Mongabay.co.id

Bagaimana Nasib Warga Kala Sungai Karama Terbendung? [1]

 

 

 

 

Warga berkumpul di rumah Kepala Dusun Sumuak, bersama tiga orang yang mengatasnamakan diri perwakilan PT DND Hydro Ecopower (DND), malam itu, 4 Januari lalu.

DND ini merupakan pengembang pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Karama, sungai berarus deras yang melintasi kampung mereka di Desa Kalumpang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar).

Kasman, warga Sumuak ikut hadir. Dia diminta duduk di depan selagi perwakilan perusahaan memaparkan rencana. Kasman adalah anggota Badan Permusyawaratan Desa Kalumpang.

Tiga orang itu terdiri dari utusan perusahaan, konsultan penyusun dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PLTA Karama, dan Hasrat Lukman, pengurus Kamar Dagang dan Industri Sulbar.

Rencananya, PLTA Karama bakal memproduksi listrik 190 MW, dengan putaran tiga turbin masing-masing menghasilkan 63.4MW.

DND akan membendung aliran Sungai Karama di wilayah Kamasi, masuk Kecamatan Sampaga, Mamuju. Tipe bendungan gravitasi memiliki “kaki” gemuk, menjulang setinggi 66 meter dengan pondasi setinggi 20 meter terkubur, di bawah dasar sungai.

Secara keseluruhan, ketinggian bendungan itu mencapai 86 meter.

 

 

Ketika sungai terbendung, permukaan naik, membentuk waduk yang menahan tekanan air untuk memutar turbin, dan menenggelamkan apapun di hulu bendungan.

Seperti Kasman, warga lain cemas, begitu bendungan terbangun kampung mereka ikut hilang. Jarak bendungan dan Sumuak sekitar 20 kilometer.

Tentu, perusahaan menyambangi Sumuak karena itu—setelah rapat Komisi Amdal pada 13 September 2021 di satu hotel di Kota Mamuju, dihujani penolakan.

Perusahaan mengklaim genangan tak mencapai perkampungan. Apapun yang dikatakan perusahaan, Kasman tak pernah melihat peta genangan, yang menampakkan sejauh mana permukaan sungai naik.

“Apa jaminannya supaya bisa dipercaya?” kata Kasman. “Hanya gambar bendungan [yang diperlihatkan], berapa ketinggian, sampai gambar bangunan di atas, yang dia bilang pos.”

 

 

***

Maret lalu, saya mengunjungi Sumuak dengan sepeda motor, melintasi jalan berangkal batu yang melelahkan dari pusat Desa Kalumpang. Sumuak bersembunyi di balik punggungan gunung terbuka dan petak-petak kebun, dengan sebuah jalan kecil berbeton meliuk menuruni lereng terjal.

Sumuak adalah perkampungan kecil berpenduduk tak lebih 200 orang. Ia terletak di lembah Sungai Karama yang lapang dan memukau. Dahulu, Sumuak hanya tanah liar tak tersentuh, tertutupi rumput ilalang menjulang setinggi orang dewasa.

Sekitar 1971, setelah pemerintah mengiming-imingi akses pendidikan buat anak mereka, warga Sumuak meninggalkan Kurawak, perkampungan yang mereka tempati sejak lama di lereng gunung, di seberang Kampung Sumuak, yang sekarang.

Warga membuka lahan dan membangun rumah, berderet-deret mendekati bibir sungai. Seluruh kebiasan di Kurawak ikut bersama mereka. Sumuak seperti tak punya masa depan. Banyak keluarga lain meninggalkan kampung. Beberapa tahun setelah kampung berdiri, Kasman lahir.

Bagaimana pun, Sumuak dengan segala ketentramannya menyimpan ancaman. Dua tahun lalu, Sungai Karama memuntahkan banjir ke kampung setinggi lutut orang dewasa, dua hari berturut-turut.

Beberapa tahun sebelum itu, tinggi banjir bahkan nyaris mencapai dua meter, menjebak warga di dalam rumah.

“Waktu bedah rumah masuk, banyak bikin rumah panggung,” kata Paulus Kalibambang, Tobara Sumuak. Tobara adalah jabatan adat untuk kepala kampung.

Lantas, bagaimana kalau bendungan kelak terbangun? Paulus dan Kasman tak tahu. Saat pertemuan dengan perusahaan, persoalan banjir tak mencuat.

 

Lahan pertanian warga akan hilang saat lahan terendam untuk bendungan, Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Ketika saya menunjukkan peta genangan kepada Paulus dan Kasman, mereka tercengang. “Sudah masuk mi genangan itu kalau begitu,” kata Kasman. “Jangan sampai bilang, kita tidak tenggelam, tapi nanti kita dua kali rugi, tenggelam sendiri, tidak ada pemindahan kampung, aih sama saja kita dibunuh.”

Peta itu menunjukkan apa dan di mana yang daerah akan terkena bendungan, ditandai garis merah berkerut mengikuti topografi alam.

Dalam peta menyebutkan, ketinggian air normal mencapai 62 meter di atas permukaan laut (perusahaan memakai mdpl). Garis merah itu meringsek sisi barat perkampungan Sumuak. Berhenti di ketinggian 66 mdpl.

“Batas yang kita buat di peta itu paling maksimum. Itu sudah batas banjir sebenarnya, ketika terjadi hujan intensitas tinggi di hulu,” kata Gunawan Ichsan, penanggung jawab wilayah DND Hydro Ecopower.

“Kita melakukan delienasi paling berdampak jika terjadi banjir.”

Peta genangan itu dibikin tim Geographic Information System (GIS) CV. General Konsultan, penyusun amdal PLTA Karama bersama tim teknik sipil perusahaan.

“Ketika [air] mencapai 66 mdpl akan melewati bendungan. Akan dilimpahkan dengan sendirinya,” kata Muhammad Daud Hammasa, dari CV General Konsultan.

Desain bendungan semula berpijak di dasar sungai dengan ketinggian 86 meter. Bagi Daud itu akan mengaramkan apapun di bawah ketinggian 70 mdpl, sepanjang tepi Sungai Karama, termasuk Sumuak. General Konsultan minta, perusahaan menggali sungai sedalam 20 meter untuk pondasi, supaya tinggi bendungan menurun.

“Kalau ada relokasi penduduk ataupun menggenangi kampung, kami tidak mau nyusun. Karena itu pasti bermasalah,” kata Daud. “Kami juga kan agak independen.”

Meskipun garis itu tampak meyakinkan, kekhawatiran Paulus ataupun Kasman tak hilang. “Saya sendiri bingung,” kata Paulus.

“Kenapa [genangan] pas mau sampai di kampung berhenti. Ndak masuk di akal. Kalau pemikiran manusia, itu lucu. Siapa bisa mengatur air?”

Kasman dan Paulus mengatakan kepada saya, sehabis pertemuan itu keputusan warga belum bulat untuk menerima atau menolak. “Jadi tanda tangan hari itu cuman untuk absen,” kata Kasman.

 

Peta genangan PLTA Karama

 

Cengkraman bisnis

Sungai Karama mengalir bagai sapuan kuas, seratusan kilometer, membelah bentang alam pegunungan raksasa sebelum bermuara di Selat Makassar. Ia jadi penghubung dengan dunia luar sampai Kalumpang dan Bonehau, tidak lagi terisolir—sampai sekarang, tetap menjadi jalur tranportasi primadona.

Sungai Karama juga bagai pintu ke masa prasejarah, saat zaman neolitik, di mana jejak-jejak unik kebudayaan penutur austronesia yang berusia ribuan tahun tersimpan.

Temuan arkeologi membuktikan, Sungai Karama jadi poros hunian manusia yang mencapai kawasan itu pada 3.800 tahun silam, yang “memperlihatkan kemiripan karakteristik lebih dekat dengan budaya materi dari Taiwan dan Filipina.”

Hulu Karama, terletak di pertemuan Sungai Betue dan Uro, di Seko, jantung pedalaman Sulawesi Selatan. Sungai yang memiliki jeram mengerikan dalam, lebar, dan berarus deras.

Sungai Karama pun jadi sasaran pengembangan PLTA.

Pada 2010, PT Bukaka Teknik Utama bagian dari Kalla Grup mencanangkan proyek PLTA Tumbuan 450 MW, di hulu Sungai Karama—kini tahap konstruksi. Tak perlu waktu lama, pada 2011, Pemerintah Sulbar menggandeng perusahaan asal Tiongkok, China Gezhouba Group Corporation, mengembangkan PLTA, di bagian hilir.

PLTA sepintas seperti solusi meninggalkan penggunaan energi kotor penyebab krisis iklim, tetapi masalah masih membayangi.

Ketika bendungan PLTA menaikkan permukaan sungai, tanaman dan bahan organik lain tergenang, melepas karbon dioksida dan metana ke angkasa.

Dalam sebuah artikel Massachusetts Institute of Technology (MIT), memperlihatkan beberapa waduk PLTA justru menghasilkan emisi jauh lebih tinggi.

Menurut laporan World Commission on Dams pada 2000 menyatakan, secara sosial, 40-80 juta orang di dunia tersingkir dari kampung mereka karena dampak bendungan besar termasuk untuk PLTA. Banyak dari mereka belum dimukimkan kembali atau menerima ganti rugi.

Pengembangan PLTA di Sungai Karama akan menenggelamkan delapan desa dan tinggalan arkeologi yang berharga buat ilmu pengetahuan.

Pemerintah telah memasukkan Sungai Karama ke daftar potensi PLTA dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Umum Energi Daerah Sulbar 2021.

Saat ini, elektrifikasi di Sulbar menyentuh 98,40%, dengan surplus tegangan 60%. Orang-orang tak lagi hidup dalam kegelapan saat malam hari.

Untuk siapa PLTA itu? “Suatu saat nanti akan terbangun industri besar, PLTA sangat dibutuhkan,” kata Azhar Tauhid, Inspektur Listrik, Bidang Ketenagalistrikan Dinas ESDM Sulbar.

Pemerintah, katanya, seakan menggelar karpet merah buat perusahaan dan sebagian warga. “Mengapa hanya Sungai Karama yang selalu dibendung?” kata Eli Supayo, Tobara di Kalumpang. “Kenapa tempat-tempat lain tidak?”

 

Sungai Karama, yang akan dibendung untuk PLTA. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

***

DND, berinvestasi di Sungai Karama, melalui skema penanaman modal asing. Listrik akan jual ke PLN untuk interkoneksi Sulselrabar.

Bupati Mamuju memberi izin lokasi pada 12 Maret 2020. Izin berusaha sudah dikantongi.

Pada 22-23 September 2020, berturut-turut DND menggelar konsultasi publik, di Kantor Camat Bonehau dan Sampaga.

Tujuh bulan kemudian, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulbar, Aco Takdir menyetujui kerangka acuan rencana PLTA Karama.

Untuk menyusun amdal, perusahaan menggaet CV General Konsultan, yang berkantor di lantai dasar rumah di pinggiran Kota Makassar.

Pada 13 September 2021, andal, rencana pengelolaan lingkungan/rencana pemantauan lingkungan hidup PLTA Karama dipaparkan dalam rapat komisi .

Hasil penilaian mengatakan belum layak. Izin lingkungan pun tertunda hingga kini. Sebagai rekomendasi, Komisi Amdal meminta perusahaan kembali sosialisasi di kampung-kampung yang terkena dampak seperti Dusun Sumuak dan Desa Tamalea Tua, Kecamatan Bonehau.

Dalam dokumen andal, 69% warga menerima rencana PLTA, karena percaya pembangunan bakal membuka lapangan kerja dan memberi mereka kesempatan berusaha. Saat sosialisasi di Sumuak, perusahaan kata Paulus, tak pernah bilang ada lapangan kerja.

PLTA dalam pusaran bisnis energi kotor_Infografis PLTA dalam pusaran bisnis energi kotor

 

 

Logikanya?

Di Tamalea Tua, sosialisasi perusahaan justru meninggalkan kebingungan, walaupun perusahaan berulang kali menjamin kampung itu terhindar dari genangan, sekalipun saat hujan lebat. “Saya bingung juga. Mereka katakan rendaman, genangan. Saya kira rendaman dengan genangan sama saja. Apa bedanya? Sama-sama basah,” kata Antonius, warga Tamalea Tua.

Tamalea Tua, satu dari sekian banyak kampung tua di Bonehau yang masih berpenduduk. Jalan poros menciptakan imajinasi tentang kemakmuran dan akses mudah, yang merayu penduduk pelosok mengosongkan kampung mereka. Kini, penduduk Tamalea Tua, tersisa belasan keluarga.

Sungai Bonehau yang mengalir di belakang perkampungan acap kali menyebabkan banjir. Ketinggian Kampung Tamalea Tua dan sungai hanya sekitar 2-3 meter, di sebuah lembah sempit. Sebagian tempat bahkan hanya berpaut satu meter, dan garis genangan PLTA berhenti tak jauh dari perkampungan, pada ketinggian 70 mdpl. Jarak bendungan dan perkampungan terpisah 22 kilometer.

“Dulu pernah, tahun 2015 sampai pohon itu, tinggi banjir,” Antonius, menunjuk pohon palm setinggi dua meter. “Terendam ini kampung. Pakai perahu itu orang-orang.”

Pada warga Tamalea Tua, perusahaan mengklaim, bendungan telah dilengkapi pintu mekanis, terbuka kalau debit sungai meningkat. Saban bulan, perusahaan mengeruk sedimentasi buat mencegah pendangkalan dan menanam pepohonan di kawasan hulu.

Antonius memegang dokumen andal setebal Kamus Besar Bahasa Indonesia. Di halaman tertentu, Antonius melipat ujung kertas sebagai penanda. “Itu bagian yang saya terus pelajari,” katanya.

“Kalau PLTA membawa dampak buruk ke Tamalea Tua, kami tolak. Kami masih pelajari.”

Pada 17 Maret 2022, perwakilan tokoh masyarakat berkumpul di Kantor Camat Bonehau. Mereka menghadiri pertemuan Forum Kalumpang Raya, yang diinisiasi mahasiswa, tokoh adat, dan mantan legislator dari Kalumpang-Bonehau.

Di hadapan warga, utusan Forum Kalumpang Raya meluncurkan segala alasan kenapa warga harus menolak PLTA Karama. Dari ancaman penenggelaman kampung dan menghilangkan situs-situs nenek moyang mereka.

Tak ada perdebatan sengit. Yang datang dengan gampang menyatakan menolak, seperti warga dari kampung-kampung lain.

Hasrat Lukman, pengurus Kadin Sulbar menuduh aktivitas Forum Kalumpang Raya adalah upaya provokasi.

Sebetulnya, warga tidak menentang PLTA, sepanjang tidak membendung sungai. “Kalau itu untuk kepentingan umum, kami ini bukan umum? Kenapa kami harus jadi tumbal untuk kepentingan orang lain. Ini logikanya bagaimana?” ketus Eli Supayo.

 

Kawasan d Mamasa sekitar Sungai Mamasa yang akan dibangun bendungan. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Lembah Sungai Karama adalah tempat orang-orang Kalumpang-Bonehau berladang. Padi., jagung, nilam dan kakao. Ekosistem sungai menjaga kesuburan lahan mereka.

Kebun dan rumah pemilik berpisah jauh. Karena itu, perahu katinting adalah sarana transportasi utama. Kalau bendungan berdiri, banyak kebun karam, begitu pula milik Kasman.

“Lahan-lahan yang di pinggir sungai itu dibebaskan dengan ganti rugi,” kata Kasman.

“Seperti bagaimana ganti ruginya? Belum ada kejelasan. Saya sebenarnya tidak mau, tapi kalau yang lain terima, biar saya bawa parang, percuma.”

Ganti rugi bagai sebuah sihir. Setelah perusahaan sosialisasi, banyak warga berbondong-bondong membuka lahan di bantaran sungai. Di sekitar Popanga, tempat pertemuan Sungai Bonehau dan Karama bertemu, petak-petak kebun baru bermunculan. Mereka tak tahu, sebagian wilayah itu masuk hutan lindung. “Teman-teman di sini itu berkhayal terlalu tinggi akan ganti ruginya,” kata Imran Sekretaris Bonehau.

“Sebagian dari mereka menerima PLTA. Belum jelas juga dari pihak perusahaan. Baik itu tanah atau tanamannya. Dia tidak pikir mungkin, nasib keluarga kita yang tidak punya tanah akan kena dampak buruk ketika ini berdampak buruk.” (Bersambung)

 

 

Sungai Karama, yang akan dibendung dan jadi sumber air PLTA. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version