Mongabay.co.id

Kala Parigi Moutong Banjir Bandang, Penyebabnya?

 

 

 

Banjir bandang merendam sejumlah desa di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada penghujung Juli lalu. Air dengan ketinggian 30-90 sentimeter merendam 450 rumah, 11 rusak berat. Sekitar 450 keluarga terdampak, ada orang meninggal dunia dan empat orang dinyatakan hilang. Apa penyebabnya?

Pemerintah Parigi Moutong menetapkan status tanggap darurat bencana banjir hingga 14 hari kedepan. Abdul Muhari, Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB mengatakan, banjir karena curah hujan cukup tinggi dan berlangsung lama.

Debit air di hulu, katanya, meningkat dan resapan air berkurang menyebabkan sungai meluap.

Abdul mengatakan, titik–titik limpasan air yang menggenangi permukiman merupakan alur lekukan sungai sekaligus pertemuan dari dua sungai, dan kawasan kaki jembatan yang tak memiliki tanggul cukup.

“Hujan intensitas tinggi membuat debit hulu bertambah. Akhirnya beberapa titik limpasan meluap dan menggenangi permukiman di daerah yang lebih hilir,” kata Abdul, dalam website BNPB.

 

Suharyanto, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) langsung turun memantau banjir bandang di Parigi Moutong. Foto: BNPB

 

Suharyanto, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) langsung bertolak ke Parigi Moutong, 31 Juli lalu. Dia memantau titik hilir sungai yang jadi lokasi paling parah terdampak banjir bandang.

Dia menemukan beberapa puing sisa potongan kayu terbawa banjir bandang dan menghantam pemukiman penduduk.

Sebenarnya, berdasarkan data satelit curah hujan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), intensitas hujan di Parigi Moutong masuk kategori sedang.

Hanya saja, hujan dengan durasi lama bersamaan pasang tinggi hingga kumulatif debit di sungai terutama bagian muara jadi besar. Alhasil, sungai meluap dan merendam permukiman.

Kawasan permukiman di Kecamatan Torue ternyata ketinggian hanya 2-3 meter dari permukaan laut. Titik limpasan air paling besar berada pada ketinggian 4-5 meter. Kondisi ini memicu banjir merambat ke pemukiman di beberapa desa dengan arus cukup besar.

Suharyanto bilang, pemerintah harus segera memitigasi seperti perbaikan sektor hulu dengan reboisasi, pembuatan daerah resapan air, dan penyediaan embung. Mereka juga segera membantu dengan kontijensi berbasis perbaikan ekosistem dan lingkungan jangka panjang.

“Untuk pencegahan jangka panjang, harus dibuat rencana kontijensi antara lain memperbaiki lingkungan,” katanya, dikutip dari BNPB.

 

Rumah warga di Parigi Moutong yang terkena banjir bandang. Foto: BNPB

 

Dia meminta, Pemerintah Parigi Moutong lakukan penanganan jangka pendek sampai jangka panjang. Jangka pendek, seperti peninggian tanggul sungai khusus di titik-titik limpasan, sebagai antisipasi musim penghujan yang akan jatuh pada September.

Untuk jangka panjang, katanya, dengan memulihkan hutan dan ekosistem di hulu agar mampu optimal jadi kawasan resapan air.

“BNPB melalui Kedeputian Pencegahan akan mendukung upaya-upaya mitigasi pemerintah daerah.”

Sebenarnya, dampak cuaca ekstrem di Sulawesi Tengah (Sulteng) bukan hanya Parigi Moutong, juga sejumlah kabupaten dan kota, seperti Kabupaten Toli-toli, Banggai, dan Kota Palu.

Di Toli-toli, sungai yang tak jauh dari Desa Kapas meluap. Air sungai itu merendam sejumlah rumah warga dengan ketinggian mencapai lutut orang dewasa.

Di Banggai juga mengalami hal sama, ada sekitar 45 rumah terendam banjir di enam desa. Ketinggian air sekitar 30-45 sentimeter hingga menyebabkan sejumlah akses jalan terputus dan tak bisa dilalui kendaraan.

Di Kota Palu, ada 40 rumah warga penyintas gempa Palu di kompleks hunian tetap (huntap) Tondo terdampak banjir 31 Juli lalu. Banjir di kawasan itu karena saluran air buruk dan berulang kali terjadi tetapi belum ada penanganan serius.

 

Rombongan BNPB bersama pemerintah daerah memantau banjir bandang di Parigi Moutong, akhir Juli lalu. Foto: BNPB

 

La-Nina

Asep Firman Ilahi, Kepala Stasiun Pemantau Atmosfer Global Lore Lindu Bariri sekaligus Koordinator Layanan Klimatologi Sulawesi Tengah mengatakan, curah hujan cukup tinggi, di atas normal yang menyebabkan banjir di beberapa wilayah di Sulawesi Tengah merupakan pengaruh La-Nina. Ia secara umum berdampak pada meningkatnya curah hujan.

Sebelumnya, pada Juni lalu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Pemantau Atmosfer Global Lore Lindu Bariri sudah membuat laporan perkiraan curah hujan Juni hingga September 2022.

Dalam laporan Prakiraan Dinamika Atmosfer dan Laut pada Juli-September 2022 menyebutkan, angin monsun Australia akan aktif mendominasi seluruh Indonesia pada lapisan 850 mb termasuk Sulawesi Tengah. Monsun Australia membawa massa udara dingin dan relatif lebih kering.

Anomali Sea Surface Temperature (SST) di wilayah Nino yaitu Pasifik Tengah dan Timur menunjukkan kondisi La-Nina ;emah dan Anomali SST di Samudera Hindia menunjukkan Indian Ocean Dipole (IOD) netral.

Di Samudera Hindia, anomali SST bagian barat dan bagian timur dalam kondisi anomali negatif (dingin) hingga anomali positif (hangat).

Anomali positif (hangat) perlahan menguat hingga November 2022 dan berangsur netral pada Desember 2022. Samudera Hindia di bagian barat diprediksi dalam kondisi netral pada Juli sampai Agustus 2022. Anomali negatif (dingin) menguat hingga November 2022 dan melemah pada Desember 2022.

 

Pantauan dari udara kondisi banjir bandang di Parigi Moutong. Foto: BPBD Sulawesi Tengah

 

Asep mengatakan, anomali negatif (dingin) menguat hingga November 2022 merupakan dampak La-Nina yang masih kuat. Dia bilang, massa udara masih bergerak timur Indonesia dengan anomali positif (hangat) menyebabkan Sulteng masih terpantau alami La-Lina cukup tinggi.

“Pengaruh La-Lina di Sulteng cukup tinggi, diperkiraan sampai akhir Agustus. Kondisi La-Nina saat ini masih menguat di Sulteng,” katanya kepada Mongabay, melalui sambungan telepon, Senin (1/8/22).

Dalam laporan Prakiraan Curah Hujan Probabilistik menyebutkan, curah hujan lebih dari 300 mm perbulan memiliki peluang 10-40% di seluruh Sulteng kecuali sebagian kecil Donggala, Parigi Moutong, Banggai dan Tojo Una-Una. Sedang curah hujan lebih 500 mm perbulan 40% di sebagian Donggala, Sigi, Banggai, Banggai Kepulauan dan Banggai Laut.

Pada Agustus 2022, prakiraan curah hujan pada kriteria rendah hingga sangat tinggi (0-500 mm). Dari peta spasial analisis prakiraan sifat hujan Agustus 2022, terjadi pada kriteria bawah normal sampai atas normal (0- lebih 200%).

Dengan begitu, katanya, pada Agustus, seluruh wilayah di Sulteng berpeluang 90% terjadi hujan dengan curah hujan dari 50 mm perbulan. Curah hujan lebih dari 300 mm perbulan sekitar 10-90% di seluruh Sulteng kecuali sebagian kecil Banggai dan Tojo Una-Una.

“Sebenarnya, kita masih berada dalam musim kemarau, karena kondisi suhu muka laut yang memiliki anomali positif (hangat) ini menjadi pemicu pembentukan awan-awan di sekitar Sulawesi Tengah. Yang memanjang di beberapa kabupaten, akhirnya meningkatkan curah hujan yang diperkirakan sampai September nanti.”

 

Dampak banjir bandang di parigi Moutong. Foto: BNPB

 

 

Kerusakan hutan?

Selain cuaca tadi, kata Asep, banjir di beberapa daerah termasuk di Parigi Moutong, penyebab tak hanya curah hujan tinggi. Apalagi, hujan di Parigi Moutong masih di bawah 100 mm atau tak dalam kategori ekstrem.

Banjir di sana, katanya, merupakan kiriman dari hulu sungai karena hutan yang jadi resapan air hulu tergerus. Meski curah hujan rendah, katanya, bisa memberi dampak buruk seperti banjir di hilir.

Berdasarkan data Global Forest Watch, dari 2002-2021, Sulteng kehilangan 370.000 hektar hutan primer basah, menyumbang 51% dari total kehilangan tutupan pohon. Dalam periode sama, hutan primer basah di Sulteng berkurang 9,1% dalam periode waktu ini.

Sejak 2001-2021, Sulteng kehilangan 745.000 hektar tutupan pohon, setara penurunan 13% tutupan pohon sejak 2000.

Walhi Sulteng mensinyalir, alih fungsi lahan tak terkendali dan vegetasi kurang menyebabkan banjir bandang di Desa Torue, Parigi Moutong.

Sunardi Katili, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng mengatakan, alih fungsi lahan, perubahan bentangan, dan kontur alam serta tutupan vegetasi tak memadai di Sulteng jadi pemicu utama banjir bandang ketika intensitas curah hujan meninggi.

Pemerintah provinsi dan kabupaten kota harus memperhatikan masalah itu, terutama pengurangan dan pengendalian alih fungsi lahan berupa perizinan baik pertambangan besar, perkebunan besar maupun perkebunan/pertanian petani.

“Pemerintah harus mendorong agroforestri tanaman lokal dan campuran, perbaikan vegetasi di wilayah-wilayah hulu guna penyerapan air lebih maksimal serta perbaikan daerah aliran sungai dan saluran-saluran air,” kata Sunardi dalam rilis kepada media.

Pemerintah, katanya, harus melakukan pemenuhan hak pasca bencana, khusus rumah rusak dan hilang. Juga tidak menggunakan standar administrasi kependudukan sebagai syarat acuan untuk mempermudah mendapatkan akses pemenuhan hak-hak dasar penyintas.

 

 

*******

Exit mobile version