Mongabay.co.id

Mengurai Polemik di Kolam Dugong (2)

 

Kedekatan warga Desa Arakan, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara dengan dugong (Dugong dugon) bukannya tanpa masalah. Secara historis dan interaksional, terdapat beberapa peristiwa yang diyakini menjadi faktor penyebab menurunnya populasi mamalia laut itu di habitat alaminya.

Di masa lampau, dugong sempat menjadi satwa target buruan. Beberapa bagian tubuhnya dipercaya dapat menjadi obat, penangkal penyakit hingga ornamen-ornamen pemuas hasrat sejumlah kelompok.

Samae (76 tahun), ketika remaja sering menyaksikan orang-orang dari luar desa menggunakan bom di sekitar Kolam Dugong. Mereka mengambil beberapa bagian tubuh dugong yang kedapatan mati, lalu meninggalkan tubuhnya untuk menjadi lauk konsumsi warga setempat.

“Mereka cuma ambil dugong dewasa, anakan tidak. Karena mereka perlu taring giginya, mungkin untuk penangkal penyakit dan pipa rokok. Dagingnya mereka tidak ambil, diberikan pada orang kampung,” ujar Samae saat ditemui pertengahan Mei lalu.

Peristiwa lain yang menandai problematika kedekatan dengan dugong adalah pengalaman Sabtu Kaser memelihara dua ekor spesies tersebut, sekitar tahun 1991. Kedua dugong itu diberi nama Jamila, yang berukuran 1,25 meter, dan Abdulah, 2 meter. Di selang waktu berdekatan, dugong-dugong tadi terperangkap alat tangkap sero milik Sabtu Kaser, serta seorang nelayan Desa Wawontulap.

Atas izin Hukum Tua (Kepala Desa) waktu itu, Sabtu membatasi pergerakan dugong dalam lingkar jaring seluas 100×100 meter. Tindakan itu dipercaya dapat menarik minat wisatawan untuk datang ke desanya. Sekitar 3 bulan dugong-dugong tadi hidup di perairan seluas 100×100 meter, sebelum beberapa pihak meminta Sabtu melepaskannya.

“Saya lepas karena sudah 3 bulan, sudah cukup untuk promosi (wisata). Sekarang sudah tidak pelihara karena sudah dilarang,” kenang Sabtu.

baca : Duyung dalam Kisah Nelayan Arakan Minahasa Selatan (1)

 

Ilustrasi. Dugong yang kita kenal juga dengan nama duyung. Foto: Pixabay/Public Domain/dietmaha

 

Melalui peristiwa itu, banyak orang menyebut Sabtu Kaser dengan nama ‘Pak Dugong’ atau sebutan yang menunjukkan kepakaran, ‘Pawang Dugong’. Di kemudian hari, kedua sebutan tadi semakin diperkuat oleh aktivitas Sabtu yang sangat berbeda, yakni mendampingi peneliti dan wisatawan ke habitat dugong, serta menceritakan kepercayaan Bajo-Arakan mengenai mamalia laut tersebut.

Keterancaman hidup spesies dugong mendorong sejumlah lembaga mengupayakan perlindungannya. Daftar merah IUCN memberi status vulnerable (rentan) untuk spesies ini. Status konservasi itu, kemudian ditindaklanjuti CITES dengan mengkategorikan dugong dalam Apendiks I. Artinya, sebagian atau seluruh bagian tubuhnya dilarang diperdagangkan dalam bentuk apapun.

Di Indonesia, pemerintah menetapkan dugong sebagai satwa dilindungi, salah satunya dalam Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Pasal 21 ayat (2) undang-undang itu melarang tiap orang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup maupun mati. Larangan itu juga berlaku pada seluruh atau sebagian tubuh dugong.

 

Semakin Sulit Menjumpai Dugong

Meski belum pernah ada data akurat mengenai jumlah populasi dugong di Kolam Dugong, namun saat ini nelayan Desa Arakan semakin jarang menjumpai kehadiran spesies tersebut. Ada dua kemungkinan yang dipercaya menjadi penyebab sulitnya menjumpai dugong di habitatnya: penurunan populasi atau memilih habitat lain yang lebih layak ditinggali.

Penilaian itu didasari semakin jarang perjumpaan dengan dugong di lokasi favoritnya. Nelayan juga menyaksikan penurunan jumlah individu dalam tiap perjumpaan. “Sekarang, sekali bertemu hanya satu atau dua ekor, dulu masih banyak sampai tiga atau empat ekor,” jelas Mubin Machmud, nelayan Desa Arakan.

Meski demikian, ia menilai, istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan fenomena tersebut adalah persebaran atau migrasi populasi. Dugong dipercaya hanya meninggalkan Kolam Dugong untuk pindah ke tempat lain. Sebab habitat Kolam Dugong telah dipadati aktivitas penangkapan ikan dan bunyi mesin perahu.

“Kalau dulu (dugong) fokus di lokasi Kolam Duyung karena memang itu depe tempat bermain, berkembang biak, cari makan di situ. Tapi sekarang, mungkin, terganggu aktivitas nelayan. Sudah banyak yang mencari ikan di situ, dia (dugong) so ke mana-mana. Tapi memang (dugong) masih banyak,” lanjut Mubin.

baca juga : Kisah Pilu Evakuasi Duyung di Sulawesi Utara

 

Peta Batimetri Kolam Dugong. Sumber : Perkumpulan Kelola

 

Dalam rentang Juni 2021 hingga Februari 2022, tim Perkumpulan Kelola melibatkan nelayan Desa Arakan dalam proses pembuatan film maupun pencatatan populasi dugong di Kolam Dugong. Pelibatan itu bertujuan memverifikasi keterangan nelayan soal habitat dugong, jalur lintasnya dan frekuensi perjumpaan. Dari total 13 kali pemantauan, mereka hanya menyaksikan kemunculan dugong sebanyak 5 kali, dengan jumlah satu ekor tiap perjumpaan.

“Habitat dugong itu berada di perairan dekat terumbu karang, sementara penangkapan ikan juga banyak dilakukan di wilayah perairan yang sama. Sehingga, interaksi (antara nelayan dengan dugong) selalu terjadi di wilayah tersebut,” ujar Decky Tiwow, Program Manajer Perkumpulan Kelola.

Mayoritas nelayan Desa Arakan diketahui menjadikan area terumbu karang sebagai wilayah penangkapan utamanya. Penilaian itu didasari penamaan lokal sejumlah titik penangkapan ikan oleh nelayan Desa Arakan yang teridentifikasi sebanyak 27 titik, sedangkan lokasi penangkapan ikan pelagis hanya 2 titik.

Genman Hasibuan, Kepala Balai Taman Nasional (TN) Bunaken menjelaskan, wilayah perairan TN Bunaken merupakan lokasi yang kaya akan sumber daya perikanan yang menguntungkan nelayan sekitar.

Namun, konsentrasi penangkapan hanya pada satu titik diyakini menjadi sebab berkurangnya populasi dugong di habitatnya. Dia menyebut situasi ini sebagai “konflik kepentingan” antara ekonomi nelayan dan populasi dugong.

“Konfliknya di sini ada tumpang-tindih, tumpang-susun, antara lokasi penangkapan ikan dengan habitat dugong. Karena berada dalam suatu tempat yang bersamaan, dugong itu merasa tersisih, habitatnya terganggu dan kemungkinan saja dugong pergi dari situ,” ujar Genman.

baca juga : Air Mata Dugong Hanya Mitos, Hentikan Perburuan

 

Kondisi bawah laut Kolam Dugong, bagian Selatan Taman Nasional Bunaken. Foto : Perkumpulan Kelola

 

Disamping konflik kepentingan, keberlanjutan hidup dugong sangat dipengaruhi oleh kualitas lamun. Rusaknya suatu habitat lamun, sangat mungkin menjadi faktor pendorong penurunan populasi dugong. Pada sisi lain, lamun yang sehat akan memberi ketersediaan pangan yang baik bagi keberlanjutan hidup dugong.

“Ketika lamunnya rusak, dugongnya akan berkurang, mungkin karena migrasi atau mencari tempat baru, yang kondisi lamunnya lebih bagus, atau dia akan mati karena kurangnya asupan makanan,” jelas Muhammad Yasir Sakita, Koordinator Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar wilayah kerja Manado.

 

Strategi Perlindungan Dugong

Upaya melestarikan dugong perlu melibatkan banyak pihak, dan dilakukan dengan berbagai cara. Tujuan utamanya, agar pelestarian dugong dan keberlanjutan ekonomi masyarakat setempat dapat terjamin secara bersamaan.

Genman Hasibuan, Kepala Balai TN Bunaken menerangkan, terdapat empat strategi perlindungan ekosisten di kawasan itu. Pertama, pendekatan preemtif atau pemberdayaan perekonomian di desa penyangga dengan melibatkan nelayan. Kedua, persuasif, yakni mensosialisasikan keanekaragaman hayati TN Bunaken. Ketiga, preventif, yaitu berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk melibatkan masyarakat lokal sebagai kader konservasi. Keempat, represif atau pendekatan hukum.

“Jadi empat kelompok kegiatan yang saya jelaskan tadi, baik secara langsung maupun tidak langsung, kami lakukan setiap tahun. Karena memang itu mandat yang ditugaskan TN Bunaken, yakni melakukan perlindungan sistem penyangga kehidupan,” terangnya.

Di samping empat pendekatan tadi, Genman menawarkan konsep Zona Perlindungan Bahari sebagai upaya melindungi habitat Kolam Dugong. Melalui konsep tersebut wilayah-wilayah yang teridentifikasi sebagai habitat dugong akan diproteksi untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Penetapan Zona Perlindungan Bahari dipercaya sebagai cara untuk mendamaikan konflik kepentingan antara manusia dengan dugong.

“Dalam sisi penataan zonasi, lokasi yang merupakan habitat dugong itu sendiri kami upayakan menjadi zona perlindungan bahari. Artinya, hanya kegiatan-kegiatan yang bisa bersinergi dengan keberadaan spesies itu (dugong) yang bisa dilakukan,” terang Genman.

baca juga : Bangkai Dugong Diambil untuk Obat Tradisional, Ini Penjelasan PSPL Sorong

 

Ilustrasi. Seekor duyung (Dugong dugon) sedang memakan lamun di perairan Filipina. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Muhammad Yasir Sakita, Koordinator BPSPL Makassar wilayah kerja Manado mengungkapkan, strategi awal yang penting dilakukan dalam upaya perlindungan dugong adalah menyediakan data dan informasi terkait habitat dan populasi dugong.

Ketersediaan data itu dapat menjadi tolak ukur untuk menyusun rencana pengelolaan perlindungan dugong. Selanjutnya, mengusahakan perlindungan habitat dugong sebagai kawasan konservasi perairan. “Jadi, secara fungsi konsep perlindungan itu disamping melindungi dugong, juga menjadi zona yang bisa melindungi habitat, khususnya ekosistem lamun,” kata Yasir.

Dia memandang penyadartahuan masyarakat menjadi salah satu strategi penting. Melaluinya masyarakat akan memperoleh pengetahuan terkait status konservasi, serta perlindungan hukum terhadap spesies ini. Sehingga, dalam teknis pengelolaannya, strategi perlindungan dugong dapat dijalankan dengan konsep-konsep yang berkaitan dengan kearifan lokal.

“Yang terakhir adalah masalah penegakkan hukum, karena banyak kasus yang kita temukan di lapangan, tapi dari sisi penegakkan hukumnya masih kurang,” katanya.

Rignolda Djamaluddin, Direktur Perkumpulan Kelola menjelaskan, konsep perlindungan dugong berbasis masyarakat yang ditawarkan adalah kemandirian masyarakat untuk mengatur diri dan lingkungan hidupnya, baik dalam bentuk mengurangi tekanan di Kolam Dugong maupun penyusunan konsep ekowisata.

Menurutnya, ekowisata yang akan diterapkan di wilayah Kolam Dugong seharusnya menghadirkan kenyamanan dan keamanan bagi populasi dugong di perairan tersebut. Dengan mengurangi tekanan di habitat dugong, masyarakat berpeluang memperoleh manfaat ekonomi dari keberlangsungan ekowisata di masa depan.

“Jadi konsep kami adalah membicarakan dengan masyarakat untuk mengatur (habitat dugong). Edukasi yang dibawa sekarang, mungkin akan dipahami ke depannya. Manfaat ekonominya lewat pengembangan ekowisata di sana,” terang Rignolda. “Dugong itu tidak selalu ada di kawasan konservasi. Perlindungannya adalah perlindungan spesies. Kita hanya perlu atur habitat dugong menjadi lebih nyaman dan aman. Itu yang dibicarakan dengan warga.”

baca juga : Padang Lamun di Teluk Bogam, Rumah Makan Kawanan Dugong

 

Ilustrasi. Seekor duyung (Dugong dugon) sedang mencari makan dengan mangaduk padang lamun di dasar perairan pesisir. Seorang penyelam mengabadikan momen itu. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Sejak April 2021 hingga Mei 2022, Perkumpulan Kelola menyelenggarakan program bertajuk “Penguatan Praktik Pengelolaan Perikanan Skala Kecil yang Berkelanjutan dalam Rangka Menjaga Habitat Dugong di Sulawesi Utara”. Program ini terselenggara atas dukungan CEPF (Critical Ecosystem Partnership Fund atau Dana Kemitraan Ekosistem Kritis) dan Burung Indonesia, sebagai Tim Pelaksana Daerah.

Empat desa pesisir di wilayah TN Bunaken ditetapkan sebagai lokasi program, yakni Arakan, Rap-Rap dan Poopoh (bagian selatan TN Bunaken), serta Mantehage I Bango (bagian utara TN Bunaken).

Melalui program tersebut, Perkumpulan Kelola menyelenggarakan kajian sosial maupun sumber daya di wilayah perairan TN Bunaken, juga kegiatan yang berfokus pada perlindungan dugong serta pengembangan ekonomi masyarakat lokal. Kegiatan lain yang dilakukan dalam program ini adalah penyebarluasan informasi terkait aksi-aksi perlindungan dugong melalui media sosial maupun forum-forum akademik.

Kegiatan-kegiatan tadi diharapkan berkontribusi menjaga keberlanjutan hidup spesies dugong dan ketahanan ekonomi masyarakat setempat. Sehingga, aktivitas nelayan dan perlindungan spesies dugong dapat berlangsung secara beriringan. Bukan beririsan.

 

Exit mobile version