Mongabay.co.id

Wawancara Dwi Adhiasto: Mengenali Motif Perburuan Harimau Sumatera

 

 

Konflik manusia dengan harimau sumatera terus terjadi. Perburuan dan pemasangan jerat merupakan ancaman nyata kehidupan satwa liar terancam punah ini.

Pemerhati perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar, Dwi Nugroho Adhiasto, menuturkan ada beberapa motif yang dilakukan pemburu dalam menjalankan misinya. “Pastinya, para pemburu tidak bekerja sendiri,” ujarnya, pertengahan Juli 2022.

Lelaki lulusan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada ini, telah 23 tahun bergelut di dunia perburuan dan perdagangan satwa liar. Dia memperdalam ilmunya dengan mengambil Master of Art pada jurusan Criminal Justice di John Jay College of Criminal Justice, City University of New York, USA.

Berikut petikan wawancara Mongabay Indonesia dengan Dwi Adhiasto.

Baca: Global Tiger Day: Jalan Panjang Menyelamatkan Harimau Sumatera

 

Barang bukti kulit harimau ini disita dari mantan Bupati Bener Meriah yang ditunjukkan di Polda Aceh pada 3 Juni 2022. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Bagaimana Anda melihat motif perburuan harimau sumatera?

Dwi: Berbicara perburuan harimau, motifnya bermacam. Ada yang hobi atau opurtunis,  biasanya punya pendapatan lain, berburu hanya sambilan. Ada juga profesional poacher, mencari keuntungan dengan menjual sejumlah bagian tubuh harimau.

Profesional poacher terhubung dengan rantai-rantai pemasaran, punya jaringan penampung, pemburu lain, hingga pasar. Ada juga yang membantu profesional poacher mendapatkan pasar, yaitu perdagangan online.

Motif tidak sengaja juga bisa terjadi, misalnya di daerah konflik. Harimau yang keluar hutan, ke perkebunan masyarakat sekitar hutan, kemudian memangsa ternak, membuat masyarakat marah dan balas dendam. Pemasangan jerat atau pemberian racun pun dilakukan, tapi salah sasaran.

 

Mongabay: Bagaimana kita membedakan apakah jerat itu sengaja dipasang atau tidak?

Dwi: Kita harus identifikasi motif pemasangannya. Dalam criminal justice, seseorang memiliki motif, lalu membuat cara atau modus.

Ada teknik menggali informasi dari pelaku. Pertama, interogasi, yaitu menggali informasi dari aparat ke tersangka. Kedua, pengeledahan, aparat bisa mengeledah rumah pelaku untuk mencari bukti seperti dokumen atau lainnya. Ketiga, melalui digital forensic, pelaku pasti berkomunikasi melalui perangkat lunak. Keempat,  wawancara tertutup kepada pemburu lain atau pembeli.

 

Mongabay: Apakah para pemburu memiliki jerat yang khas?

Dwi: Ada karakter dan desain berbeda pada setiap lokasi. Seperti alat untuk berburu gajah di Aceh, seperti tombak dipasang di bagian atas hutan, hanya ada di hutan Aceh. Petunjuk, karakter dan desain sangat membantu aparat dalam mengidentifikasi asal pelaku.

Tapi, untuk jenis jerat aring sudah umum dan banyak digunakan masyarakat untuk menangkap babi.

 

Mongabay: Pada kejadian harimau mati di Aceh lalu, jumlahnya tiga individu. Bagimana bisa terjadi?

Dwi: Itu karena alat yang digunakan, yaitu jerat aring. Jerat ini untuk menangkap satwa berkelompok, seperti babi. Jerat ini pun berbahaya untuk satwa yang mengasuh anak atau dalam proses mencari pasangan, karena dibentang hingga ratusan meter.

Baca: Konflik Manusia dengan Harimau Sumatera Belum Berakhir

 

Para tersangka penjual kulit harimau sumatera dan bagian tubuh lainnya ditunjukkan ke publik saat konferensi pers di Polda Aceh, 3 Juni 2022. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Saat harimau sumatera ditemukan mati, apa yang harus dilakukan?

Dwi: Aparat harus paham mengamankan tempat kejadian perkara [TKP] dan membuat perimeter: mengumpulkan bukti [barang yang ditinggal pelaku, sidik jari, dan jejak], menganalisis jenis jerat yang digunakan, mencari informasi pemilik kebun, melakukan nekropsi. Menurut saya, kegiatan ini masih kurang dilakukan, karena fokusnya pada mencari pelaku.

Konsep kejahatan adalah keuntungan lebih tinggi dari risikonya. Metode ini terus digunakan,  bahkan pada orang yang baru keluar penjara, karena risiko dipenjara masih rendah dibandingkan keuntungan yang didapat.

Perburuan dan perdagangan mengikuti konsep ekonomi, ada pasar ada permintaan.

 

Mongabay: Bisa diceritakan bagaimana sistem pemasaran satwa liar?

Dwi: Tergantung jenisnya. Ada pasar lokal, nasional, hingga internasional. Ini mempengaruhi serapan pasar dan pemburu.

Untuk perdagangan harimau sumatera, bagian tubuhnya seperti kulit, taring, hingga tulang dapat disimpan dalam waktu lama. Diburu sekarang, bertahun kemudian dijual, masih awet.

Pada pandemi melanda Indonesia, perburuan tetap terjadi hanya saja penampung melakukan inovasi: kulit harimau direndam spirtus, atau dikeringkan seperti kerupuk.

Terkait pengiriman, dicari rute baru. Sekarang, menggunakan pelabuhan di Pontianak atau rute pendek seperti ke Selat Malaka melalui Kuching, Malaysia.  Pengiriman bisa dengan peti kemas, pengiriman beku, hingga dititipkan pada kapal-kapal yang memiliki alat pembekuan untuk menyimpan ikan atau cumi.

Di tingkat penampung besar internasional, penjualan satwa liar seperti rangkong, trengiling, dan harimau bisa berupa orang atau kelompok yang sama, satu etnis, satu bahasa, hingga satu keluarga. Seperti bentuk piramida, pemburu banyak, penampung hingga eksportir semakin sedikit, semakin mengerucut.

Itulah perlunya aparat melakukan analisis kejahatan satwa liar, untuk melihat dinamika yang terjadi.

Baca: Instruksi Penyelamatan Satwa Liar dari Jerat dan Perburuan Telah Dikeluarkan, Implementasi Lapangan?

 

Jerat aring yang banyak menyebabkan harimau mati. Foto: Dwi Adhiasto

 

Mongabay: Apakah banyak penampung atau eksportir tertangkap tangan?

Dwi: Belum banyak.

Menurut saya, bila ada kejadian perburuan satwa liar, di Indonesia hanya melihat barang bukti fisik, pelaku ditangkap bersama barang bukti, lalu dihukum. Sementara, penampung atau eksportir tidak berurusan dengan barang, mereka punya kaki tangan dan sulit ditangkap.

Namun tetap bisa ditangkap, bagaimana caranya? Follow the money dan aparat harus memiliki kemampuan menelusuri aliran dana dan money laundry.

 

Mongabay: Harus bekerja sama dengan siapakah?

Dwi: Kerja sama internasional. Kerja sama yang telah dilakukan adalah Indonesia dengan Malaysia, Indonesia dan Thailand, Indonesia dan Filipina, Indonesia dan Belanda, hingga Indonesia dan Amerika Serikat.

Kerja sama dengan bank juga dibutuhkan untuk mengetahui aliran uang ilegal. Penting pula, kerja sama antara Kementerian Informasi dan Informatika.

 

Mongabay: Selain perburuan dengan jerat, menurut Anda tindakan kejahatan satwa liar apa lagi yang harus menjadi perhatian?

Dwi: Saat ini, banyak orang atau artis yang memelihara satwa liar dengan dalih dititipkan lembaga konservasi atau mengantongi surat izin. Di beberapa lokasi banyak yang memelihara harimau, meskipun bukan jenis harimau sumatera dan terkadang dipublikasikan bila jenis harimau yang dipelihara adalah harimau bengal. Meski bukan jenis harimau yang dilindungi di negara kita, tapi harimau bengal dilindungi di negaranya.

Bila harimau yang dipelihara mati, apakah langsung dikubur? Menurut saya pasti akan dikuliti, tulang dan taring dikumpulkan. Bila dibutuhkan bisa diperjual belikan, akhirnya masuk ke rantai perdagangan.

Yang lebih menyulitkan lagi, bila bagian tubuh tersebut masuk ke pemasaran, aparat akan kebinggungan mengidentifikasi. Memang, regulasi untuk harimau sumatera dibuat, namun kenyataannya ada peluang untuk perburuan harimau subspesies lain.

Baca juga: Catatan Akhir Tahun: Jerat yang Lagi-lagi Membuat Harimau Sumatera Sekarat

 

Beginilah kondisi harimau sumatera yang mati akibat jerat di Aceh Timur, Minggu [24/04/2022]. Foto: Dok. Polres Aceh Timur

 

Mongabay: Apa yang bisa kita lakukan agar harimau sumatera tidak diburu?

Dwi: Ada tiga pilar mencegah kegiatan, yaitu deteksi, pencegahan, dan efek jera. Untuk melakukannya, banyak inovasi yang bisa dilakukan.

Patroli di dalam atau luar kawasan bersama masyarakat memang penting, tapi itu hanya bagian pencegahan yang tidak menyelesaikan masalah. Perlu ada kegiatan yang membuat efek jera, bagi yang berencana berbuat kejahatan.

Papan “Anda Berada Dalam Kawasan Lindung” perlu dibuat untuk mengingatkan orang. Penjagaan gardu dan pemasangan Closed Circuit Television [CCTV] perlu dilakukan dan diberikan informasi “Anda Berada Dalam Pengawasan CCTV”.

Mitra yang bekerja di taman nasional bisa melakukan inovasi seperti menggunakan bio acoustic yang tidak saja untuk penelitian biodiversitas, tapi juga bisa mengetahui lokasi keberadaan penebang liar yang menggunakan mesin senso. Atau penggunaan teknologi, seperti Artificial Intelligence [AI].

Pendampingan masyarakat bersama pihak kawasan melalui perhutanan sosial atau dengan Masyarakat Mitra Polisi Kehutanan [MMP] juga bisa dilakukan dengan melatih masyarakat untuk patroli, memberikan informasi kepada aparat, hingga penindakan. Jangan lupa, banyak pemburu di luar kawasan, pemetaan tetap diperlukan.

Aparat dilatih dalam protokol penjajakan, pengawasan, pencegatan jalan raya, pengambilan sampel dan teknik investigasi, penggalian informasi seperti wawancara, pengeledahan, digital forensic, kamera tersembunyi, alat deteksi kebohongan, hingga online research.

Pemerintah pusat dapat mengeluarkan regulasi dan sanksi penggunaan jerat aring yang diletakkan di sekitar kawasan yang teridentifikasi adanya habitat harimau. Regulasi ini tidak saja dikeluarkan, tapi harus disosialisasikan.

Semua kegiatan harus dilakukan bersama, tidak sendiri-sendiri!

 

Exit mobile version