Mongabay.co.id

Tanah di Sidoarjo Alami Penurunan, Penyebabnya?

Para korban lumpur lapindo menyambangi pemakaman kerabat mereka saat Ramadan lalu. Area pemakaman menjadi satu-satunya ‘penanda’ tersisa akan keberadaan desa mereka yang terkubur oleh lumpur.

Para korban lumpur lapindo menyambangi pemakaman kerabat mereka saat Ramadan lalu. Area pemakaman menjadi satu-satunya ‘penanda’ tersisa akan keberadaan desa mereka yang terkubur oleh lumpur.

 

 

 

 

Dalam empat tahun terakhir, terjadi penurunan tanah atau subsiden di sekitar pusat semburan lumpur Lapindo, di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Penurunan tanah pertama kali dikaji Josaphat Tetuko Sri Sumantyo 19 Mei 2006 sampai 14 Juli 2020.

Tetuko, merupakan Kepala Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), Chiba University, Jepang. Penelitian dengan satelit radar interferometry terhadap 29 desa yang mengalami penurunan tanah. Dampak penurunan menyebabkan banjir di permukiman penduduk.

Tim Geomatika Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) melanjutkan penelitian di tiga zona meliputi pusat semburan, area persawahan dan dua desa yakni Desa Kedungbanteng dan Banjarsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo.

Hasilnya, terjadi penurunan tanah secara ekstrem pada kuartal kedua 2018. “Monitoring kontinyu mulai Januari 2018 sampai Januari 2019. Permukaan tanah di Kedungbanteng dan Banjarasri turun sampai 60 centimeter,” kata Noorlaila Hayati, pengajar Teknik Geomatika ITS, dalam webinar Penuruan Tanah di Sidoarjo, Juli lalu.

Selain itu, terjadi pendangkalan sungai, aliran sungai tak mengalir normal saat hujan. Juga genangan terus-menerus selama berbulan-bulan sampai mengakibatkan halaman sekolah tergenang hingga siswa upacara di halaman sekolah penuh air.

“Dampak penurunan tanah terlihat jelas, rumah tinggal setengah. Pintu tinggal separuh, harus menunduk,” katanya.

Dampak langsung di kedua desa, sebanyak 306 rumah mengalami dampak penurunan ekstrem dengan kedalaman 40-60 centimeter.

 

Baca juga: 15 Tahun Lumpur Lapindo: Derita Warga Tak Berkesudahan

Permukaan tanah di Kedungbanteng dan Banjarasri turun sampai 60 centimeter.

 

Sedangkan 2011 bangunan mengalami penurunan tanah antara 10-30 senimeter. “Masih terjadi penurunan sampai sekarang. Perlu dikaji apakah struktur bangunan atau efek penurunan tanah,” katanya.

Indra Arifianto, pengajar teknik geologi Universitas Gadjahmada (UGM) menganalisis penurunan muka tanah di area Porong menggunakan metode Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR). Analisis sejak Agustus 2019 sampai April 2020.

Penurunan tanah terjadi sampai sekarang, katanya, menyebabkan kerusakan tanggul lumpur Lapindo, bangunan, dan infrastruktur serta banjir menahun.

Secara teori, katanya, tiga proses yang menyebabkan penurunan muka tanah yakni aktivitas lumpur keluar, volume hilang ke permukaan atau aktivitas fluida di bawah permukaan secara masif. Hasilnya, laju penurunan tanah di sekitar lapangan gas Wunut sedalam 15 sentimeter dan lapangan gas Tanggulangin 35 sentimeter serta pusat semburan lumpur.

Saat itu, katanya, PT Lapindo Brantas meningkatkan produksi gas bumi di empat lapangan di Wunut dan Tanggulangin. Lapangan Wunut dan Tanggulangin, gunakan reservoir vulkanik klastik pleistocene dengan kedalaman 200 meter sampai satu kilometer dan ketebalan 600 meter.

“Reservoir cukup tebal. Kondisi ini memenuhi kriteria penurunan tanah mungkin terjadi karena produksi fluida besar-besaran,” katanya.

Struktur lapangan Tanggulangin, dan pola laju penurunan tanah sangat mirip dengan bentukan struktur hingga menunjukkan ada hubungan antara penurunan tanah degan aktivitas produksi gas.

Indra merekomendasikan studi terkini yang terintegrasi terhadap penurunan tanah dan geomekanika batuan reservoir. Studi hidrogeologi dan geofisika dangkal dengan georadar atau geolistrik.

Untuk mengatasi banjir, dia rekomendasikan membuat sumur resapan di daerah terdampak di Porong dan sekitar.

 

Baca juga: Riset Sebut Lumpur Lapindo Sumbang Emisi Gas Metan Terbesar

Danau lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo dengan latar belakang Gunung Penanggungan. Hingga kini lumpur terus menyembur tanpa diketahui kapan akan berhenti.

 

Kerusakan dan kerugian

Adji Pamungkas, Kepala Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim dan Urban Planing ITS meneliti kerusakan dan kerugian atas penurunan tanah dan banjir di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri, Kecamatan Tanggulangin pada 2021. Dia bertemu dengan 298 pemilik bangunan terdampak penurunan tanah, 202 bangunan kosong, tak berpenghuni.

Nilai kerusakaan dan kerugian dihitung sesuai modul pengkajian kebutuhan pasca bencana (jitupasna), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Meliputi sektor permukiman, infrastruktur, ekonomi, sosial dan lintas sektor dengan kerusakan Rp73 miliar.

Rinciannya, kerusakan sektor ekonomi dari sub sektor pertanian dan perdagangan Rp3,3 miliar. Kerusakan sektor sosial sub sektor pendidikan, kesehatan dan peribadatan Rp15,7 miliar. Sektor permukiman Rp53,6 miliar. Kemudian kerusakan lintas sektor, yakni bangunan kantor desa Rp426 juta.

Kerugian ekonomi Rp1,8 miliar, permukiman Rp11,3 miliar, infrastruktur Rp13,7 miliar.

Sekitar 64% petani tak bisa bekerja saat banjir hingga total jenderal kerusakan dan kerugian penurunan tanah mencapai Rp99,4 miliar.

Dari jumlah itu, 65% atau Rp65 miliar ditangung individu. Dengan beban per keluarga Rp130 juta. “Jauh dari kemampuan Pemerintah Sidoarjo memulihkan dampak penurunan tanah,”katanya.

Dia menyarankan, disiapkan kedua desa menjadi permukiman tangguh, beradaptasi dengan penurunan tanah. Sekarang, katanya, masuk fase kedaruratan. Dengan begitu, pemerintah perlu bangun membangun infrasturtur kedaruratan seperti penyediaan sarana dan prasarana permikiman, jalan lingkungan, air minum, drainase pengendali banjir, pengelolaan air limbah, dan sarana pendidikan.

Baju Trihaksoro, Kepala Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya Jawa Timur mengatakan, semburan lumpur Lapindo sejak 29 Mei 2006 hingga kini masih berlangsung. Dempuran lumpur panas berdampak 1.810 rumah warga rusak, 18 bangunan sekolah, dua bangunan kantor, 30 pabrik terendam dan 15 mesjid dan musala rusak.

Sedangkan penurunan tanah menyebabkan di sejumlah titik genangan air mencapai 50 centimeter. Genangan juga menimbulkan sarang nyamuk, berpotensi demam berdarah dan diare. Sejumlah infrastruktur ambles dan berubah. “Berdampak ekonomi dan sosial, kualitas hidup menurun,” kata Baju.

Untuk mengendalikan penurunan tanah perlu beberapa langkah, seperti, batasi penggunaan air bawah tanah, mengendalikan pembangunan infratsruktur dan mengendalikan perizinan pengeboran gas bumi.

“Sekarang masih berlangsung, harus dikendalikan.”

 

Maduri, salah satu warga korban lumpur Lapindo memilah batu bata di bekas bangunan SDN Besuki.

 

Setop eksploitasi gas alam di Sidoarjo

Andang Bachtiar, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penghasil Migas dan Energi Terbarukan, mengatakan, dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sidoarjo 2021 sebesar Rp5, 3 triliun, dari sumbangan bagi hasil migas Rp22 miliar.

Dari empat lapangan gas yang beroperasi sejak 2016, produksi gas 1,8 juta MMBtu (metric million British thermal unit) bagi hasil daerah Rp4,3 miliar. Pada 2017, produksi 3,2 juta MMBtu bagi hasil Rp4,1 miliar, 2018 produksi 3,2 juta MMBtu penghasilan Rp5,3 miliar. Kemudian, 2019 sebanyak 5,3 juta MMBtu menghasilkan Rp15 miliar, dan 2020 produksi 967.000 MMBtu penghasilan Rp22,5 miliar.

Kalau melihat pendapatan bagi hasil migas, kata Andang, tak sebanding dengan kerugian masyarakat sekitar. Dia merekomendasikan setop eksploitasi gas lima tahun untuk lanjut penelitian subsiden di lapangan gas.

“Tiga tahun kedaruratan gak cucuk (tidak sebanding) dengan yang dihasilkan,” katanya.

Rakyat, katanya, sudah sengsara dan jadi korban. Untuk itu, perlu penelitian lanjutan, dengan melibatkan Pemerintah Jawa Timur, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

Eko Teguh Paripurno, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Veteran Yogyakarta, meminta, setop eksploitasi gas di Sidoarjo. Tujuannya, mencegah amblesan tanah tak makin buruk. Selama ini, tak pernah kajian risiko eksplorasi sumber daya alam termasuk kaitan bencana ekologis.

“Risiko penurunan tanah tidak diukur dan dihitung. Tidak pernah upaya kontingensi terhadap risiko, terkesan seolah-olah risiko tidak akan ada,” katanya.

Jangan sampai, kata Eko, warga sekitar proyek menjadi pembayar risiko bencana atas eksploitasi migas.

Abdullah Al Kudus, Ketua GUSDURian Peduli mengatakan, perlu mitigasi dampak buruk atas penurunan tanah di Sidaorjo. Apalagi sampai saat ini, lumpur Lapindo masih terus menyembur. “Sedangkan kesiapan menghadapi dampak penurunan tanah masih minim,” katanya.

Wawan dari Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, menerima laporan penurunan tanah di Kecamatan Tanggulangin pada 2019. Bada Geologi akan melakukan kajian tahun depan, dengan mempertimbangkan kondisi geologi permukaan dan bawah permukaan.

“Pengukuran, pemetaan dan pemantauan penurunan tanah dilakukan untuk menilai bahaya atau dampak penurunan tanah. Pelu kajian bersama mitigasi.”

Amien Widodo, pakar geologi ITS, bilang, telah mengirimkan surat kepada Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indarparawansa soal penurunan tanah di Kedungbanteng, Banjarasri, dan Tanggulangin. Sampai saat ini tak ada tindaklanjut.

Gak ngefek (tidak ada efek). Masa’ menunggu lebih besar dampaknya?”

ITS melakukan kajian menyeluruh, katanya, setelah ramai beredar video siswa SD Negeri Banjarasri menggelar upacara di halaman sekolah yang tergenang. Hingga kini, monitoring terus menerus. “ITS siap berkolaborasi. Segera aksi mencegah bencana lebih besar.”

 

Memandangi kampung mereka yang hilang karena lumpur Lapindo…Foto: A Asnawi/ Mongabay Indonesiaz

 

*******

Exit mobile version