 

********

Exit mobile version