Mongabay.co.id

Orang Talang Durian Cacar Berupaya Pertahankan Hutan Keramat

 

 

 

 

Patih Majuan dan Datuk Manti pakai peci hitam. Datuk Mangku, dengan pengikat kepala handuk kecil. Ketiganya menempelken kedua telapak tangan atau menyusun 10 jari di depan dada. Mereka memberi hormat sebelum masuk ke hutan. Yang lain mengikuti dari belakang.

Beberapa langkah kemudian, rombongan berkumpul di lokasi seluas separuh lapangan futsal. Empat sudut ditandai dengan batu menyerupai nisan, tetapi bukan kuburan berkeliling pepohonan. Jelang tengah hari tetapi udara sejuk, nyaris tak kena sinar matahari.

Manti memerun potongan kayu, ranting dan beberapa lembar daun yang masih agak lembab untuk menyulut api. Tak berapa lama, bara ditempatkan di piring kecil berlapis pasir. Dia membawa ke atas pendopo kecil, lalu menabur kemenyan. Asap kecil mengepul.

Bau khas getah kering pohon itu pun menyerbak di hidung. Manti mengasapi kedua telapak tanggan, lalu mengusap muka, lengan hingga kaki. Bibir komat kamit, membaca mantra.

“Kami permisi. Minta izin berkunjung ke sini. Mohon maaf kalau ada berbuat salah,” kata Datuk Manti di ujung ritualnya.

Setelah itu, lanjut gotong royong membersihkan dedaunan berserakan di lapangan dengan beberapa patahan ranting kayu. Tempat ini adalah Hutan Keramat Penyabungan—merujuk nama sungai di dalamnya. Ia anak Sungai Ekok yang terhubung ke Sungai Batang Cenaku dan mengalir sampai ke Sungai Indragiri. Luas hutan tersisa lebihsekitar dua hektar. Lokasi itu juga disebut tanah toha, yang diyakini sebagai asal muasal nenek moyang orang Talang Durian Cacar, bagian dari Masyarakat Adat Talang Mamak.

Para pemangku adat Talang Durian Cacar, menganggap hutan keramat itu sebagai leluhur. Sampai saat ini, mereka wajib mengunjungi sekali setahun, menjelang hari raya Idul Adha.

 

Baca juga: Orang Talang Mamak, Bertahan Hidup di Hutan Tersisa

Orang Talang Durian Cacar , dulu bergantung hidup dengan hutan dan berladang, kini sebagian jadi petani sawit. Sekeliling wilayah adat mereka perkebunan sawit skala besar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Mereka bawa sesajian, seperti pulut kuning, teluar ayam mentah maupun yang masak, juga ayam panggang. Dilengkapi bertih padi, beras kunyit, sirih, bunga tujuh macam atau bangso, kopi dan rokok. Kunjungan ke hutan keramat selalu mulai dengan bakar kemenyan, yang diyakini untuk memanggil para leluhur.

Setelah menyerahkan sesajian, kemudian meninggalkan di lapangan, warga pulang ke rumah, tempat awal berkumpul sebelum bertolak ke hutan. Lanjut makan bersama di sana. Kebiasaan itu sebelum masyarakat berkunjung ke Kerajaan Indragiri. Biasa dua hari jelang 10 Dzulhijjah.

Kerajaan Indragiri, satu kerajaan Melayu di Riau. Sekarang, dipimpin Yang Mulia Tengku Parameswara. Istana berdiri di Kampung Dagang, Rengat, ibu kota Kabupaten Indragiri Hulu. Saat berkunjung, Masyarakat Adat Talang Mamak membawa ragam hasil pertanian untuk mereka masak dan makan bersama sultan.

“Ritual itu sebagai permintaan pada leluhur agar menjaga kami selama perjalanan menuju kerajaan. Artinya, supaya tak ada yang mengganggu dan halangan ataupun rintangan,” kata Patih Majuan, pucuk pimpinan di Talang Mamak.

Selain jelang hari raya kurban, Masyarakat Talang Durian Cacar juga rutin membuat ritual serupa pada bulan puasa. Mereka cukup lakukan di halaman rumah. Isi sesajian sama dan ditutup makan bersama. Ritual ini dipimpin Datuk Manti yang juga bertanggungjawab terhadap hutan keramat.

Ada dua hutan keramat di wilayah adat Talang Durian Cacar. Penyabungan dan Sungai Tunu. Tunu juga diyakini tanah toha. Bedanya, hutan keramat ini tidak mesti dikunjungi tiap tahun. Paling tidak, kata Mangku, sekali dalam tiga tahun, atawa ketika ada masalah besar di kampung.

Prosesi adat atau ritual juga serupa. Bedanya, ketika ada pemotongan kambing harus dilakukan di hutan keramat Sungai Tunu.

Untuk pemotongan ayam cukup di hutan keramat Sungai Penyabungan. Pemotong hewan, katanya, diadakan karena seseorang punya hajat ketika sakit dan ditunaikan setelah sembuh.

Bagi Masyarakat Adat Talang Durian Cacar, hutan—tidak hanya dikeramatkan. Ia juga apotek menyimpan obat-obatan alami. Dedaunan, kulit kayu, akar-akaran, getah atau air yang keluar dari ranting pohon untuk menyembuhkan penyakit sekecil apapun.

Majuan mencontohkan, akar gitan, keduduk akar dan urat kalakatai buat mengatasi mencret. Bagian tumbuhan ini cukup dibersihkan kemudian dijemur lalu rebus dan air langsung diminum. “Paling lama satu hari sudah sembuh.”

Manti menyebut, hutan keramat itu tak lepas dari ancaman seperti perambahan. Faktanya, kawasan di kelilingi perkebunan sawit.

Untuk ke sana saja, mesti melewati koridor atau jalan di tengah-tengah perkebunan sawit. “Walau bagaimanapun ini tetap akan kami pertahankan.”

Hutan di Talang Durian Cacar tak sebatas kegiatan ritual dan penghormatan bagi leluhur. Masyarakat adat bergantung pada hutan sebagai sumber hidup sehari-hari.

Rotan, jernang, gaharu dan manau adalah sumber pendapatan Masyarakat Adat Talang Durian Cacar. Begitu juga petai dan jengkol, termasuk hasil hutan lain yang tumbuh alami. Walau tak seberapa, ada juga lebah madu sialang.

 

Baca juga: Orang Talang Mamak Menagih Perlindungan Negara

Rumah orng Talang Durian Cacar . Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Tergerus

Duapuluh dua Juli, Majuan mengajak masuk hutan, tak jauh dari rumahnya, menengok tiga pohon yang belum lama mereka ambil madunya. Proses pengambilan madu dengan cara tradisional. Hasil panen dijual dan uang dibagi-bagi ke masyarakat adat.

Lahan makin terjepit, hingga ciri khas mereka sebagai peladang berpindah juga hampir lenyap. Mereka tak lagi menghasilkan padi, sayur-sayuran, umbi-umbian maupun buah-buahan. Sekarang, berbagai bahan pangan itu mereka peroleh dari pasar atau penjual keliling kampung yang jajakan dagangan pakai mobil bak terbuka.

Majuan menyebut, larangan membakar hutan dan lahan adalah salah satu penyebab ketakutan mereka meneruskan tradisi beladang.

Perkebunan karet, sumber ekonomi lain pun, perlahan-lahan berganti tutupan sawit. Kondisi itu tak terlepas dari perubahan tutupan di sekitar wilayah adat mereka.

Dalam selembar peta yang Majuan tunjukkan, wilayah adat Talang Durian Cacar di kelilingi perusahaan sawit. Sebut saja, PT Rigunas Agri Utama, PT Setia Agrindo Lestari, PT Mega DK 5, dan PT Mega Nusa Inti Sawit. Bahkan, PT Naga SPD, masuk wilayah adat mereka.

Wilayah mereka juga terkepung satu perusahaan perkebunan kayu, PT Bukit Betabuh Sei Indah, Grup APRIL.

Pada 23 Juli, setelah cuci muka, Mangku yang bermalam di rumah Majuan, bercerita pertimbangan mereka berkebun sawit terpengaruh oleh keberhasilan masyarakat transmigrasi di Desa Bukit Lipai, Kecamatan Batang Cenaku, Indragiri Hulu.

Wilayah adat mereka sendiri berada di Desa Talang Durian Cacar dan pemekarannya, Desa Sungai Ekok. Kini, nyaris seluruh wilayah berubah jadi sawit. Mereka belajar jadi petani sawit dari orang-orang transmigrasi yang sudah dikenal dekat bahkan dianggap bagian keluarga.

“Dibanding karet, harga sawit lebih untung, kerja juga lebih mudah, tak perlu tiap hari ke kebun. Kalau karet, tiap pagi orang dah motong sampai tengah hari atau pukul 1.00 dan 2.00 siang. Kalau hujan tak bisa deres karet. Kalau sawit justru enak dodos pas hujan,” kata Mangku.

Mangku mulai menebang pohon karetna sekitar 2010. Tanpa alat berat, gotong royong, dibantu keluarga dan kerabat. Sawit ditanam berangsur-angsur. Sekarang luas sudah mencapai lima hektar. Dia tetap menyisakan sekitar empat hektar kebun karet.

“Karet itu masih dibutuhkan untuk kayu bakar. Pohon yang sudah tua ditebang.”

 

Hutan Keramat Penyabungan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Bertani, tanpa perhatian

Tanaman sawit Mangku, maupun masyarakat adat Talang Durian Cacar lain, tak seperti kebun sawit plasma apalagi perusahaan-perusahaan sekitar. Mereka taj menanam bibit sawit berkualitas atau dari sumber benih bersertifikasi. Rata-rata tanaman sawit yang menjulang sekitar 10 tahun itu, bibit dari pasar atau toko pertanian terdekat.

Harga murah jadi alasan utama Talang Durian Cacar tak terlalu berharap mendapatkan bibit dengan kualitas unggul. Harga per kantong berisi 250 bibit Rp200.000-Rp500.000. Harga bibit bersertifikasi jauh dari jangkauan mereka, baik harga maupun akses.

Alhasil, buah sawit yang diperoleh ketika panen lebih kecil ketimbangan standar ideal. Rata-rata hasil panen tiap hektar sekitar satu ton.

Majuan bilang, mereka tak pernah mendapat penyuluhan cara mengelola kebun sawit, mulai dari hulu sampai hilir hingga menghasilkan buah berkualitas dan mumpuni. Semua mandiri, termasuk urusan perawatan jalan atau akses keluar masuk hasil panen.

Antara petani dan pengepul memiliki kesepakatan iuran Rp25 per kilogram sawit untuk memperbaiki jalan rusak di areal perkebunan masyarakat adat. Organisasi kecil yang mereka bentuk akan menagih uang ke para pengepul, tiap bulan. Tabungan bersama itu mampu membangun jembatan dengan nilai ratusan juta.

Masyarakat Talang Durian Cacar jauh dari ‘sentuhan’ harga buah sawit naik. Beberapa bahkan sempat tak memanen buah sampai satu bulan.

“Menunggu harga naik, paling tidak Rp1.500 perkg. Sialnya, waktu harga Rp1.200, kami mulai panen lagi, tiba-tiba langsung turun jadi Rp1.000. Padahal dah ngintip-ngintip harga,” kata Majuan.

Saat Mongabay berkunjung, 22 Juli, harga tandan buah segar (TBS) Rp900 perkg, brondolan sedikit agak mahal, Rp1.200 perkg.

Informasi minim, terutama mengenai perkembangan usaha perkebunan sawit, karena belum tersedia jaringan internet mumpuni di sekitar pemukiman Talang Durian Cacar. Telepon seluler belum jadi alat komunikasi utama. Untuk komunikasi via seluler, mesti mencari lokasi tertentu untuk dapatkan sedikit koneksi. Bahkan listrik pun belum mengalir ke kampung itu.

Majuan tak pungkiri, kehadiran sawit menggerus tradisi, seperti ritual adat sebelum, ketika maupun usai beladang.

Masyarakat Talang Durian Cacar—termasuk suku lain di Talang Mamak—tak sembarangan membuka hutan untuk jadi ladang pertanian. Selalu mulai dengan membakar kemenyan dan menyuguhkan sesajian. Ada jeda waktu tiga hari, pasca ritual awal untuk menentukan boleh atau tidak membuka peladangan di lokasi itu.

Andai ada perubahan terhadap sesajian, dengan kata lain rusak atau berpindah tempat, mereka yakini itu sebagai penjelasan dilarang membuka ladang di areal itu. Kalau tidak, aktivitas pertanian terus lanjut.

Menebang hutan, memulai penanaman hingga panen, setidaknya sekitar enam bulan. Setelah itu pindah ke areal lain. Mereka akan kembali ke lokasi awal bila sudah terlalu jauh dari tempat tinggal.

Lambat laun itu semua tinggal kenangan di ingatan Majuan, Mangku juga Manti.

Mangku berhenti beladang sejak empat tahun lalu. Kini, dia hanya tanam sayur ala kadar di sekitar pekarangan rumah. Ada lada, terong, kunyit, serai, jahe, kencur dan nangka. “Dulu, beras dan sayur tak beli. Kalau ada masyarakat pesta, dibagi-bagi. Kompak. Beladang semua,” katanya, mengenang.

Senada dikatakan Majuan. Selain urusan dapur, keperluan air juga tidak sepenuhnya dari alam lagi. Sungai Ekok yang hanya beberapa puluh meter dari rumahnya, hanya berfungsi untuk pemandian. Itupun hanya di beberapa titik tertentu yang memiliki kedalaman sebatas pinggang orang dewasa.

 

Petani sawit mandiri dari Talang Durian Cacar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Sungai Ekok menyempit, dangkal bahkan keruh setelah sawit berjejer di sepanjang bibir sungai. Waktu kecil, air sungai itu masih bisa buat konsumsi seperti untuk air masakan. Sekarang, dia harus membeli air galon isi ulang. Itu dia lakukan sejak 2015.

Andre Barahamin, Senior Kampanye Hutan Kaoem Telapak, mengatakan, perubahan pola hidup Masyarakat Adat Talang Mamak dari beladang jadi petani sawit merupakan dampak dari ketiadaan pengakuan dan perlindungan terhadap hak termasuk atas wilayah adat mereka.

“Beladang dengan cara bakar dinilai negara dan banyak pihak sebagai praktik tidak berkelanjutan, tidak ramah lingkungan dan tidak aman secara ekologis. Dituduh sebagai penyebab kebakaran hutan dan dinilai sebagai laku pidana,” katanya.

Pilihan Masyarakat Adat Talang Mamak meninggalkan ladang dan mengganti hortikultura dengan sawit, adalah inisiatif meretas kesulitan ekonomi yang mereka alami bertahun-tahun. Kesulitan ekonomi sebagai dampak dari hilangnya kedaulatan dan akses mereka terhadap wilayah adat.

“Jadi, perubahan laku itu tidak berlangsung secara alamiah. Sebaliknya hadir sebagai konsekuensi ekologis, sosial dan kultural atas keterpinggiran mereka,” kata Andre.

Kondisi itu, katanya, memunculkan beberapa perhatian mendasar. Pertama, memastikan perkebunan swadaya oleh masyarakat adat, tak dari pembukaan hutan (deforestasi) di kawasan konservasi yang memiliki nilai ekologis strategis. Kedua, memastikan model perkebunan swadaya berlandaskan prinsip efisiensi dan efektivitas.

Andre mengatakan, dukungan pengetahuan pertanian modern yang berkelanjutan harus jadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah daerah. Dengan begitu, produk bisa memenuhi standar dan kriteria pasar yang menyaratkan kepatuhan pada prinsip-prinsip berkelanjutan.

 

 

******

Exit mobile version