Mongabay.co.id

Konflik Lahan di Sumbar: Terdampak Ganda, Suara Perempuan Masih Terabaikan

 

 

 

 

Persoalan lahan dan sumber daya alam di Sumatera Barat terus terjadi. Data LBH Padang, sampai akhir 2021, ada sekitar 5.966 hektar lahan konflik terjadi di beberapa kabupaten seperti Pasaman barat, Agam, dan Solok Selatan. Sekitar 4.563 jiwa atau 1.521 keluarga terdampak. Dalam pusaran konflik ini, perempuan paling merasakan dampak ganda. Namun, perempuan masih tak dianggap untuk bersuara atas tanah atau dalam mengambil keputusan strategis.

Satu contoh rencana usaha minyak atsiri yang akan masuk ke Mentawai, para perempuan menolak karena mengancam hutan adat mereka.

“Awalnya, saya dipanggil, saat berkumpul itu saya tidak setuju dengan izin lahan minyak atsiri yang akan mengambil hutan adat mereka. Saya tiba-tiba akan diserang saudara saya tapi tidak jadi karena dilerai,” cerita Rita Warti, guru dari Silabu Kepulauan Mentawai.

Koperasi minyak atsiri mau menanam sereh wangi.

Rencana penanaman di tanah adat ini tak diketahui masyarakat, terlebih para perempuan. Tak ada sosialisasi. Tiba-tiba alat berat masuk dan masyarakat terbelah antara yang menerima dan menolak.

Suara perempuan seakan tak dianggap. Rita mengalami itu. “Walaupun kamu itu pegawai, saya ini abangmu laki-laki. Walau petani tapi dalam hal warisan pusaka kamu tidak ada apa-apanya, kamu tidak boleh bersuara,” kata Rita mengenang ucapan abangnya.

“Itu sebabnya waktu kita rembukan saya mau digampar karena dianggap tak pantas.”

Suami juga sempat melarang berjuang karena bekerja di perusahaan. Rita berkeras. Dia bahkan mengancam kalau bekerja di perusahaan yang merusak hutan, dia minta cerai. “Lebih baik kamu bertani saja,” kata Rita mengenang masa itu.

Sang suami memilih bertani.

Dia menilai, secara pemikiran, ada perbedaan antara lelaki dan perempuan. “Kaum laki-laki, meskipun tidak semua ya, gampang sekali memberikan dan melepas pusaka. Kalau perempuan masih mikir, karena perempuan itu panjang perasaan dan hatinya,” katanya.

 

Para perempuan di kawasan hutan Nagari Sumpur Kudus,Sijunjung. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia.

 

Rita sering mengajarkan pada siswanya agar perempuan maju dan meraih cita-cita setinggi mungkin. Jangan ikut pandangan patriarki yang memandang perempuan hanya 3-D (di dapur, di sumur dan di kasur).

Dia mengatakan, mungkin lebih baik budaya matrilineal yang ada di kultur Minangkabau. Namun Vivi Desrianti mengatakan posisi perempuan sama dinomorduakan di kultur Minangkabau.

Vivi Desrianti, adalah perempuan yang berjuang di Sawahlunto melawan perusakan lingkungan dampak operasi tambang batubara. Dia bilang, budaya Minangkabau memang menurunkan harta pusaka ke perempuan. Namun pengambil keputusan tetap ninik mamak yang notabene semua laki-laki.

“Memang harta milik perempuan tapi perempuan tidak punya kewenangan bersuara, alasan ninik mamak ini untuk dijaga, kita jaga ya, tapi ternyata diperjualbelikan.”

Dia mulai melawan demi menjaga lingkungan hidup dekat tempat tinggalnya yang rusak karena PLTU dan tambang batubara. Dia bersama warga lain yang menolak kerusakan lingkungan harus berhadapan dengan penguasa dan pengusaha.

Berhadapan dengan penguasa dan pengusaha bukan hal mudah. Keluarga yang awalnya mendukung mulai meminta Vivi tak lanjutkan perjuangan. Mereka memandang Vivi hanya seorang perempuan yang melawan orang kuat hingga menyarankan lebih baik diam. Vivi memikirkan begitu banyak dampak buruk bisa terjadi, bersama para perempuan lain dia pun terus bersuara.

Abdi Salam Fajri biasa disapa Abe dari sekolah gender  KKI Warsi mencatat, perempuan di Indonesia dirugikan alami kemiskinan dan terpinggirkan dari pembangunan. Dia contohkan, perempuan Batin III Ulu Jambi yang terlibat dalam pengelolaan pertanian sekitar 70%.

“Tetapi sebagai penerima manfaat lebih banyak laki-laki,” katanya.

 

Perempuan Mentawai.  Orang Mentawai hidup bergantung dari alam, dari hutan. Kala hutan hilang maka ruang hidup mereka akan hilang, perempuan bakal paling terdampak. Foto: Samantha Lee/ Mongabay Indonesia

 

Ketika terjadi kerusakan lingkungan, katanya, perempuan juga mengalami dampak paling nyata. “Seperti para ibu yang keguguran akibat polusi air. Begitu juga kemiskinan ketika hutan dibabat habis, perempuan terjebak kemiskinan. Mereka dirugikan baik di ranah domestik ataupun publik,” katanya.

Senada dikatakan Indira Suryani, Direktur LBH Padang. Dia bilang, dalam pusaran konflik lingkungan hidup perempuan alami beban ganda dan berada pada posisi rentan. Banyak hal harus mereka pikirkan dan tanggung.

Seperti cerita perempuan dari Mentawai, yang khawatir hutan sebagai ruang hidup mereka hilang karena usaha minyak atsiri pada hutan adat mereka. Dari hutan itu sumber segala, dari sumber pangan, air, obat-obatan sampai budaya.

“Mentawai memang 88% ditunjuk sebagai kawasan hutan tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat sekitar. Jadi, banyak izin di hutan yang diberikan korporasi ingin menebang kayu. Itu dikuasai korporasi yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Kan orang Mentawai hidupnya itu dari alam.”

Begitu juga di Sawahlunto banyak masalah dari lubang tambang batubara, sungai tercemar, setelah ada PLTU udara juga. Dalam kondisi ini, katanya, perempuan paling merasakan dampak. Perempuan bersuara dan protes kerusakan yang terjadi. “Mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk kebebasan fundamental.”

Konflik lahan maupun sumber daya terus muncul bahkan meningkat. “Karena memang konflik nggak pernah diselesaikan tapi kebun sawit dan tambang selalu datang. Yang lama masih ada, yang baru datang.”

Indira mencontohkan, di Kabupaten Pasaman Barat saja, ada 25 titik konflik agraria karena sawit dari 80-an.

“Itu tidak ada satu pun yang diselesaikan. Konflik, manifes dan konflik lagi. Kenapa tidak diselesaikan?Karena negara tidak ada mekanisme penyelesaian konflik.”

Indira mengatakan, semua terlibat mulai dari pemerintah bahkan ninik mamak terlibat dalam kekisruhan.

 

Hutan Mentawai yang masih bagus dengan air sungai mengalir jernih. Hutan penyedia segala, dari sumber pangan, sumber air, obat-obatan sampai tradisi dan budaya. Perempuan akan paling terdampak kalau hutan hilang. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version