Mongabay.co.id

Kala Hutan Lindung di Kepri Terus Tergerus

 

 

 

 

Hutan lindung di pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau, terus beralih fungsi secara legal lewat izin pemerintah maupun ilegal. Hutan lindung berubah untuk berbagai keperluan atas nama pembangunan baik investasi maupun infrastruktur.

Di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, alih fungsi hutan lindung terjadi untuk bangun perpanjangan Bandara Raja Haji Abdullah (RHA) di Sei Bati. Medio Juli lalu Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, melakukan peninjauan lapangan.

Saat ini, Bandara RHA memiliki panjang runway 1.430 meter. Untuk pesawat berbadan besar minimal panjang runway 2.000 meter.

“Kita akan usahakan tahun ini, paling lama September nanti sudah bisa keluar izin pelepasannya, langsung jadi APL (alokasi penggunaan lain),” kata Dohong dalam rilis kepada media. Dia rapat terbatas bersama Gubernur Kepri Ansar Ahmad dan Bupati Karimun Aunur Rafiq di Kantor Bandara RHA.

Berdasarkan SK Nomor 76, tertanggal 6 Maret 2015, kawasan hutan lindung di area Bandara RHA seluas 38,29 hektar. Status kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan luas bernilai strategis (DPCLS). Untuk pengembangan bandara setidaknya seluas 14,8 hektar.

“Jika bandara ini besar akan menambah kewibawaan Karimun, kewibawaan Kepri bahkan Indonesia,” katanya.

 

Hutan mangrove ditimbun untuk pembangunan perumahan. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Ansar Ahmad mengatakan, Pemerintah Kepri alokasikan dana Rp10 miliar untuk membebaskan lahan warga terdampak pengembangan bandara. Dia akan mendorong pengembangan infrastruktur di setiap kabupaten dan kota di Kepri. “Untuk Karimun, salah satunya pengembangan bandara.”

Di Karimun untuk perluasan bandara, di Kota Batam, hutan lindung beralih fungsi secara ilegal untuk perumahan. Pembangunan perumahan banyak merusak hutan lindung. Berbagai macam modus dilakukan pengembang, seperti jadikan hutan lindung kaveling siap bangun.

Pengembang mengkaveling-kaveling tanah dengan iming-iming harga murah. Padahal, kawasan itu berada di hutan lindung.

Ada beberapa orang menyadari kalau kaveling itu bodong hingga mereka laporkan perusahaan pengembang dan proses hukum. Begitu juga ada sampai sekarang warga menuntut uang muka mereka kembali.

Sepanjang 2020, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap tiga kasus pembabatan hutan lindung bakau di pesisir Batam untuk jadi kavelingan. Lokasi di Kecamatan Nongsa dan sudah putus pengadilan sebagai kejahatan korporasi.

Kasus lain, Perumahan Arira Garden, di Kota Batam berada dalam hutan lindung setelah ditempati warga belasan tahun. Warga tahu perumahan di hutan lindung saat mau balik nama surat tanah. Sampai di BPN surat tak bisa balik nama karena berada di hutan lindung.

Setidaknya ada 300-an rumah di hutan lindung dari 700 unit. Hingga kini, persoalan belum selesai.

Isu ini mendapat perhatian DPR. DPR meminta KLHK melakukan langkah cepat penanganan pengalihan fungsi hutan lindung di Kota Batam.

“Yang kita lihat sekarang, seharusnya jadi resapan air, sekarang beralih fungsi menjadi pemukiman. Lambatnya penanganan persoalan lingkungan akan berakibat fatal,” kata Budisatrio Djiwandono, Wakil Ketua Komisi IV DPR dikutip dari situs resmi DPR.

Ada juga polemik hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepri. Pada 2021, ratusan warga terkejut dengan penetapan hutan lindung di pulau itu. Tiba-tiba petugas memasang patok kawasan jadi hutan lindung baru.

Masalahnya, hutan lindung yang baru itu berada di perkebunan warga, perumahan, jalan raya, hingga bangunan sekolah. Beberapa warga sudah memiliki surat tanah, bahkan mereka juga sudah membayar pajak sejak puluhan tahun lalu. Sekarang tiba-tiba menjadi hutan lindung.

 

Kota Batam dari atas udara. Pembangunan Bandara dan pembangunan perumahan membuat hutan terus berkurang. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Hentikan alih fungsi hutan

Azhari Hamid, Ketua Masyarakat Peduli Laut dan Lingkungan Hidup Indonesia (Mapell) meminta, pemerintah daerah maupun pusat segera menghentikan perusakan dan pengalihan fungsi hutan lindung, terutama di Kepulauan Riau.

Hutan lindung, katanya, sangat penting sebagai penopang keseimbangan alam agar tak terjadi bencana, abrasi, kerusakan biota laut, hingga longsor. “Hutan lindung adalah paru-paru kota,” katanya.

Wilayah Kepulauan Riau, banyak lautan hingga rawan terus mengubah fungsi hutan ke berbagai peruntukan. Pemerintah, katanya, perlu mengoptimalkan pengelolaan laut secara berkelanjutan. Data Pemerintah Kepri, potensi perikanan mencapai 1,1 juta ton, yang baru termanfaatkan 3.3%.

Hendrik, pendiri Akar Bhumi Indonesia mengatakan, pengelolaan hutan di Kepulauan Riau merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 soal Penyelenggaraan Kehutanan. Aturan itu, katanya, tak melihat geografis daerah pulau-pulau kecil di Kepri hingga alih fungsi fungsi hutan terjadi. “Aturan itu untuk Indonesia, tetapi Kepri bukan seperti daerah lain, ini banyak pulau-pulau kecil.”

Daerah kepulauan, kata Hendrik, perlu perlakuan khusus dalam tata kelola hutan karena daerah perlu kawasan resapan air, daya dukung kuat, dan lain-lain.

Dari pertemuan Akar Bhumi Indonesia dengan DPR beberapa waktu lalu membahas soal banyak sekelompok orang sengaja mengalihfungsikan hutan lindung untuk kepentingan pribadi. “Mestinya pengalihan fungsi hutan lindung di Kepri dikurangi atau ditiadakan.”

Daerah kepulauan, katanya, sangat rawan terdampak perubahan iklim, seperti hutan mangrove terbabat ilegal maupun legal. “Sekarang dampak belum terlalu terasa, tetapi berdampak besar ke depan.”

 

Hutan di Batam terbabat untuk pembangunan pelebaran jalan. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

********

 

 

Exit mobile version