- KKP bakal menerapkan kebijakan penangkapan terukur untuk menjaga stok sumber daya ikan (SDI) di laut di masa depan. Penangkapan terukur akan dilakukan dengan membatasi jumlah dan jenis ikan yang ditangkap, jumlah kapal berikut alat tangkapnya, waktu penangkapan, serta lokasi pendaratan pelabuhan.
- KKP mengklaim kebijakan penangkapan terukur bakal menjaga stok ikan dan kesehatan sektor laut, pelaku usaha dapat menentukan jumlah kapal yang optimum untuk mendapatkan keuntungan maksimal, terjadinya pemerataan ekonomi daerah, data hasil tangkapan yang lebih akurat, industrialisasi pelabuhan yang lebih optimal, dan PNBP yang tinggi.
- Para nelayan di Pantura Jawa sepakat dengan kebijakan penangkapan terukur dengan syarat pemerintah telah punya data perikanan yang matang sebagai dasar kebijakan, seperti SDI disetiap WPP; jumlah, klasifikasi dan hasil tangkapan semua kapal ikan sehingga dapat mendistribusikan semua kapal ikan sesuai kapasitas SDI di setiap WPP.
- Para nelayan tidak setuju dengan skema pembatasan kuota kapal ikan yang berpotensi banyak kapal yang tidak bisa melaut dan terjadi efek dominonya bakal panjang yang mematikan industri perikanan dan nelayan sendiri. Selain itu, pemerintah disarankan memperluas wilayah konservasi perikanan.
- Tulisan ini merupakan bagian kelima dari tujuh tulisan sebagai hasil liputan mendalam tentang polemik pelarangan alat tangkap ikan jenis cantrang di beberapa kota di Pantura Jawa. Tulisan pertama berjudul Polemik Cantrang : Kebijakan Pelarangan Setengah Hati (1). Tulisan kedua berjudul Polemik Pelarangan Cantrang : Bagaimana Kondisi di Lapangan? (2). Tulisan ketiga berjudul Polemik Cantrang: Nelayan Pantura Enggan Berganti Alat Tangkap (3). Dan tulisan keempat berjudul Polemik Cantrang Pantura: Dinilai Merusak, Bagaimana dengan JTB? (4)
Laut Indonesia memiliki kekayaan yang melimpah. Tetapi, hal itu bukan tanpa batas. Bila tidak dikelola dengan baik, lambat laut pasti akan habis. Sebuah skema perikanan terukur tengah digagas pemerintah untuk menjaga sektor perikanan tetap lestari dan berkelanjutan di masa mendatang.
Sekretaris Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) Dampo Awang Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Lestari Priyono tak mengelak bila sumber daya perikanan nasional bukannya tanpa batas. Sehingga ia sepakat dengan gagasan perikanan terukur, sebagaimana yang digaungkan pemerintah.
“Tetapi pada wilayah implementasi, mungkin ini yang sedikit berbeda,” kata Riook, sapaannya saat berbincang dengan Mongabay Indonesia, akhir Juni lalu. Riook mengatakan, perikanan terukur hendaknya dilakukan dalam bentuk pendistribusian kapal secara proporsional berdasar kapasitas sumber daya ikan masing-masing Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI).
Namun, sebelum itu dilakukan, pemerintah harus memiliki data yang benar-benar matang. Mulai dari jumlah kapal berikut klasifikasinya, rerata hasil tangkapan, hingga sumber daya perikanan. Bila data-data ini sudah ada, pemerintah baru menentukan sebaran kapal secara proporsional berdasar klasifikasi kapal dan sumber daya masing-masing WPP.
“Jadi WPP itu kan semacam trayek kalau di darat. Semua kapal didistribusikan ke masing-masing WPP, sesuai kapasitasnya. Nah, dalam waktu yang sama, tidak ada lagi perizinan untuk kapal baru,” terangnya. Pada prinsipnya, penerapan perikanan terukur tidak boleh membatasi kapal untuk melaut.
baca : Polemik Cantrang : Kebijakan Pelarangan Setengah Hati (1)
Bagi Riook, dengan mempertimbangkan jumlah kapal yang ada saat ini, sarannya itu diklaimnya lebih adil. Daripada skema pembatasan kuota kapal yang berpotensi menimbulkan banyak kapal yang tidak bisa melaut. Padahal, saat kapal tidak bisa melaut, efek dominonya juga panjang.
Sepinya aktivitas pelabuhan di Tasikagung, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah belakangan ini, kata Riook, merupakan dampak langsung dari pembatasan kuota kapal. Ia bilang, dulu, aktivitas di pelabuhan yang berada di sisi utara pusat kota itu cukup ramai. Dalam sehari, ada 10-20 kapal sandar untuk bongkar muatan.
“Tapi banyak kapal yang tidak bisa melaut karena kuota dibatasi. Dari sekitar 260 kapal, hanya 130-an kapal yang izinnya selesai,” kata Riook. Celakanya, sebagian kapal yang parkir pada akhirnya banyak yang rusak akibat gelombang tinggi.
Pembatasan kuota, sambungnya, hanya akan memicu persoalan baru. Karena itu, ia pun mengusulkan agar pemerintah menambah dan memperluas wilayah konservasi perikanan. “Tetapkan pulau-pulau untuk sebagai wilayah konservasi. Dan itu harus dilindungi betul. Karena itu akhirnya akan jadi rumah ikan,” terangnya.
Ditegaskan Riook, ketimbang sibuk mencari kesalahan para nelayan, pemerintah lebih baik segera menambah wilayah konservasi itu. “Karena kalau cari kesalahannya, ya pasti salah semua nelayan ini. Tugasnya pemerintah itu mengatur, mengerti apa kebutuhan nelayan,” lanjutnya.
Riook mengatakan, bila akhirnya kini nelayan lebih resisten, hal itu karena pemerintah yang dinilai lamban merespon kebutuhan nelayan. Pemerintah, tidak pernah mengajak bicara nelayan selaku objek dari kebijakan dimaksud.
baca juga : Polemik Pelarangan Cantrang : Bagaimana Kondisi di Lapangan? (2)
Ia pun menjelaskan betapa kebijakan pembatasan yang dilakukan sejak awal tahun lalu memberi dampak pada para nelayan. Bulan-bulan ini, terang Riook, sebenarnya musim ikan. Tapi, tidak banyak kapal yang bisa melaut karena izin dan solar mahal.
“Ini sudah 7 bulan, tapi hanya 2-3 kapal yang sandar. Ngenes rasane, banyak yang menganggur. Cuma kalau kami bicara seperti itu, nanti kami juga yang kena,” jelasnya. Riook bilang, pemerintah hendaknya tidak gegabah dalam mengambil kebijakan, tanpa berusaha menyelami lebih jauh kondisi di lapangan.
Senada dengan Riook, Hadi Sutrisno, Koordinator Front Nelayan Bersatu (FNB) Kabupaten Pati, Jawa Tengah menolak pemberlakuan kuota sebagai implementasi perikanan terukur. Menurutnya, kebijakan itu tidak akan menyelesaikan masalah perikanan akibat overfishing.
“Memang sangat kompleks ya, semuanya serba dilematis. Mau sepakat pembatasan izin kapal baru, kalau yang sudah terlanjur beli nanti bagaimana. Begitu juga kalau kuota dibatasi, itu juga akan menjadi masalah menyangkut nasib kapal-kapal yang tidak mendapat kuota,” ungkapnya.
Hadi mengatakan, belajar dari pengalaman sebelumnya, pembatasan kuota tidak akan berjalan efektif. Efek berantainya juga bakal panjang. Sebab, mereka yang tidak mendapat kuota sekalipun, pada akhirnya akan tetap nekat melaut karena terdesak urusan perut.
Karena itu, daripada melakukan pembatasan, ia lebih sepakat untuk membiarkannya. Toh, lanjut Hadi, satu per satu para nelayan itu akan berganti profesi tatkala hasil tangkapan mereka makin turun. “Jadi, sebaiknya ya tetap difasilitasi saja, tetap diakomodir” ujarnya.
Menurut Hadi, kesediaan nelayan untuk mengurus izin harus diapresiasi. Toh negara juga dapat pemasukan yang disetor melalui pos Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) saat mengurus Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Karena itu, menjadi tugas negara untuk memfasilitasi.
Hadi mengatakan, di Pati, tepatnya Juwana, jumlah kapal penangkapan ikan diperkirakan mencapai 2.000 unit dengan kapasitas rata-rata di atas 100 GT. Dari jumlah tersebut, 300 di antaranya merupakan kapal cantrang yang telah berganti ke JTB (Jaring Tarik Berkantong).
baca juga : Polemik Cantrang: Nelayan Pantura Enggan Berganti Alat Tangkap (3)
Pertimbangan Ekologi-Ekonomi
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), M. Zaini dalam materinya soal konsep perikanan terukur yang disampaikan jelang akhir tahun lalu menjelaskan, secara filosofis, kebijakan pembatasan penangkapan semata dilakukan untuk menjaga stok ikan di laut di masa depan. Itu karena kegiatan penangkapan yang berlangsung saat ini dinilai melewati batas (overfishing).
Menurut Zaini, beberapa negara yang memiliki perairan laut telah menerapkan skema ini. Seperti Uni Eropa, Islandia, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat dan Tiongkok yang masih dalam tahap uji coba.
Indonesia sendiri saat ini berada pada metode pertama. Dimana, pengendalian hanya didasarkan pada pembatasan perizinan, tanpa diikuti kuota tangkapan. Dengan begitu, para pelaku usaha dengan bebas menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Setoran PNBP dilakukan melalui skema pra produksi, tidak memperhitungkan jumlah tangkapan yang didaratkan.
Dikatakan Zaini, ada beberapa keunggulan bila skema perikanan terukur ini benar-benar diterapkan. Di antaranya, menjaga stok ikan dan kesehatan sektor laut, serta pelaku usaha dapat menentukan jumlah kapal yang optimum untuk mendapatkan keuntungan maksimal.
Kemudian, terjadinya pemerataan ekonomi daerah (pelabuhan pendaratan disesuaikan dengan wilayah penangkapan), data hasil tangkapan yang lebih akurat, industrialisasi pelabuhan yang lebih optimal, kontrak jangka panjang sehingga ada kepastian pengembalian investasi dan PNBP yang tinggi.
Zaini mengakui, perikanan menjadi salah satu sektor dengan jumlah pekerja paling banyak bersama sektor pertanian dan kehutanan. Alasan itu pula yang mendasari bahwa pengelolaan sektor perikanan menjadi hal yang sangat penting.
baca juga : Polemik Cantrang Pantura: Dinilai Merusak, Bagaimana dengan JTB? (4)
Pada pelaksanaannya, penerapan perikanan terukur diawali dengan kajian stok sumber daya ikan (SDI) dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Selanjutnya, data stok tersebut dijabarkan ke masing-masing WPP-RI, lengkap dengan kuota penangkapan yang diperbolehkan berdasar kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Kajiskan).
Misalnya saja, pada WPP 712 dengan jumlah stok tiga juta ton, alokasi tangkapnya sebesar 1,5 juta ton. Nah, data stok dan kuota tangkap itu yang menjadi dasar penentuan alokasi jumlah kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan di WPP dimaksud.
Dalam skema perikanan terukur ini, ada 6 dari 11 WPP yang diproyeksikan untuk industri perikanan. Yakni, WPP 572 dan WPP 573 yang sama-sama berada di Samudera Hindia. Kemudian, WPP 711 yang meliputi perairan Natuna dan Natuna Utara; 716 dan 717 yang meliputi Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, serta sebagian 715 dan 718 yang mencakup Laut Aru, Arafura dan Laut Timor (lihat gambar).
perlu dibaca : Penangkapan Terukur, Masa Depan Perikanan Nusantara
Zaini menegaskan, kelestarian ekologi dan keberlanjutan perikanan di masa depan menjadi pertimbangan utama penerapan perikanan terukur ini. Selain itu juga ekonomi melalui peningkatan PNBP dari sektor perikanan.
Secara lebih detil, penerapan perikanan terukur ini akan mencakup area penangkapan melalui pembagian WPP RI. Kemudian, penentuan jumlah ikan yang boleh ditangkap berdasarkan kuota, musim penangkapan, jumlah dan ukuran kapal, serta penggunaan alat tangkap.
Selain itu juga penentuan pelabuhan sebagai lokasi pendaratan hasil tangkapan, penggunaan ABK lokal, suplai pasar domestik dan ekspor melalui pelabuhan di lokasi WPP yang diizinkan, jumlah pelaku usaha serta pemberlakuan sistem kontrak.
Butuh Kerja Keras
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Abdi Suhufan mengatakan, butuh kerja keras dari pemerintah untuk membenahi sektor perikanan yang dinilainya semrawut. Terutama, akibat maraknya illegal, unregulation, unreported fishing (IUUF) di wilayah perairan nusantara.
Menurut Abdi, salah satu praktik yang dijumpai terkait dengan IUUF adalah penggunaan alat tangkap yang tak ramah. Seperti bom ikan, trawl, atau cantrang yang memang untuk memburu ikan-ikan demersal bernilai ekonomi tinggi, diantaranya kakap dan kerapu.
“Pengamatan sekilas memang mendapati nelayan-nelayan kecil terlibat. Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut, banyak aktor dan pemodal besar atau aktor yang menjadikan praktik ini terus berlangsung hingga kini. Jadi rantai pasarnya tetap saja melibatkan perusahaan-perusahaan besar,” ungkap Abdi.
Pada 2003 dan 2016, DFW sempat melakukan investigasi atas kasus tersebut. Ia mendapati bila material untuk bom ikan itu dipasok dari sebuah gudang di Penang, Malaysia. Setelah itu, bahan dikirim via jalur laut ke Sumatera Utara lalu ke Laut Jawa dan kemudian material tersebut disebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Seperti Sulawesi, Maluku, Morowali hingga Papua.
baca juga : Penangkapan Terukur dan Penerapan Kuota Apakah Layak Diterapkan?
Dikatakan Abdi, praktik tersebut terlihat begitu samar karena saat dikirim, material bahan bom ikan itu masih dalam bentuk pupuk. “Padahal itu dipakai sebagai bahan baku bom ikan,” jelas Abdi. Dari ilustrasi cerita yang ia sampaikan, Abdi ingin menegaskan bahwa skema perikanan terukur tidak akan jalan tanpa pengawasan yang ketat.
“Dan selama ini kita cukup bermasalah dengan (pengawasan) itu. Untuk kapal-kapal diatas 30 GT mungkin masih bisa (diawasi) karena jumlahnya yang relatif sedikit. Bagaimana dengan yang dibawah itu, yang jumlahnya ratusan ribu,” ungkapnya.
Menurut Abdi, tantangan penangkapan ikan bukan hanya dari luar, tetapi juga dari dalam negeri sendiri. Bila ancaman dari luar relatif bisa dikendalikan, sebaliknya, ancaman dari dalam jauh lebih sulit. Banyaknya penggunaan alat penangkapan ikan (API) yang dilarang oleh sebagian nelayan dalam negeri adalah buktinya.
Pernyataan Abdi itu sejalan dengan temuan di lapangan. Hasil penelusuran oleh Mongabay Indonesia mendapati penggunaan API terlarang masih jamak dilakukan sebagian nelayan. Bahkan, praktik tersebut tidak hanya dilakukan nelayan berskala besar (di atas 30 GT), tetapi juga nelayan-nelayan kecil (tradisional).
Di Lamongan dan Rembang, sebagian nelayan harian pemburu rajungan jamak menggunakan minitrawl sebagai alat tangkap. Dalam beberapa kasus, praktik tersebut memicu konflik antar nelayan tradisional. “Baru sebulan lalu ingat saya ada yang dibakar,” kata Dadik, nelayan tradisional asal Karanggeneng, Kabupaten Rembang.
baca : Hak Istimewa Nelayan Tradisional pada Zona Penangkapan Terukur
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, mengaku pesimis dengan program perikanan terukur yang kini digagas pemerintah. Untuk memastikan dampak, manfaat dan efeknya bagi nelayan, ia pun mempertanyakan kajian yang dilakukan.
Pemerintah, kata Susan, juga dinilai kurang terbuka terkait desain dan konsep perikanan terukur ini. “Seperti apa detail konsep desainnya, kita juga belum tahu. Kalau ngomong penempatan kuota, pasti akan ada dampaknya. Dan, akan jadi masalah juga kalau sistem dan pengawasannya masih belum siap,” jelas Susan.
Susan menambahkan, negara tidak salah ketika memiliki gagasan untuk membangun sektor perikanan yang berkelanjutan. Akan tetapi, bila gagasan itu sekaligus membuka ruang bagi kapal-kapal asing di perairan Indonesia, hal itu sama saja dengan mengadu nelayan lokal dengan nelayan asing.
“Ini kan sama saja dengan omong kosong. Pemerintah akan membiarkan nelayan kita bersaing dengan kapal-kapal asing. Belum lagi soal penentuan kuotanya, ini juga akan memicu persoalan lain. Siapa yang bisa menjamin bahwa tidak ada praktik suap dalam pemberian kuota nanti,” lanjut Susan. Mencuatnya skandal ekspor benih lobster, kata Susan, tak luput dari skema kuota ini.
Susan pun mengaku sepakat dengan tawaran para nelayan yang meminta pemerintah untuk mengkaji secara menyeluruh terkait situasi perikanan di Indonesia. Tanpa itu, ia khawatir rencana tersebut justru memicu pergolakan di kalangan nelayan.
Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal, Jawa Tengah, Said ikut menyoal skema perikanan terukur yang digagas pemerintah. Hal paling utama, berkaitan dengan masuknya kapal asing. Sebab, jika itu benar dilakukan, nelayan lokal dipastikan makin terdesak. “Dari sisi kemampuan modal dan teknologi, jelas kita kalah,” terang Said.
baca juga : Laut Arafura Jadi Panggung Pertunjukan Utama Penangkapan Ikan Terukur
Sebagai catatan, pemerintah berencana membuka peluang bagi kapal asing untuk melakukan kegiatan penangkapan di wilayah NKRI yang sebelumnya tidak diperbolehkan. Itu terjadi bila kuota tangkap yang dialokasikan untuk nelayan lokal tidak terserap. Tak pelak, rencana kebijakan ini menulai penolakan dari para nelayan.
Selain mempersempit ruang gerak nelayan lokal, masuknya kapal asing juga berpotensi menggerus pasar ekspor perikanan tangkap. “Misalnya ada kapal China masuk. Kita pasti akan kesulitan untuk masuk ke sana karena mereka dapat ikan dari (perairan) kita, jenis ikannya sama,” ungkap Said khawatir. Karena itu, kendati sepakat dengan pemberlakukan kuota, ia tak sudi bila diadu dengan kapal asing. “Bisa-bisa malah kita yang tidak kebagian ikan,” lanjutnya.
Said meminta pemerintah menerima masukan dari semua pihak sebelum kebijakan perikanan terukur itu diterapkan. Termasuk, dari para nelayan berkaitan dengan usulan menambah area tangkap dari satu WPP menjadi dua WPP yang saling berdekatan.
Menurut Said, ada banyak hal yang belum dipahami sepenuhnya oleh KKP, kendatipun instansi ini sebagai otoritas penyelenggaraan perikanan dan kelautan nasional. Sebaliknya, acapkali kebijakan yang dikeluarkan tidak disertai dengan informasi utuh.
Said mengungkapkan, salah satu contoh adalah ketika KKP menyebut potensi perikanan hingga ratusan ton yang belum dikelola dengan baik. Tetapi, hal itu tidak dilengkapi dengan keterangan yang lebih detil mengenai karakter perairan dimaksud, jenis ikan yang ada, hingga jenis alat tangkap yang cocok dipergunakan. Akibatnya, nelayan yang harus menanggung rugi.
baca : Mematangkan Payung Hukum untuk Penangkapan Ikan Terukur
Cerita itu setidaknya pernah dialami puluhan nelayan Kota Tegal beberapa waktu lalu. Ketika itu, oleh KKP, kapal-kapal eks cantrang diarahkan ke WPP-711 (perairan Natuna dan Natuna Utara) yang dinilai masih banyak menyimpan sumber daya perikanan. Terlebih, wilayah perairan setempat juga kerap menjadi sasaran kapal asing.
“Karena tidak ada informasi yang lebih detail soal jenis ikan dan alat tangkap yang cocok untuk digunakan, 30 kapal kapal yang berangkat pun akhirnya zonk. Tidak dapat apa-apa. Karena kan setiap wilayah perairan itu karakternya berbeda-beda,” terang Said.
Belajar dari kasus tersebut, menurut Said, pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian izin dua WPP yang saling berdekatan. Hal itu untuk mensiasati tatkala terjadi migrasi sumber daya perikanan dari satu WPP ke WPP lain.
“Perilaku ikan itu kan beda-beda. Bulan ini ada di WPP 711 misalnya, bulan yang lain ikan-ikannya bermigrasi. Karena ikan itu kan tidak diam, renang terus, bergantung arus. Nah kalau begitu kan repot jika hanya dapat satu WPP,” ungkapnya. (bersambung)
Seri liputan tentang cantrang Pantura Jawa ini merupakan hasil kerjasama antara Mongabay Indonesia dengan Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI)