Mongabay.co.id

Walhi NTT Minta Presiden Jokowi Hentikan Privatisasi di Kawasan Taman Nasional Komodo

 

Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke Nusa Tenggara Timur (NTT) Kamis (21/7/2022). Dalam kunjungan ini, Jokowi meresmikan perluasan Bandar Udara Komodo Labuan Bajo serta meresmikan Penataan Kawasan Marina Labuan Bajo dan Sistem Pengelolaan Sampah Warloka yang digelar di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Marina, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kehadiran Jokowi untuk kesekian kalinya di Labuan Bajo diharapan Walhi NTT agar juga memperhatikan tuntutan rakyat yang tanahnya dirampas untuk kepentingan investasi.

Walhi NTT meminta Jokowi memperhatikan perlawanan publik atas masifnya privatisasi dalam kawasan TNK serta keberlanjutan Komodo dalam habitat yang sedang dalam penguasaan korporasi.

Walhi NTT mencatat ada beberapa proyek pembangunan dalam kawasan Taman Nasional (TN) Komodo yang skemanya justru memberikan ruang bagi korporasi untuk melakukan privatisasi.

Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menyebutkan,terdapat tiga perusahaan swasta yang telah diberikan ‘karpet merah’ melalui izin konsesi dengan skema Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA).

baca : Tarif TN Komodo Mahal, Jokowi : Perlu Keseimbangan Antara Konservasi dan Pariwisata

 

Alat berat sedang mengerjakan proyek pembangunan di Pulau Rinca,Taman Nasional Komodo (TNK), Kabupaten Manggarai Barat,NTT. Foto : Akun Twitter Save Komodo Now

 

Umbu Wulang paparkan,ketiga perusahaan tersebut yakni Segara Komodo Lestari (SKL), sebagai perusahaan pertama yang menerima IUPSWA seluas 22,1 hektar di Pulau Rinca sesuai Keputusan Menteri LHK No.5.557/Menhut/II/2013.

Selain itu, ada PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Komodo dan Pulau Padar dengan izin IUPSWA, yang terdiri dari 274,81 hektar (19,6% dari luas Pulau Padar) dan 154,6 Ha (3,8% dari luas Pulau Komodo).

Juga ada PT Synergindo Niagatama (PT SN) di lahan seluas 6.490 hektar di Pulau Tatawa. Pada 2018, pemerintah mengubah desain situs zona pemanfaatan di Pulau Tatawa.

“Perubahan site plan ini mengurangi ruang publik menjadi hanya 3.447 hektar dan meningkatkan ruang usaha menjadi 17.497 hektar,” ungkapnya dalam rilis yang diterima Mongabay Indonesia, Jumat (22/7/2022).

Lanjut Umbu Wulang, tahun 2012 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui SK No.21/IV-SET/2012 mengkonversi 303,9 hektar lahan di Pulau Padar menjadi zona pemanfaatan wisata darat.

Berdasarkan desain tapak, zona pemanfaatan ini dibagi menjadi 275 hektar untuk ruang usaha dan 28,9 hektar untuk ruang wisata publik.

“Sebanyak 274,13 hektar dari total 275 hektar ruang usaha diserahkan kepada perusahaan itu untuk dibangun resort-resort eksklusif,” sesalnya.

baca juga : Setuju Pembatasan Pengunjung ke TN Komodo, Pelaku Wisata Minta Biaya Kunjungan Dikaji Ulang

 

Sebuah truk pengangkut material sedang berhadapan dengan satwa Komodo di Pulau Rinca di Taman Nasional Komodo (TNK),Kabupaten Manggarai Barat,NTT. Foto : Akun Twitter Save Komodo Now

 

Hentikan Pembangunan

Beberapa waktu lalu, pemerintah telah menaikan tarif masuk ke TN Komodo sebesar Rp3,75 juta per orang per tahun.

Walhi NTT menilai, kebijakan ini terintegrasi dengan beberapa kebijakan pembangunan sebelumnya dalam Kawasan TN Komodo.

Umbu Wulang tegaskan pembukaan ruang bagi korporasi, perubahan fungsi kawasan, penutupan ruang bagi warga lokal dan berbagai kebijakan ini, dinilai publik akan berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup Komodo dan masyarakat lokal.

Ia sebutkan keseluruhan polemik yang terjadi di atas seharusnya mendapat porsi yang sama mendapatkan perhatian Jokowi. Oleh karena itu, Walhi NTT kembali mengingatkan beberapa hal.

Pertama, Jokowi perlu tegas menertibkan izin-izin dalam kawasan TN Komodo, sebagaimana KLHK dalam melakukan evaluasi izin-izin dalam kawasan TN Komodo.

Dua izin yang dievaluasi oleh KLHK adalah dua perusahaan yang sudah diberi konsesi bisnis di wilayah TN Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.

Dua perusahaan tersebut adalah milik PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) dengan SK No.796/Menhut-II/2014 dan milik PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) dengan SK No.7/1/IUPSWA/PMDN/2015.

baca juga : Pasca UNESCO dan IUCN Kunjungi Taman Nasional Komodo, Meluruskan Klaim Pemerintah

 

Perusahaan yang mendapat izin konsesi di dalam wilayah Taman Nasional Komodo (TNK). Foto : Dokumen Sunspirit for Justice anda Peace

 

Kedua, Jokowi perlu memerintahkan agar kenaikan harga tiket masuk TN Komodo dikaji ulang.

Ketiga, pemerintah harus memperhatikan seluruh aspirasi masyarakat lokal atas aktifitas korporasi yang merampas ruang-ruang penghidupan rakyat.

Keempat, selamatkan habitat Komodo dengan menghentikan seluruh model pembangunan dalam kawasan TN Komodo yang tidak ramah lingkungan.

“Dalil konservasi tidak bisa dipakai semata untuk melanggengkan langkah korporasi dalam kawasan habitat Komodo,” tegas Umbu Wulang.

 

Sudah Sesuai Aturan

KLHK membantah soal adanya privatisasi dalam pembangunan wisata alam di kawasan TN Komodo.

Dikutip dari klhk.go.id, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno menjelaskan, yang ada adalah pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Sarana Wisata Alam (IUPSWA).

Wiratno katakan, dalam pemberian izin tersebut, ada hak dan kewajiban serta sanksi apabila ada pelanggaran dari pemegang izin.

Ia sebutkan, dalam pengembangan wisata alam di taman nasional, tentu diperlukan bangunan sarana dan prasarana untuk mendukung kunjungan wisatawan, seperti toilet, tempat makan dan lainnya,

“Untuk itu, pengembangan pariwisata alam diperbolehkan, tapi hanya di zona pemanfaatan dan harus melibatkan masyarakat sekitar,” ucapnya.

baca juga : UNESCO Minta Setop Proyek Wisata di TN Komodo, Respon Pemerintah?

 

Komodo berjemur di puncak bukit Loh Buaya di dalam Kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Foto : BTN Komodo

 

KLHK menyebutkan,TN Komodo seluas 173.300 Ha ini meliputi wilayah daratan dan perairan dan dikelola berdasarkan zonasi, yakni zona inti, rimba, pemanfaatan, tradisional, khusus dan zona perlindungan bahari.

Pada wilayah daratan, 70% merupakan ekosistem savana dan habitat Komodo. Dari 146 pulau terdapat 8 pulau terfavorit kunjungan wisatawan yakni Pulau Padar, Komodo, Rinca, Gili Lawa Daratan, Gili Lawa Lautan, Kambing, Kalong dan Pink Beach di Pulau Komodo.

Saat ini terdapat dua Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) di TN Komodo yaitu PT. SKL di Pulau Rinca dan PT. KWE di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

PT. SKL diberikan IUPSWA di Pulau Rinca akhir 2015 lalu, seluas 22,1 Ha atau 0,1% dari luas Pulau Rinca 20.721,09 Ha. Sementara yang diizinkan untuk pembangunan sarana dan prasarana maksimal 10% dari luas izin yang diberikan atau hanya seluas 2,21 Ha.

PT. KWE mendapat IUPSWA di Pulau Komodo dan Pulau Padar pada September 2014, seluas 426,07 Ha, terdiri atas 274,13 Ha atau 19,6% dari luas Pulau Padar (1.400,4 Ha) dan 151,94 Ha atau 0,5% dari luas Pulau Komodo (32.169,2 Ha). Sarana dan prasarana yang dapat dibangun sekitar 42,6 Ha.

Wiratno katakan terkait areal usaha, kedua izin ini berada di ruang usaha pada zona pemanfaatan.

“Prosedur penerbitan izin kedua perusahaan tersebut juga sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” tuturnya.

Wiratno paparkan, sebagaimana disyaratkan dalam aturan pembangunan dan pengembangan rencana pengelolaan, tidak boleh mengganggu lintasan Komodo dan sarang Komodo.

Ia menambahkan, kedua perusahaan tersebut dalam hal pembangunan fisik seperti bangunan, sudah menggunakan konsep kearifan lokal dan ramah lingkungan baik dari segi material maupun tata cara pelaksanaannya.

“Perusahaan menggunakan bahan bangunan material bambu dari Bajawa, menggunakan solar panel dan konsep zero waste,” ungkapnya.

 

Exit mobile version