Mongabay.co.id

Duet Ekonomi dan Ekologi pada Pemanfaatan Ruang Laut

 

Pengaturan ruang laut untuk kepentingan bisnis terus ditata oleh Pemerintah Indonesia, demi menghadirkan iklim usaha yang nyaman dan aman. Aturan pertama yang mengatur tentang hal tersebut, adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK).

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang berwenang mengurus wilayah ruang laut di Indonesia, sangat fokus untuk menciptakan keteraturan pemanfaatan ruang laut. Sekaligus, memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang terlibat di dalamnya.

Atas pertimbangan tersebut, KKP kemudian menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 Tahun 2022 tentang Mekanisme Penyelenggaraan Pendirian dan/atau Penempatan Bangunan dan Instalasi di Laut.

Aturan tersebut menjadi peraturan turunan UUCK kedua yang diterbitkan oleh KKP. Sebelumnya, pada 2021 sudah diterbitkan Kepmen KP Nomor 14 Tahun 2021 tentang Alur Pipa dan/atau Kabel Bawah Laut.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo menjelaskan, penerbitan aturan turunan kedua, diharapkan bisa menciptakan kenyamanan dan keamanan bagi para pelaku usaha untuk mengurus izin pemanfaatan ruang laut.

Secara umum, aturan yang diterbitkan pada 23 Juni 2022 itu berisi tentang tahapan proses bisnis diagram alir yang harus dilalui para pelaku usaha, jika mereka ingin mendirikan bangunan dan/atau instalasi di laut.

“Beleid tersebut terbit berdasarkan arahan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dalam rapat koordinasi tingkat menteri pada akhir Januari 2022,” ucap dia dua pekan lalu di Jakarta.

baca : Kabel Laut Makin Banyak Tapi Semrawut. Bagaimana Solusinya?

 

Ilustrasi. Kabel bawah laut. Foto : shutterstock

 

Terbitnya aturan turunan yang kedua dari UUCK tersebut, memberi gambaran bahwa pengaturan tentang pemanfaatan ruang di laut sudah jauh lebih baik. Bahkan, dalam proses pembuatan, Kepmen 42/2022 melibatkan kementerian dan lembaga (K/L) yang berkaitan.

Itu kenapa, Victor Gustaaf Manoppo meyakinkan semua pihak, walau aturan turunan wujudnya dalam Kepmen KP, namun secara hukum itu sudah sangat kuat dan bisa menjadi payung hukum untuk seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di laut.

“Dapat dijadikan payung hukum untuk seluruh kementerian dan lembaga yang terkait dalam perizinan bangunan dan/atau instalasi di laut,” tambah dia.

Tentang regulasi turunan kedua UUCK yang sudah diterbitkan, Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP Suharyanto menyebut bahwa itu berisi aturan yang lebih spesifik dibandingkan regulasi turunan pertama yang diterbitkan tahun lalu.

Dia menyebut kalau kehadiran Kepmen KP 42/2022 akan membuat para pelaku usaha merasa lebih nyaman, karena mereka tidak lagi harus bolak balik ke berbagai kantor kementerian dan lembaga terkait untuk mengurus perizinan pemanfaatan ruang laut.

Pengurusan seperti itu, dinilai sudah tidak efisien karena memakan waktu dan biaya karena antara kementerian dan lembaga tidak memiliki integrasi pengurusan perizinan. Oleh karena itu, dengan adanya Kepmen KP 42/2022, pengurusan perizinan menjadi lebih sederhana karena semua sudah terintegrasi.

Sistem perizinan terintegrasi tersebut bisa diterapkan, karena K/L terkait sudah membahas secara bersama dan mencapai kesepakatan yang sama tentang pengurusan izin untuk para pelaku usaha yang ingin melaksanakan pemanfaatan ruang di laut.

Dengan adanya integrasi perizinan, diharapkan para pelaku usaha semakin antusias untuk mengurus prosesnya agar bisa semakin tertib dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang laut. Apalagi, aktivitas usaha di sana selama ini memang terbilang sangat tinggi.

baca juga : Seperti Apa Pemanfaatan Ruang Laut di Perairan Laut Nasional?

 

Ilustrasi. Kabel bawah laut. Foto : shutterstock

 

Menurut Suharyanto, selain kegiatan di permukaan, pemanfaatan ruang laut juga dilakukan oleh para pelaku usaha di kolom, dan bahkan di dasar lautan. Dengan aktivitas yang banyak seperti itu, pemanfaatan ruang laut memang sudah seharusnya diatur oleh Pemerintah Indonesia.

“Tingginya aktivitas yang tanpa dibarengi regulasi akan berpotensi memicu terjadinya konflik kepentingan bahkan dapat merusak ekosistem laut itu sendiri,” ungkap dia.

Resiko sebesar itu sebaiknya memang terus dikurangi agar para pelaku usaha bisa mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan sekaligus kepastian hukum. Karenanya, mekanisme penyelenggaraan yang koordinatif dan terintegrasi sangat diperlukan untuk memberi kepastian hukum dan keberlanjutan ekosistem laut.

Sebelum diterbitkan, proses pembuatan naskah akademik Kepmen 42/2022 melalui tahapan yang panjang dengan dipimpin langsung Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sebagai Ketua Tim Pengarah Nasional Penataan Alur Pipa dan/atau Kabel Bawah Laut.

Asisten Deputi Pengelolaan Ruang Laut dan Pesisir Kemenko Marves Muh Rasman Manafi menjelaskan, diterbitkannya peraturan turunan kedua UUCK tersebut, karena tim menilai perlunya mengatur proses bisnis hulu ke hilir terhadap mekanisme penyelenggaraan perizinan pipa dan/atau kabel bawah laut yang terintegrasi.

Namun, dia berharap aturan baru tersebut bisa lebih dipahami oleh para pihak terkait, utamanya para pelaku usaha. Untuk itu, diperlukan sosialisasi yang tiada henti agar aturan tersebut tidak sekedar menjadi aturan biasa saja.

“Hal ini karena masih banyak pihak yang belum memahami proses bisnis penataan bangunan dan instalasi di laut,” ucap dia.

baca juga : Seperti Apa Pemanfaatan Ruang Laut di Perairan Laut Nasional?

 

Peta jalur kabel bawah laut yang ada dan baru di perairan Indonesia. Sumber : Pushidros TNI/Kemenko Marves

 

Fungsi Luas

Di luar hal tersebut, sosialisasi menjadi sangat diperlukan, karena bangunan dan instalasi di laut memiliki cakupan fungsi yang sangat luas. Tidak hanya yang berkaitan dengan bangunan seperti hunian maupun anjungan lepas pantai, tapi juga berkaitan dengan hal lainya.

Sebut saja, telekomunikasi, pelayaran, wisata bahari, instalasi ketenagalistrikan, penyediaan sumber daya air, hingga pertahanan dan keamanan negara. Detailnya, ada sedikitnya 15 fungsi yang menempel pada bangunan dan instalasi di laut.

“Misalnya, fungsi untuk hunian, pelayaran, dan juga sebagainya. Ini perlu dikoordinasikan dengan baik,” paparnya.

Selain hal di atas, Muh Rasman Manafi juga menyebutkan bahwa perlu adanya pemahaman bersama, khususnya di Tim Teknis Timnas, berkaitan dengan mekanisme perizinan yang telah ditetapkan oleh KKP.

Menurut dia, belajar dari proses menata kabel dan pipa bawah laut, ada beberapa hal yang menjadi perhatian oleh Kemenko Marves. Khususnya, bangunan pantai yang menjorok ke laut dan harus segera dikelola dengan baik.

“Karena selain mengubah bentang alam di pesisir, juga dapat menimbulkan erosi pantai,” sebut dia.

Adapun, sejumlah hal yang dimaksud, adalah empat poin besar. Pertama, soal pemahaman dan kemampuan dari sumber daya manusia (SDM), dan pelaku usaha, serta K/L yang terlibat. Kedua, baku mutu layanan perizinan terkait pelayanan, biaya dan waktu.

“Ketiga, sistem monitoring, dalam hal ini, cyber security. Keempat, dan yang terakhir adalah terkait kerja sama stakeholder,” papar dia.

baca juga : Ini Target Pemerintah Selesaikan Rencana Zonasi Pemanfaatan Ruang Laut Indonesia

 

Ilustrasi pipa bawah laut. Foto : shutterstock

 

Asisten Operasi Survei dan Pemetaan Pusat Hidro Oseanografi TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama TNI Dyan Primana Sobarudin juga menyebut kalau kehadiran Kepmen 42/2022 menjadi sesuatu yang bagus untuk penataan ruang laut.

Dengan aturan turunan kedua tersebut, pemanfaatan ruang laut diyakini akan menjadi lebih optimal dan sekaligus diharapkan tidak terjadi lagi tumpang tindih aturan yang bisa merugikan banyak pihak. Dari aturan tersebut, keseimbangan menjaga ekologi dan sekaligus memanfaatkan ekonomi bisa diharapkan bisa dilakukan secara bersama.

Direktur Wilayah Pertahanan Kementerian Pertahanan RI Laksamana Pertama TNI Idham Faca menjelaskan, pemanfaatan ruang laut akan selalu melibatkan pertahanan Negara. Hal itu, karena ada kejelasan keamanan (security clearance) yang bisa memastikan ruang laut aman untuk dimanfaatkan ataukah tidak.

Untuk proses tersebut, Kementerian Pertahanan menjadi pihak yang berwenang untuk menerbitkan status tersebut dengan sebelumnya terlebih dahulu dilakukan pengecekan oleh petugas keamanan (security officer). Itu semua dilakukan untuk memastikan pelaksanaan pembangunan dan instalasi di laut tidak mengancam kedaulatan negara.

“Kami yakin dengan adanya proses bisnis yang ditetapkan dan adanya Timnas maka pembangunan dan instalasi akan berjalan lebih baik dan menggairahkan kegiatan usaha di laut,” tandas dia.

baca juga : Begini Implementasi Ekonomi Biru di Laut Natuna dan Natuna Utara

 

Pipa induk bawah laut di tepi pantai sebelum masuk ke perkampungan dan rumah warga. Foto: M Rahmat Ulhaz

 

Sementara, Ketua Asosiasi Sistem Komunikasi Kabel Laut Seluruh Indonesia (ASKALSI) Akmad Lutfi mengatakan bahwa integrasi yang sudah dilakukan dalam proses perizinan untuk pemanfaatan ruang laut, patut mendapatkan apresiasi.

Tetapi, untuk bisa menuju capaian terbaik, diperlukan proses yang panjang dan komitmen dari para pihak yang terkait dan terlibat dalam perizinan. Jika itu sudah bisa terwujud, maka proses yang tadinya terpisah-pisah, akan baru bisa dirasakan oleh mereka yang memerlukannya.

Oleh karena itu, dia berharap di masa mendatang ada tolok ukur keberhasilan dari implementasi proses bisnis yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dan menjadi rujukan untuk pengembangan penataan laut.

“Kemudian ada persyaratan biaya dan waktu yang perlu juga kita review secara berkala,” terang dia.

Sebagai informasi, Pushidrosal, Kemenhan, KKP serta sejumlah kementerian lembaga terkait termasuk dalam Tim Nasional Penataan Alur Pipa dan/atau Kabel Bawah Laut yang terbagi dalam tim pengarah, tim pelaksana, dan tim teknis yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menko Marves Nomor 46 tahun 2021.

Tahun lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan kalau peta alur pipa dan/atau kabel bawah laut terdiri dari 217 segmen kabel bawah laut dan 43 segmen pipa bawah laut. Termasuk, empat landing stations (LS) sistem komunikasi kabel laut (SKKL) internasional meliputi Jayapura, Batam, Kupang dan Manado.

Pemetaan kondisi tersebut, menjadi latar belakang untuk penerbitan Kepmen 14/2021 dan kemudian melakukan penataan secara bertahap. Kegiatan itu menjadi penting, karena bisa menghasilkan pemanfaatan ruang laut menjadi lebih optimal.

“Baik itu untuk labuh jangkar kapal, pariwisata, telekomunikasi, pertambangan, hingga kelestarian ekosistem di ruang laut itu sendiri,” ungkap dia.

 

Tumpahan minyak dari kebocoran pipa bawah laut Pertamina, di Teluk Balikpapan. Foto diambil dari 2 April 2018. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/ Mongabay Indonesia

 

Sementara, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pendataan dan inventarisasi pipa dan/atau kabel bawah laut yang masa kontrak/izinnya sudah akan berakhir ataupun habis, harus dilakukan oleh Tim Nasional Alur Pipa/atau Kabel Bawah Laut.

Adapun, Tim Nasional (Timnas) yang dimaksud, dibentuk melalui Keputusan Menteri Kooordinator Marves Nomor 107 Tahun 2020 tentang Tim Nasional Penataan Alur Pipa dan Kabel Bawah Laut. Di dalamnya, ada Menko Marves, Menteri KP, dan Kepala Pusat Hidro Oseanografi TNI Angkatan Laut.

Selain ketiga orang inti tersebut, terdapat anggota Timnas yang terdiri dari Kementerian Perhubungan RI, Kementerian Komunikasi dan Informatika, KKP, Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral, Kementerian Pertahanan, Kepala Staf TNI AL, dan Badan Informasi Spasial (BIG).

 

Exit mobile version