Mongabay.co.id

Kala Banjir dan Cuaca Ekstrem Landa Maluku Utara

 

 

 

 

 

Sejak beberapa pekan lalu bencana melanda Maluku Utara. Dari banjir merendam sejumlah desa di Kabupaten Kepulauan Sula, sampai kapal tenggelam di perairan Halmahera Selatan.

Di Kepulauan Sula bahkan jalan dan jembatan penghubung antardesa terputus. Banjir tak hanya di Kota Sanana juga di Pulau Mangole. Intensitas hujan tinggi di daerah ini dalam sepekan menyebabkan air meluap mencapai satu meter.

Informasi yang dihimpun Mongabay menyebutkan, banjir kepung Kota Sanana sejak 13 Juli lalu. Sebelumnya, pada 10 Juli banjir besar juga menerjang Desa Capalulu, Pulau Mangole, Kepulauan Sula.

Rumah-rumah pun terendam setinggi 60-70 sentimeter. Banjir bandang ini karena luapan air sungai dan air turun dari gunung.

Sanip Umasangadji, Kepala Desa Capalulu, melaporkan ada fasiiltas umum berupa jembatan penghubung antar desa putus dihantam banjir dan melumpuhkan aktivitas warga. Mereka pun sulit ke Desa Mangoli, Kecamatan Mangoli Tengah, untuk kegiatan seharo-hari.

“Kita kesulitan karena jembatan putus. Warga di Desa Capalulu misal mau transfer uang belanja, atau anak sekolah di desa tetangga kesulitan,” katanya.

Kalau mau melintas terpaksa dengan menyeberangi kali dengan berisiko karena sungai berarus. “Kita akan buat jalan darurat, daripada harus turun menyeberang kali. Yang penting ada jalan darurat supaya bisa diakses,” katanya.

Di Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Sula, di Kota Sanana, rumah warga tergenang dan sejumlah fasilitas rusak.

Hujan deras 13 Juli sore hingga malam, menyebabkan Kota Sanana terkepung banjir dengan ketinggian air hingga 70 sentimeter.

 

Rumah warga terendam di Kepulaian Sula. Foto: dari BNPB

 

Desa -desa ini menerima dampak luapan air dari sungai diduga karena pembangunan drainase kota yang tak tertata baik. “Air meluap sangat deras, hingga tanah longsor bahkan fondasi rumah patah terbawa air. Di beberapa ruas jalan antar desa di Pulau Sulabesi sempat terhalang karena longsor,” kata Gunawan Tidore, warga Desa Waihama, Kecamatan Sanana. Rumah Gunawan terendam.

Banjir di lokasinya merupakan bencana berulang. Dia duga bencana terjadi karena salah urus drainase kota.

“Di Kota Sanana ini drainase kota buruk membuat hujan beberapa jam air meluap dan menenggelamkan pemukiman. Kasus seperti ini setiap saat terjadi jika hujan dengan intensitas tinggi dan waktu agak lama.”

Fifian Adeningsih Mus, Bupati Kepulauan Sula, menetapkan status tanggap darurat sampai 21 Juli lalu.

Buhari Buamona, Kepala BPBD Kepualauan Sula dalam keterangan kepada media mengatakan, banjir di Kepulauan Sula ini diduga kuat karena terjadi sedimentasi puluhan sungai di Sanana terutama yang mengalir masuk ke kampung-kampung di dalam kota.

Pemerintah Kepulauan Sula menurunkan alat berat untuk pengerukan sejumlah sungai yang mengalami pendangkalan.

 

Sungai Wai, di Kepulauan Sula, alami pendangkalan. Kala hujan deras air langsung meluap. Foto: Junaidi Drakei

 

Kerusakan lingkungan

Irawan Duwila dari Ikatan Ahli Perencana (IAP) Kepulauan Sula yang banyak kampanye soal lingkungan mengatakan, banjir di daerah ini tidak terlepas dari persoalan lingkungan terutama dalam hal pemanfaatan hutan dan lahan.

Kalau melihat ketebalan sedimentasi di sejumlah sungai di Sanana tidak terlepas dari adan run off karena tutupan lahan di puncak sudah banyak berkurang. Tutupan tergerus di hulu, katanya, ketika hujan menyebabkan run off dan masuk ke sungai hingga menimbulkan sedimentasi.

“Sungai ada air, kalau kemarau kering. Cerita orang tua di kampung kami, dulu sungai di kampung kami cukup dalam. Bahkan perahu besar bisa masuk sampai ke kampung. Sekarang, terjadi pendangkalan bahkan rata karena sedimentasi tebal. Ini fakta yang tidak bisa dipungkiri,” katanya.

Pengurangan tutupan hutan dan lahan,  katanya, karena eksploitasi skala besar, pertambahan penduduk maupun pemanfaatan berbagai kepentingan.

Di Pulau Mangole, misal, hutan tergerus oleh perusahaan semisal PT Barito Pasifik Timber Group. Hingga kini masih tereksploitasi.

“Belum ada sosialisasi atau pemberitahuan ke masyarakat menyangkut pemanfaatan ruang dan peruntukannya.”

Dia juga menilai, pemerintah daerah lemah dalam mitigasi bencana termasuk banjir. Padahal banjir sudah berulang setiap tahun   di Kepulauan Sula. Di Sulabesi dan Waitina Mangoli,  setiap ada hujan selalu banjir.

Baginya, belum ada perencanaan terintregrasi. Bicara rencana tata ruang wilayah (RTRW), katanya, sudah empat atau lima tahun belum selesai revisi.

Ketika pengelolaan ruang tak terkendali karena tak ada aturan, kata Irawan, terjadi pembukaan lahan di wilayah resapan. Dalam kondisi seperti ini , pemerintah perlu hadir lewat aturan.

“Sayangnya, sampai saat RTRW sebagai dokumen rujukan pengelolaan ruang, revisi belum juga selesai. Begitu juga dokumen rencana detail tata ruang prosesnya sampai di mana publik tidak tahu.”

Sahjuan Fathgehipon,  Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kepulauan Sula enggan memberi tanggapan.

Riset Rifandi Duwila, Raymond Ch. Tarore dan Esli D. Takumansang dari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Sam Ratulangi Manado 2019 menunjukkan, hasil analisis riset terkait erosi cukup tinggi mencapai 35.395,79 hektar atau 61,59%, erosi sedang 20.987,97 hektar (36,52 %) dan erosi tinggi 1.083,33 hektar (1,88%).

Begitu juga dalam analisis SKL Drainase untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan mengalirkan air hujan secara alami dengan melihat aliran air dan mudah tidaknya air mengalir. “Dari analisas itu menunjukan drainase cukup 50618,86 hektar atau 94,68 %, drainase kurang 2.603,607 hektar atau 4,87% dan drainase tinggi 239,03 atau 0,44%.

 

Banjiir di Kota Sanana, Kepulauan Sula, karena sungai meluap. Foto: Junaidi Drakei

 

Cuaca ekstrem

Tak hanya banjir bandang, cuaca ekstrem melanda Maluku Utara. Cuaca ekstrem antara lain menyebabkan Kapal Motor (KM) Cahaya Arafah tenggelam di perairan Desa Tokaka, Gane Barat, Halmahera Selatan, pertengahan Juli lalu. Kapal berbahan utama kayu rute Ternate-Halmahera Selatan ini alami nasib tragis kala berlayar di tengah cuaca ekstrem.

Dari laporan akhir Tim SAR Gabungan setelah tujuh hari operasi pencarian, menyebutkan 66 korban selamat, 10 orang meninggal dunia dan satu orang dinyatakan hilang, dari total 77 penumpang di kapal penyebrangan pengangkut barang dan penumpang ini.

Fathur Rahman, Kepala Basarnas Ternate, mengatakan, meski telah menutup operasi, mereka meminta kepada kapal maupun nelayan di Maluku Utara melaporkan kepada Tim SAR Gabungan apabila melihat maupun menemukan keberadaan korban.

Beberapa peristiwa lain juga terjadi di hari sama di tengah hujan deras, angin kencang serta gelombang tinggi. Mesin speeadboat Kie Besi mati mesin di tengah cuaca buruk di perairan Payahe, Tidore Kepulauan. KM Ferry Lompa nyaris tenggelam dihantam gelombang tinggi di perairan rute Makian-Kayoa, Halmahera Selatan. Di perairan Pulau Morotai, dua nelayan dinyatakan hilang.

Dari data pengamatan BMKG Stasiun Meteorologi Kelas I Sultan Babullah Ternate meliris cuaca saat kejadian. Dari deteksi, ada potensi cuaca ekstrem di pesisir barat Maluku Utara yang berdampak pada peningkatan curah hujan, kecepatan angin, tinggi gelombang dan gelombang pasang.

Dalam perkiraan, tinggi gelombang 2,5 (moderate sea) dan kecepatan angin sampai dengan 25 knot yang terjadi di wilayah Maluku Utara dan sekitarnya.

Dari citra satelit BMKG menunjukkan, anomali cuaca di wilayah dan titik lokasi kejadian.

Menurut Setiawan Sri Raharjo, Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Stasiun Meteorologi Kelas I Sultan Babullah Ternate, informasi ini sudah disampaikan dalam group koordinasi dan telah mengeluarkan peringatan dini.

“Cuaca ekstrem menimbulkan beberapa kecelakaan kapal,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Mongabay, Senin (25/7/22).

 

Foto yang tumbang karena longsor di Desa Sekor, Kepulauan Sula. Foto: Irawan

 

Waspada

Prakiraan BMKG, curah ekstrem tak hanya terjadi di bagian barat Maluku Utara. Pasca kejadian 18 Juli 2022, daerah seperti di Halmahera Tengah, Halmahera barat, Pulau Taliabu dan Halmahera Selatan, juga potensi cuaca ekstrem hingga perlu waspadai.

Setiawan mengatakan, kondisi cuaca di Maluku Utara dalam beberapa tahun terakhir mengalami ketidakstabilan. Kondisi suhu setiap tahun meningkat.

Acuan cuaca dari pandangan lampau orangtua terdahulu, tidak bisa lagi jadi pedoman masyarakat ketika beraktivitas.

Dia meminta masyarakat menjadikan deteksi dini cuaca dengan bantuan alat dan teknologi terbarukan BMKG sebagai rujukan awal dalam beraktivitas demi keselamatan.

“Dalam survei kami, masih dibutuhkan kerja keras BMKG dan instansi terkait lain untuk menjadikan masyarakat lebih sadar terhadap cuaca, harapan kedepan masyarakat lebih sensitif,” ujar Setiawan.

BMKG terus berupaya meningkatkan performa agar publik tidak abai info cuaca.

Cuaca ekstrem di Maluku Utara ini, katanya, bisa berujung maut kalau tak diantisipasi.

“Kita berharap, jangan penyesalan mendalam atau muncul kesadaran kala sudah terjadi bencana.”

Dalam kurun 1980-awal 2020, menurut data BMKG ada kecenderungan suhu muka laut naik. Kalau suhu muka laut naik akan mengubah pola sirkulas angin dan secara otomatis menimbulkan perubahan musim.

Sebagai contoh, di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, dahulu punya sumber air dan surplus pangan atau jadi pusat lumbung pangan, kini berubah karena curah hujan makin menurun dan terjadi gagal panen.

Pada 2020, sesuai data perubahan suhu di Ternate, Galela, Labuha dan Sanana, baik awal musim maupun akhir musim jadi alasan kuat menyimpulkan terjadi kenaikan suhu. “Ini bisa jadi alasan mengapa warga di daerah ini mengharapkan pasokan beras dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.”

Hal lain bisa terlihat dari perubahan angin. Kala angin kuat, suplai bahan pangan akan terganggu. Perubahan ini juga ikut mengubah kondisi pasar dan harga barang tidak terkontrol hingga menyebabkan inflasi serta akan mengganggu stabilitas ekonomi daerah.

Dalam beberapa tahun ini, katanya, kondisi cuaca tahunan terjadi ganguan secara global. Kalau dianalisis dari data normal, terjadi variabilitas iklim dan cuaca.

 

 

*********

Exit mobile version