Mongabay.co.id

Masyarakat Lamtoras Sihaporas Desak Perlindungan Wilayah Adat

Ayat S Karokaro

 

 

 

 

Nurinda Boru Napitu, histeris. Perempuan dari Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) ini tersungkur. Kaki luka terkena batu.

Peristiwa bermula ketika sang ibu mempertanyakan kepada seorang pria berpakaian sipil didampingi puluhan aparat kepolisian dari Polres Simalungun. Alat pemotong kayu (senso) dipasang masyarakat buat menghalangi pekerja perusahaan kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Suasana sempat memanas. Puluhan perempuan adat berjaga-jaga di sekitar lokasi pembatas yang mereka buat guna mengantisipasi pekerja perusahaan kayu itu beraktivitas di wilayah adat—versi perusahaan merupakan konsesi mereka. Kasus itu terjadi malam hari, 18 Juli lalu.

Lebih 50 aparat kepolisian menaiki sedikitnya 20 mobil, tiga kendaraan kerangkeng masuk ke wilayah adat Lamtoras.

AKP Ely Nababan, Kapolsek Sidamanik terlihat di antara puluhan aparat kepolisian masuk ke Lamtoras. Aparat dari jajaran Polres Simalungun mencoba membuka blokade jalan yang dibuat masyarakat adat. Upaya gagal, puluhan perempuan adat mengusir mereka.

Ely Nababan mengatakan, TPL sudah membuat pengaduan ke Polres Simalungun atas tuduhan penyanderaan tiga pekerja mereka dan satu truk kayu oleh Masyarakat Adat Lamtoras.

Perwira polisi ini meminta agar masyarakat adat tidak menyandera pekerja perusahaan bubur kertas itu dan melepaskan serta mengembalikan truk yang ditahan ke wilayah adat.

Mangitua Ambarita aka Ompu Morris Ambarita, Wakil Ketua Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) menceritakan alasan sampai mereka blokade jalan masuk.

Morris cerita pada 14 Juli lalu dua pemuda adat membawa bibit dari Kota Pematang Siantar disetop pekerja TPL, Samuel Sinaga.

 

Thomson Ambarita dan Jonni Ambarita, dua warga Sihaporas, yang ditahan dan jadi tersangka penganiayaan atas laporan perusahaan. Padahal, mereka sendiri pelapor dan saksi atas kasus penganiayaan oleh karyawan perusahaan itu. Laporan perusahaan segera diusut polisi, sedang kasus laporan warga entah bagaimana nasibnya…Foto: dokumen AMAN Tano Batak

 

Pria yang bertugas menjaga alat-alat berat perusahaan bubur kertas ini menuding Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas membakar hutan, menebangi pohon pinus dan merusak alam. Padahal, kata Morris, justru sebaliknya. Perusahaan yang merusak hutan alam dan hutan adat kemudian menggantikan jadi pohon eucalyptus.

Masyarakat adat berang.

“Dia menuduh kami (warga Sihaporas) membakar hutan pinus, juga menebar paku di jalan. Dia bilang tanah kami bukan tanah leluhur Lamtoras,” kata Thomson Ambarita, saat temu media di Medan.

Mereka tak lapor polisi atas kejadian itu. “Kami sudah bosan lapor polisi”, kata Thomson.

Pria 44 tahun ini tak melaporkan kejadian malam itu karena sudah tak lagi percaya. Dia pernah melaporkan karyawan TPL, Bahuara Sibuea, atas pemukulan terhadap dirinya.

“Status (Bahuara Sibuea) sudah tersangka, namun penyidikan dihentikan. Lalu kita lakukan gugatan pra peradilan atas penetapan penghentian penyidikan itu ke PN Simalungun”, kata Roy Simarmata, kuasa hukum Thomson.

Sebelumnya, September 2019, majelis hakim menghukum Thomson. Mereka kena vonis sembilan bulan penjara, atas kasus penganyaiaan. Saat bersamaan, kuasa hukum melaporkan Bahara atas pemukulan terhadap Thomson.

“Anehnya, Polres Simalungun menindaklanjuti laporan TPL. Dua warga Sihaporas dihukum penjara . Ini berbanding terbalik, laporan korban dari warga adat dihentikan Kejaksaan Negeri Simalungun. Silakan nilai dimana letak keadilan itu,” kata Roganda Simanjuntak, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak.

Hutan adat Sihaporas sekitar 1.500 hektar masuk dalam konsesi perusahaan. Warga berjuang sejak lama.

Pada 2004-2005, Morris bersama warga adat yang lain sempat kena penjara satu tahun dengan tuduhan menguasai konsesi TPL. Pada 2000 -2021, masyarakat adat bernama Thomson Ambarita dan Joni Ambarita juga mengalami nasib sama.

Mereka kena kriminalisasi dan dipenjara sembilan bulan dengan tuduhan menaganiaya pekerja perusahaan.

“PT Toba Pulp Lestari selalu mencoba mengkriminalisasi masyarakat adat. Apapun itu, kami akan terus berjuang mempertahankan tanah adat kami kembali lagi, ” kata Morris ketika diwawancarai pada 4 Agustus lalu.


 

Desak perlindungan wilayah adat

Morris bilang, sehari setelah pemblokiran jalan masuk, tiba-tiba ada satu truk melaju kencang dan menghantam kayu di tengah.

Peristiwa itu hampir menabrak dua orang di sekitar lokasi. Truk yang menabrak kayu diletakkan di pinggir jalan, tidak bisa bergerak. Sang supir turun dan lari meninggalkan truk pengangkut kayu perusahaan itu.

“Menurut kami itu skenario seolah-olah kami melakukan penyanderaan pekerja dan truk perusahaan padahal sama sekali itu tidak benar. Hal itu jugalah yang menjadi dasar perusahaan untuk melaporkan kami seolah-olah melakukan penyanderaan dan penahanan truk perusahaan, ” katanya.

Di hadapan Muspida yang datang ke wilayah adat, mereka mendesak Pemerintah Simalungun segera membuat pengajuan surat permohonan pencadangan hutan adat Lamtoras Sihaporas ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Itu diamini para pejabat yang datang ke desa mereka.

“Awal Agustus camat memberitahukan kepada kami kalau bupati sudah membentuk tim untuk survei ke Kabupaten Toba yang sudah mendapatkan SK hutan adat. Semoga bisa cepat dan SK pencadangan keluar, jadi TPL tidak lagi bisa menguasai hutan adat kami, ” kata Morris.

Upaya-upaya pengakuan wilayah adat Lamtoras Sihaporas sudah mereka lakukan sudah bertahun-tahun. Pada 2018, mereka pergi ke Jakarta bertemu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Kala itu Siti tanya apakah masyarakat adat sudah mendaftarkan ke Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).

Menteri menyarankan segera daftarkan terlebih dahulu. Setelah pertemuan mereka langsung mendaftarkan. Selang beberapa waktu datanglah tim verifikasi ke desa mereka sambil melihat bukti-bukti sejarah Masyarakat aAat Lamtoras Sihaphoras.

 

Masyaralat Adat Sihaporas mempertahankan wilayah adat. Foto: dokumen warga

 

Tak berapa lama, mereka mendapatkan pengakuan tanah adat seluas 2.049 hektar. Sayangnya dari jumlah itu, baru 549 hektar mereka kuasai, Sekitar 1,500 hektar lagi masih jadi kuasa TPL.

“Inilah yang sekarang kami tengah perjuangkan. Kami mendesak Pemerintah Simalungun segera mengajukan surat permohonan pencadangan, jika itu sudah keluar maka perusahaan tidak bisa lagi menguasai tanah adat kami.”

Domu D. Ambarita, penyusun dan penyelaras sejarah adat masyarakat adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas, mengatakan, Masyarakat Sihaporas bukan pendatang penggarap.

Tanah ini, katanya, sudah delapan generasi mereka huni, sejak Ompu Mamontang Laut Ambarita menyeberangi Danau Toba gunakan solu/perahu dari Ambarita di Pulau Samosir ke Dolok Mauli, dekat Sipolha di Simalungun.

“Kami sudah menempati tanah adat sejak sekitar 200-250 tahun silam.”

 

Kawasan hutan maupun lahan-lahan warga, yang masuk konsesi, berubah jadi eukaliptus. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Dalam berkas penyusunan sejarah yang diselaraskannya, Ambarita memiliki bukti keberadaan Sihaporas. Tanah Sihaporas sudah diakui Belanda dan terbit dalam peta Enclave 1916

Di peta itu, tertulis tiga tempat atau lokasi yakni Sihaporas, Sihaporas Bolon dan Sihaporas Nagori Dolok. Bukti peta juga tersedia di kementerian.

“Warga juga bukan penjahat, bukan perampok. Kami keturunan pejuang Indonesia.”

Ada enam warga dapat tanda jasa pejuang sebagai Legiun Veteran RI, antara lain Jahya Ambarita, Firman Ambarita, Ranto Ambarita, Gabuk Ambarita, dan Victoria Br Bakkara.

Dokumen piagam Legiun Vereran RI kita miliki dan disimpan dengan baik,” katanya.

 

 

Balapan mobil di area konflik

Di wilayah adat Sihaporas pada 5-7 Agustus berlangsung Rally Danau Toba.

“Kami Masyarakat Adat Lamtoras menolak rally di wilayah adat kami, sebelum wilayah adat kami diakui/disahkan pemerintah.” Begitu spanduk terbentang di jalur lintasan rally, Aek Nauli, Simalungun.

Pemerintah Sumut menghelat Danau Toba Rally 2022, di Aek Nauli.

Puluhan mobil melintasi kebun eukaliptus dan hutan adat Sihaporas, sepanjang 132 kilometer. TPL sebagai sponsor utama kompetisi balap itu.

“Kami mendukung sepenuhnya rally di konsesi perusahaan. Selama ini, TPL mengelola konsesi secara berkelanjutan dan halitu mendorong potensi unggul lain dari konsesi untuk sport tourism,” kata Direktur TPL, Anwar Lawden, 22 Juli 2022.

Pasca ribut bulan lalu di perbatasan wilayah adat, Polres Simalungun bersama Forkopimda Simalungun mediasi dengan warga Sihaporas. Mereka berjanji memfasilitasi konflik antara Masyarakat Adat Lamtoras dengan TPL. .

 

Warga adat Sihaporas protes tak ada perlindungan wilayah adat mereka. Foto: dokumen warga

 

***

Meilana Yumi, Ketua Dewan Nasional Perempuan AMAN mengatakan, ratusan konflik perampasan wilayah adat masih belum ada penyelesaian adil.

“Perampasan wilayah adat masif terus terjadi hingga berdampak besar bagi masyarakat adat, terkhusus perempuan adat,” ujar Meilana.

Perempuan AMAN mengindentifikasi potensi kekerasan makin bertambah meluas dan sistematis. Sampai saat ini perempuan adat AMAN beserta koalisi masih mendorong pengesahan Badan Peraturan Daerah (Baperda) yang berjalan selama enam tahun belum selesai.

Flora Nainggolan, Kepala Bidang Hak Azasi Manusia (HAM) Kantor Wilayah Kementerian Hukum & HAM (Kemenkum HAM) Sumut, mengatakan, ada tiga persoalan lilit masyarakat adat. Pertama, sisi hak azasi manusia, kedua, regulasi, dan ketiga, mencari solusi.

Flora menyatakan, Sumut menempati posisi tertinggi terkait kasus perampasan wilayah adat dan Kemenkum HAM memiliki tugas mengurai konflik dengan harmonisasi. Tujuannya, supaya ketentuan sesuai perundang-undangan.

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM PB AMAN mengatakan, sepanjang masyarakat adat di wilayah manapun bisa membuktikan sebagai entitas yang hidup turun temurun berdasarkan teori adat dan lembaga adat, sebenarnya sah secara hukum.

 

********

 

Exit mobile version