Mongabay.co.id

Hutan Mangrove Teluk Ambon Memprihatinkan

 

 

 

Mangrove di pesisir Pantai Poka, Teluk Ambon, Maluku, tampak mengering dan nyaris mati. Dugaan sementara dampak tercemar limbah pembangkit diesel PT PLN Persero Cabang Ambon. Warga resah. Belasan pemuda di Ambon yang tergabung dalam Komunitas Kalesang Pulau atau Peduli Pulau pun protes dengan mendatangi kawasan mangrove di pesisir Desa Poka yang rusak penghujung Juli lalu. Mereka juga lakukan aksi bersih-bersih sampah.

Komunitas Kalesang ini antara lain terdiri dari organisasi lingkungan maupun pegiat lingkungan seperti Moluccas Coastal Care (MCC), Jala Ina, Papua Study Center (PSC), peneliti , sampai jurnalis lingkungan.

Pantauan Mongabay, di kawasan mangrove pesisir Poka, terlihat puluhan mangrove sudah mengering. Sebagian nyaris mati, tak terlihat daun pada ranting pohon itu. Air laut juga bercampur tanah lumpur, sekitar mangrove juga terlihat berminyak. Juga bau menyengat diduga minyak solar terlebih saat air laut mulai pasang.

Jusuf Sangadji, pegiat lingkungan Kalesang Pulau mengatakan aksi mereka ini bagian dari kepedulian atas lingkungan, terutama kondisi hutan mangrove di Teluk Ambon.

“Kita resah karena mangrove mengering. Tiba-tiba mengering. Itu karena apa? Tidak mungkin kalau tidak tercemar limbah,” katanya.

Dia menduga pohon mengering karena tumpahan bahan bakar limbah dari PLTD Poka. “Tidak diteliti di lab juga orang sudah bisa tahu, ini tumpahan minyak.”

Dia berharap, PLN Maluku dan Maluku Utara bisa segera memperbaiki kerusakan tanaman mangrove yang mengering dan mati itu.

Daniel Pelasulla, peneliti LIPI/BRIN Ambon mengatakan, mangrove mati ini harus jadi kejadian luar biasa. Pemerintah dan PLN, katanya, harus mencari solusi menyelamatkan mangrove-mangrove ini.

“Mungkin kalau diselamatkan hanya 10%, karena yang lain ini sudah tidak mungkin lagi karena sudah terlalu parah, dan over pencemarannya,” katanya.

 

Suasana pesisir Pantai Poka, Ambon. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Dia prihatin dengan hutan mangrove di Teluk Ambon yang makin hari mengalami terdegradasi karena alih fungsi lahan maupun pencemaran.

Berdasarkan riset First Rumahuni pada 1998, sebagian Teluk Ambon dalam dan luar, luas hutan mangrove sekitar 49 hektar. Pada 2008, luas makin berkurang karena kepentingan pembangunan.

“Pembangunan talud, misal, swasta ada bangun kafe atau rumah makan dan pemukiman lahan. Itulah terjadi degradasi ekosistem itu turun sampai tersisa 33 hektar.”

Belakangan ada upaya rehabilitasi mangrove dan terumbu karang oleh berbagai pihak, baik organisasi masyarakat sipil maupun pemerintah hingga luasan naik jadi 39 hektar.

Dia berharap, hutan mangrove tersisa bisa jadi menjadi kebun raya mangrove Teluk Ambon.

“Kafe-kafe akan tumbuh, dan tidak lagi sampah di laut, karena kesadaran mereka menjaga. Sektor ekonomi tumbuh akan menarik banyak tenaga kerja disitu akan memberikan kontribusi sisi ekonomi.”

Willem Talakua, peneliti valuasi ekonomi ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir pantai Kota Ambon dalam penelitiannya menuliskan, luasan hutan mangrove pesisir Pantai Kota Ambon mencapai 64,32. Ia tersebar di negeri atau Desa Laha, Tawiri, Poka, Hunut, Waiheru, Nania, Passo, Lama, Lateri, Latta, Halong, Rutong dan Leahari.

Vegetasi mangrove terkonsentrasi di pesisir pantai Negeri Laha dan Tawiri jenis Sonneratia alba, Avicenia marina, Rhizophora stylosa, R.mucronata dan Bruguiera. Di pesisir perairan pantai Desa Poka jenis Sonneratia alba, Aviceniamarina, Rhizophorastylosa, R.mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Lumnitzeralittorea, dan Ceriopstagal.

Keberadaan hutan mangrove ini selain memberikan manfaat fisik dan ekonomi juga manfaat biologis sebagai penyedia pakan (feeding ground) dalam sistem rantai makanan. Kondisi ini, sebut riset itu, terlihat dari banyaknya kegiatan penangkapan ikan atau bameti dan balobe masyarakat.

Di kawasan mangrove itu dijumpai pula beberapa biota seperti kepiting bakau, rajungan, dan udang windu. Juga ada beberapa spesies moluska, seperti kerang dara, dan tiram bakau dan Crassostreasp.

 

Pepohonan di hutan mangrove di Poka, Ambon, mengering. Foto: Crist Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Pipa bocor

Limbah BBM yang tumpah ke Teluk Ambon karena terjadi kebocoran pipa pembangkit PLN buntut pembangunan jembatan oleh Balai Jalan dan Jembatan Nasional Wilayah Maluku dan Maluku Utara. Saat alat berat lakukan pengerukan terkena pipa.

PLN pun berupaya menetralisir dampak tumpahan BBM itu. Petugas PLN bolak-balik menyiram cairan untuk menetralisir tumpahan minyak di sekitar kawasan mangrove itu.

Sejumlah mobil penampung air bolak-balik menyemprot kawasan mangrove. Petugas mengarahkan selang air menyemprot pepohonan, dan tanah berlumpur yang diduga tercampur limbah.

“Kita semprot dulu limbah yang mengendap agar minyak bisa terurai lagi dari tanah berlumpur itu.”

“Sudah terjadi, dan Komunitas Kalesang Pulau, bersama karyawan PLN sudah melakukan proses pembersihan sampah, merupakan sampah kiriman dan yang sengaja dibuang,” kata Daniel.

Sementara Bodewin Wattimena, Penjabat Walikota Ambon, saat dikonfirmasi Mongabay mengatakan, sudah meninjau ke lokasi dan koordinasi dengan PLN maupun Pertamina.

“Saya sudah perintahkan Kadis Lingkungan Hidup peninjauan dan koordinasi dengan PLN dan Pertamina.”

Alfredo Hehamahua, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Ambon, langsung turun lokasi.

“Kami minta mereka sendiri ambil sampel. Uji sampel di lembaga terakreditasi. Setelah selesai pengujian, hasil kirim kepada kami.”

 

PLTD yang berada di pesisir Poka, Ambon. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

 

Banyak sampah  

Sampah juga jadi persoalan di Teluk Ambon. Terlihat sampah berserakan di sekitaran pesisir Desa Poka ini. Berbagai jenis sampah terlihat, dari sampah plastik dan kayu. Kawasan mangrove ini hanya berjarak 20 meter dari PLTD, hanya terpisah jalan raya.

Kalesang Pulau juga aksi bersih sampah di sekitar pesisir Pantai Poka ini sebagai bentuk protes. Jusuf vbilang, persoalan sampah, harus jadi perhatian karena sangat berdampak bagi keberlangsungan hutan mangrove di sana.

Alfredo berharap, PLTD bisa membantu pemerintah memerangi sampah. “Mereka akan membantu teman-teman aktivis Kalesang Pulau ini dengan menyumbang truk pengangkut sampah untuk dibuang ke TPA Wayori Passo,”katanya.

Pengelola PLTD juga berjanji membantu pemerintah mengurangi sampah di sekitar pesisir pantai dengan melakukan pembersihan setiap Jumat.

Menurut Daniel, penanganan juga jadi masalah di pesisir Teluk Ambon. Untuk itu, perlu kolaborasi semua pihak dari pemerintah, swasta, aktivis lingkungan hingga masyarakat untuk bersama-sama terlibat memerangi sampah ini.

Dia menyebut, kepadatan sampah domestik terutama sampah plastik di Teluk Ambon bagian dalam mengalami peningkatan dalam 20 tahun terakhir.

Hasil penelitian sejak 1995 menunjukkan, ada akumulasi sampah domestik cukup besar di Teluk Ambon. Sedangkan penelitian  LIPI 2017 menemukan, kepadatan sampah domestik, terutama plastik mengalami peningkatan selama 20 tahun terakhir. Penelitian itu juga mengkaji banyak sampah terapung di beberapa lokasi di Teluk Ambon. Kelimpahan terbesar berada di wilayah dekat Pasar Mardika dan Galala, dengan lebih 51 jenis.

Presentase kelimpahan sampah di delapan lokasi pantai di Teluk Ambon, terbanyak di Desa Poka (47,42%), Hative (17,04%), Kate-Kate (11,73%), Waiheru (9,28%), Tawiri (6,9%), Lateri (4,34%), Halong (2,49%) dan Desa Passo (0,78%).

Peningkatan kepadatan sampah dan limbah mengakibatkan ledakan alga berbahaya di Teluk Ambon. Dinamika ledakan alga jenis Pyrodinium  bahamense pernah mencapai lebih dari 10 juta sel per liter.

Non-toxic alga Gonyaulax spp pernah meledak di Teluk Ambon bagian dalam pada 2019 dan 2020,” kata Daniel.

Selain itu, ada 29 sungai besar dan kecil yang bermuara di Teluk Ambon, 19 sungai antara lain berada di pemukiman padat penduduk dan sangat berpengaruh karena membawa sedimentasi, minyak dan sampah, termasuk limbah rumah tangga.

Peningkatan kepadatan sampah domestik di Teluk Ambon, diduga karena kebiasaan masyarakat membuang sampah ke sungai, kemudian terbawa arus dan bermuara di teluk.

“Sungai-sungai yang berada pada pemukiman padat dimanfaatkan masyarakat untuk membuang limbah, missal, kawasan Desa Poka, Air Putri, Batu Capeo, Batu Gajah, Skip, Batu Merah, Tantui, Galala, Passo, Wailela, serta Wayame,” ujar Daniel.

Kondisi penumpukan sampah di Laut Teluk Ambon, kata Peneliti BRIN Ambon ini cukup mengkhawatirkan. Pelasula menyebutkan, kecepatan laju sedimentasi di Teluk Ambon Bagian Dalam sebesar 2,4 centimeter per tahun atau sekitar enam kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Angka itu, katanya, harus jadi lampu merah bagi pemerintah.

Kecepatan laju sedimentasi pada 1987-1996 sebesar 5,95 milimeter atau 0,6 centimeter per tahun, naik jadi 2,4 centimeter per tahun atau sekitar enam kali lipat pada 2008.

Sedangkan luas dan sebaran sedimentasi di Teluk Ambon pada 1994 sebesar 102,6 hektar bertambah menjadi 168,1 hektar pada 2007, terus bertambah di beberapa lokasi, seperti Pandan Kasturi, Tantui, Galala dan Hative Besar.

“Sebaran sedimentasi di Galala dan Tantui tahun 2018 sudah bertambah menjadi 18,96 hektar. Ini cukup mengkhawatirkan.”

Ambon merupakan pulau kecil bergunung dan berbukit dengan kemiringan lereng curam dan dataran sangat sedikit. Pembukaan lahan baru untuk pemukiman di dataran tinggi berakibat pada degradasi ekosistem dan vegetasi Teluk Ambon, salah satu sampak terjadi sedimentasi.

Perubahan area lahan terbuka dua mil dari garis pantai Teluk Ambon yang terpantau pada Oktober 1972 hanya sebesar 31,2 hektar berubah menjadi 51,3 hektar pada Oktober 1988. Kemudian naik menjadi 124,6 hektar pada April 1990 dan 103,0 hektar pada November 1993, dan meningkat tajam jadi 714,2 hektar pada Januari 1998.

Perubahan lahan terbuka untuk kebutuhan pemukiman lebih kecil Maret 2001, hanya 24,6 hektar karena banyak orang keluar dan pindah dari Ambon akibat konflik 1999-2000.

 

Kondisi hutan mangrove dengan perairan Poka, Ambon penuh sampah . Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

*****

Exit mobile version