Mongabay.co.id

Belum Lama Lepas Liar di Kerinci Seblat, Harimau Citra Ditemukan Mati

 

 

 

 

 

Kabar duka dari Sumatera. Satu lagi harimau Sumatera mati mengenaskan dengan luka tusukan di dekat Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Setelah pemeriksaan, ternyata harimau itu adalah Citra Kartini, yang baru lepas liar di TNKS sekitar 40 hari sebelumnya. Citra ditemukan mati di pinggiran hutan di Desa Baru Lempur, Kecamatan Gunung Raya, Kerinci, Jambi, sore, 19 Juli lalu.

Desa itu sekitar 800 meter dari taman nasional. Saat ditemukan petugas, kondisi harimau betina berusia 3,7 tahun ini begitu menyedihkan dengan luka tusuk dalam di perut dan paha kanan.

Citra, lahir di Suaka Satwa Barumun di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Sekitar 40 hari sebelum ditemukan mati, Citra bersama saudara sedarahnya, Surya Manggala lepas liar di TNKS. Keduanya merupakan anak Monang, harimau korban jeratan di Desa Parmonangan, Tapanuli Selatan dan induk, si Gadis juga korban jeratan pemburu. Satu kaki Gadis harus diamputasi.

Elvia Wiryadi, Kepala Seksi Perencanaan, Perlindungan dan Pengawetan BBTNKS mengatakan, dua hari sebelum Citra ditemukan tewas, mereka terus pemantauan melalui GPS collar yang dipasang. Dua hari sebelum Citra ditemukan, alat ini tak menunjukkan pergerakan sama sekali.

 

Baca juga: Cerita Harimau: Mati di Agam, Lepas Liar di Kerinci Seblat

 

Merasa curiga, lalu mereka bentuk tim mengecek ke lokasi terakhir dan ditemukan satwa sudah terkujur kaku.

Kondisi bangkai gemuk. Dia yakin, Citra tak mengalami malnutrisi selama lepas di alam 40 hari.

“Sudah kita nekropsi, bangkai dikubur di dekat kantor taman nasional. Diambil sampel untuk uji laboratorium guna mengetahui penyebab pasti kematian, ” katanya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dua dokter hewan diketahui Citra didiagnosa sepsis, yaitu kondisi semua organ mengalami perdarahan ditandai dengan pucat pada selaput organ. Kesimpulan dari perubahan-perubahan pada organ menunjukkan ada peradangan pada hati, ginjal, paru, pembesaran jantung (penebalan otot jantung) dan kekurangan cairan tubuh serta anemia akut.

Irzal Azhar, pelaksana teknis Kepala Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut) ketika ditanya penyebab kematian Citra belum dapat memberikan penjelasan. Mereka masih menunggu hasil laboratorium.

Haray Sam Munthe, Direktur Yayasan Alam Liar Sumatera (YALS) mengatakan, luka di bagian perut dan paha kanan, bisa saja karena berkelahi dengan satwa pemangsa atau satwa buruan.

Contoh, kijang jantan bisa menanduk, bisa juga harimau tidak mengenali satwa mangsa hingga bisa menyerang dan harimau bisa terluka.

Pratono Puroso, Pelaksana teknis Kepala Balai Besar TNKS, mengatakan, sebelum ditemukan mati, telah dilakukan pemantauan pergerakan satwa melalui data GPS collar.

Sejak 23 Juni 2022 dilakukan pemantauan atau patroli di lapangan sekaligus pencegahan dan penanggulangan konflik di Desa Renah Kayu Embun dan sekitar.

 

Helikopter yang membawa Citra dan Surya, saat akan rilis di TN Kerinci Seblat. Foto: BKSDA Jambi

 

Kegiatan ini dilakukan sebagai tindak lanjut laporan masyarakat soal penampakan harimau di lokasi. Pada 28 Juni 2022, diputuskan untuk pemasangan kandang guna menangkap dan mengevakuasi Citra. Juga pemasangan kamera pengintai pada 30 Juni 2022.

Tujuannya, memantau situasi dan pergerakan harimau dan satwa lain di lokasi. Pada 17-18 Juli, pantauan GPS collar Citra tidak menunjukkan pergerakan. Tim cek lapangan, pada 19 Juli, Citra ditemukan sudah mati.

Dari laporan warga, Citra muncul di sekitar pedesaan. Ia keluar TNKS.

Haray bilang, ada dua hal penting harus diperhatikan, pertama, tentang temuan bangkai Citra sekitar 800 meter dari luar Kerinci Seblat. Kedua, ada laporan dari masyarakat tentang penampakan Citra di sekitar pedesaan.

Kondisi ini, katanya, menunjukkan Citra belum siap rilis ke alam. Dia terbiasa hidup di tempat terbuka yang terang. Ketika dilepaskan, kawasan hutan dengan tutupan gelap bikin Citra mencari wilayah terang karena sudah terbiasa.

Dia nilai, kesiapan otorita kurang dalam memperhitungkan aspek sebelum memutuskan lepas harimau ke habitat aslinya. Meski dipasang GPS collar, tetapi ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab.

“Bagaimana pemantauan, bagaimana kesiapan tim untuk monitoring, bagaimana edukasi terhadap masyarakat setempat terkait harimau Citra?”

Kini tersisa Surya Manggala yang belum diketahui nasibnya. “Semoga petugas bisa memantau serius perkembangan Manggala agar tidak mengalami nasib yang sama seperti saudarinya.”

 

Senja bersama Gadis, bersama dua anaknya, Citra dan Surya di BNWS. Kini, Citra telah tiada. Ia ditemukan tewas setelah 40 hari rilis di TN Kerinci Seblat. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Ruang belajar

Kalau harimau liar tahu kondisi habitat. Semasa kecil, induk akan mengajarkan mereka memahami kondisi lingkungan, termasuk mengenai harimau lain. Berbeda dengan Citra yang lahir di eksitu.

Dia menyarankan, di pusat rehabilitasi itu ada tempat harimau belajar atau sekolah. Harus ada kawasan berhutan minimal 10 hektar untuk mereka beradaptasi.

Ruang belajar ini, katanya, memiliki sungai mengalir dan kontur berbukit. Bagaimana harimau mengincar mangsa yang sudah diletakkan di ruang sekolah ini seperti babi hutan, kijang dan jenis-jenis primata.

Pelajaran-pelajaran inilah, katanya, yang harus diberikan bagi harimau sebelum rilis. Dia bilang, menghadirkan tempat semacam hutan sangat sulit, namun itu prasyarat penting agar harimau yang lahir di eksitu siap menjalani sisa hidup kala rilis ke alam liar.

Dia pun nilai, terlalu gegabah mengambil keputusan lepas liar kedua harimau ini tanpa menjalankan standar prosedur tadi.

“Persiapan tidak matang, Surya dan Citra sama sekali tidak mengenal alam liar. Mereka juga tidak mengenal satwa mangsa, tidak mengenal sama sekali perilaku-perilaku satwa mangsa.”

Untuk menilai kelayakan dan kajian, katanya, tak bisa hanya secara akademisi dan kondisi kesehatan saja. Berapa lama para akademisi itu melakukan kajian dan pemantauan langsung harimau liar di alam, masih dipertanyakan hingga harus melibatkan praktisi yang benar-benar terjun ke lapangan.

Dari pengamatannya di alam liar dari tiga anak harimau lahir didampingi induknya, satu belum tentu bisa bertahan. Begitu kerasnya hutan dan kehidupan satwa liar.

Ketika anak-anak harimau ini dilatih sang induk untuk bisa bertahan dan berburu mandiri, banyak tantangan dihadapi salah satu, saat menyeberang sungai. “Bisa saja hanyut dan lain-lain, apalagi ini ia berada di lokasi kandang yang tidak pernah hidup di habitat asli.”

Dia saran kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar tak terlalu hiporia ketika ada harimau lahir di eksitu untuk lepas liar tanpa persiapan matang.

 

Persiapan harimau Citra dan Surya, mau rilis ke habitat, sebelum berangkat ke bandara. Foto: BKSDA Jambi

 

Kajian matang

Hariyo T. Wibisono, Direktur Yayasan Sintas Indonesia mengatakan, ketika konflik terjadi manajemen risiko tak bisa mengatasi maka langkah terakhir otorita adalah translokasi ke tempat baru.

Menurut dia, seringkali ketika berhadapan dengan konflik banyak pihak bingung atau gagap karena pengetahuan tentang populasi harimau Sumatera di satu bentang alam masih sedikit. Karena itu, katanya, seringkali ketika memutuskan harimau akan pindah ke lokasi mana atau translokasi masih jadi masalah.

Dia salah satu orang yang mengusulkan agar harimau korban konflik di translokasi ke bentang alam lebih luas. Sayangnya, di Sumatera, hanya tinggal dua lagi bentang alam luas untuk translokasi harimau yang mengalami konflik, yaitu di Taman Nasional Gunung Leuser dan Kerinci Seblat.

Dengan asumsi, kawasan luas ini bisa menampung lebih banyak harimau. Namun, katanya, ketika harimau lepas liar malah menimbulkan konflik atau harimau keluar dari kawasan. Dia bilang, patut mempertanyakan ada sesuatu terjadi di kawasan itu hingga harimau terus keluar.

Contoh di Sumatera Barat, dia menyampaikan berulang kali kepada berbagai pihak bahwa sampai kapanpun kawasan di Sumatera Barat akan berurusan dengan konflik karena tidak ada suatu bentang alam mampu mendukung kembang biak harimau secara memadai.

Hal lain, katanya, soal pengetahuan mengenai pola sebaran harimau. Seringkali tak diketahui konsentrasi harimau di bentang alam yang luas itu. Karena ada habitat-habitat yang biasa disukai hingga seringkali pelepasliaran di kawasan luas tanpa mengikuti persyaratan kondisi pola distribusi dan ekologi harimau.

Pilihan-pilihan itu, katanya, harus diambil sementara masih miskin pengetahuan mengenai kondisi status populasi harimau di berbagai bentang alam itu.

“Apakah upaya-upaya ini bisa memperpanjang usia populasi harimau satu kawasan? Itu tergantung pada banyak hal yang untuk membangun pola adaptif, masih belum diketahui.”

Karena itu, dia selalu mendorong pemerintah terutama unit pelayanan terpadu mulai mencoba mengkaji mengenai populasi dan angka pasti harimau di sana. “Bagaimana kondisi mangsa satwa, bagaimana status ancaman dan lain-lain hingga informasi dengan kajian yang memadai.”

 

Monang, harimau korban jeratan, merupakan ayah Citra dan Surya. Citra ditemukan tewas mengenaskan 40 hari setelah lepas liar di TN kerinci Seblat. Foto: Ayat S Karokaro

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version