Mongabay.co.id

Perjalanan Panjang Awak Kapal Perikanan Indonesia Menuntut Hak yang Hilang

 

Dua tahun terombang-ambing di kapal asing, hingga kini Wahyungki Saputra (25), seorang awak kapal perikanan (AKP) migran tak kunjung mendapat hak upahnya. Wahyu merupakan satu dari 28 ABK Indonesia yang bekerja di kapal penangkap cumi Ning Tai 95 milik perusahaan di Tiongkok.

Kini kembali ke darat setelah bekerja di lautan dari 2019 sampai 2021, Wahyu masih belum mendapatkan upah yang dijanjikan sesuai kontrak kerja yang ditandatanganinya. Selama kurun waktu tersebut, hanya Rp9 juta yang masuk ke rekening keluarganya dari total Rp48 juta yang dijanjikan. Itulah yang kini ia perjuangkan bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

Ditemui di Tegal, Jawa Tengah, akhir Mei lalu, Wahyu menceritakan permasalahannya. Bermula ketika seorang teman Wahyu diiming-imingi keuntungan bila membawa orang lain untuk bergabung menjadi AKP dan menjadikan Wahyu sebagai kandidatnya. Dengan dijanjikan gaji USD300 per bulan, dia tertarik dengan pekerjaan di kapal Tiongkok itu.

Wahyu kemudian mendaftarkan diri melalui PT Jaya Jangkar Samudera di Tegal, Jawa Tengah. Di sana, dia sempat terkejut karena agensi itu secara mendadak mengabari dan hanya memperlihatkan dokumen Perjanjian Kerja Laut (PKL) berbahasa Cina ketika akan memberangkatkannya ke laut lepas.

Desakan itu membuatnya tidak memiliki banyak pilihan. Tanpa didampingi ahli bahasa untuk menjelaskan apa saja isi perjanjian tersebut, ia pun menandatanganinya. Setelah sepakat dengan kontrak kerja tersebut, Wahyu praktis menjadi calon AKP.

baca : Akankah Nasib Awak Kapal Perikanan Mengalami Perbaikan?

 

Wahyungki Saputra (kedua dari kiri) dan Zulham Afandi (keempat dari kiri) bersama rekan-rekan AKP Indonesia lainnya ketika berada di kapal penangkap cumi dari Cina Ning Tai 95. Foto : Zulham

 

Orang-orang yang ingin menjadi AKP harus mendaftar melalui perusahaan keagenan awak kapal (manning agency) yang banyak terdapat di daerah Pemalang, Jawa Tengah. Salah satunya PT Lumbung Artha Segara tempat Andy Lala bekerja. Dia bekerja sebagai crewing untuk merekrut dan menyiapkan calon AKP sebelum diberangkatkan melaut.

Perusahaan tempat Andy bekerja, biasanya mengumpulkan AKP melalui informasi lowongan pekerjaan yang diunggah di website dan media-media lokal. Banyak pula calon AKP yang mendatangi kantor mereka setelah mendengar kabar dari mulut ke mulut.

Andy yang ditemui akhir Mei lalu, menjelaskan tidak sulit menjadi seorang AKP. Dengan bermodal Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), calon AKP dapat mengajukan pembuatan buku pelaut dan paspor pelaut. Kemudian calon AKP dapat memilih penempatan kerja, apakah kapal penangkap cumi atau kapal rawai tuna (tuna long liner).

Sistem pengupahan AKP kapal penangkap cumi dengan kapal rawai tuna berbeda. AKP kapal tuna long liner akan mendapat gaji langsung setelah empat hingga lima bulan melaut. Sedangkan gaji AKP kapal penangkap cumi, ditransfer melalui rekening bank kepada keluarga AKP.

 

Kekerasan Kerja

Meskipun kontrak kerja menjanjikan mereka kenikmatan surga, tetapi kenyataannya hanya nestapa yang menyapa. AKP tidak mudah beradaptasi di atas kapal. Wahyu juga tidak diberikan persiapan kerja yang baik oleh pihak agensi sebelum dia meninggalkan Indonesia dan tanpa akses ke daratan. Tidak ada kursus bahasa, apalagi pelatihan penggunaan alat-alat kerja. Semua Wahyu pelajari dari senior-senior awak kapal Cina sehingga kerap terjadi mispersepsi yang berakhir dengan kekerasan kerja.

Wahyu dan enam orang AKP Indonesia harus bekerja 18 jam sehari menangkap cumi di Kapal Ning Tai 95. “Kerja dari jam empat sore sampai tujuh pagi, lanjut lagi bongkar dan merakit pancing,” ujarnya.

Wahyu hanya bisa memendam keluh kesah selama bekerja berbulan-bulan di laut karena ia jauh dari keluarga dan sanak saudara, ditambah tak ada jaringan dan sarana komunikasi yang memadai. Tak banyak yang bisa Wahyu lakukan, tak ada tempat pelarian apalagi perlawanan.

Jam kerja berlebihan dan kehilangan akses hanya sebagian masalah yang Wahyu alami. Persoalan makan-minum juga mewarnai masa kelamnya bekerja. Ia menilai AKP Indonesia tidak mendapatkan makanan secara layak, dan hanya bisa menyaksikan kru Cina menyantap makanan enak.

“Banyak AKP yang dehidrasi sehingga akhirnya sakit. Kami dijatah 24 botol air mineral yang harus dibagi untuk lima orang selama satu bulan. Apabila tak cukup, mau tak mau, air suling berwarna kuning harus kami teguk untuk bertahan hidup,” ungkap Wahyu.

baca juga : Kasus Pelarungan Mayat: Awak Kapal Perikanan Indonesia di Pusaran Praktik Perbudakan dan Kerja Paksa

 

Zulham Afandi (kiri atas) bersama rekan-rekan AKP Indonesia lainnya selepas bekerja di kapal penangkap cumi dari Cina Ning Tai 95. Foto : Zulham

 

Semua pengalaman Wahyu bekerja di kapal Ning Tai 95 dikonfirmasi oleh Zulham Afandi (23) yang berada dalam satu grup dengannya melaut di perairan dekat Argentina. Pada 2019, Zulham muda ingin mencari pengalaman merantau dari Medan ke Pemalang, ia ingin mencoba peruntungan untuk bekerja ke luar negeri dan akhirnya memutuskan untuk berangkat menjadi AKP.

Seperti Wahyu, Zulham juga direkrut oleh PT Jangkar Jaya Samudera. Dia sama sekali belum berpengalaman bekerja di atas kapal. Bekalnya hanya pelatihan dasar-dasar perkapalan selama satu minggu.

Selama melaut, Zulham hanya bekerja menautkan kili-kili penangkap cumi. Pekerjaan itu berbeda dengan kontrak kerja yang ditandatanganinya sebelum bekerja. “(Pekerjaan) tidak sesuai kontrak. Di sana ditulis 12 jam per hari, tapi faktanya 18 jam per hari” ucapnya.

“Inginnya saat pelatihan dulu juga diajari dan diberi pemahaman bagaimana kira-kira pekerjaan di atas kapal biar ada gambaran. Paling tidak diajarin cara memasang pancing dan tali-temali jadi setidaknya biar tidak sering dimarahi,” ujarnya.

 

Resiko Pekerjaan

Realita tak seindah harapan yang terukir di kepala. Derita menjadi seorang AKP pun kerap dirasakan oleh Tamrin Nurrohman (36) yang pernah bekerja di beberapa kapal asing dari Taiwan saat ditemui di kawasan Pelabuhan Tegalsari, Tegal, Jawa Tengah, akhir Mei lalu.

Tamrin bercerita berbagai permasalahan kerja yang dihadapi, seperti masalah komunikasi, sering menerima kekerasan fisik dan verbal, jam kerja yang berlebihan, serta gaji yang tak sepadan kian mengisi lembar ceritanya selama bekerja di kapal asing.

perlu dibaca : Rekrutmen Awak Kapal Perikanan Masih Belum Transparan

 

Tamrin Nurrohman , mantan awak kapal perikanan (AKP) migran yang kini menjadi nelayan lokal di Pelabuhan Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : dokumentasi pribadi

 

“Kita kurang tahu bahasa. Komunikasi kadang pakai bahasa Cina, kadang pakai bahasa isyarat. Kita nggak tahu bahasa dia. Kalau ada yang nggak sesuai langsung main tangan,” ungkapnya.

Namun bagi Tamrin yang sering melaut di perairan Atlantik itu menerima kekerasan sebagai resiko pekerjaan. “Kami paham kalau kekerasan itu risiko kerja, tapi kadang (memang) suka berlebihan.”

Bahkan mereka tidak mengenal hari libur kerja. “Kalau tidak ada kerjaan pun kita tetap disuruh kerja, misalnya untuk cat kapal dan memperbaiki kapal,” katanya.

Semua permasalahan kerja yang dialami para AKP termasuk Tamrin ternyata tidak hanya jam kerja berlebih, fasilitas yang kurang, dan luka fisik yang diterima, tetapi juga kondisi kerja yang penuh tekanan meninggalkan luka psikologis bagi mereka.

 

Hak yang Hilang, Kasus yang Berulang

Tak cukup di laut, penderitaan para AKP di darat rupanya masih terus berlanjut. Pasalnya, banyak dari mereka yang tak langsung mendapatkan upah hasil mengerahkan tenaga dan waktunya di atas kapal. Hal ini disebabkan karena ada terlalu banyak pihak yang terlibat dalam proses pengupahan.

Seperti yang dialami Tamrin. Sistem pengupahannya dengan gaji yang langsung ditransfer ke rekening keluarganya di rumah. Tapi sistem itu dirasakan memberatkannya karena gaji sebesar USD300 itu sering terlambat tiga sampai empat bulan diterima keluarganya.

Ketika ditanyakan perihal gaji itu, agensi di Taiwan bersikeras bahwa gaji telah diserahkan pada agensi di Indonesia. “Kadang uangnya diputerin kemana kita tidak tahu,” keluhnya.

Pada tahun 2021, kontrak kerja Tamrin resmi berakhir. Tetapi butuh waktu setengah tahun bagi Tamrin memperoleh gaji terakhirnya yang dijanjikan sebulan dibayarkan setelah kontraknya berakhir.

Senada dengan Tamrin, gaji selama setahun bekerja juga tidak diterima oleh Zulham karena agensi pemasok AKP yang menaunginya itu kini menghilang tak berwujud. Para karyawan kabur membawa hak Zulham, Wahyu, dan 50 AKP lainnya. “Waktu ditagih, katanya duit belum cair atau beralasan lainnya,” ungkap Zulham.

Masalah pengupahan tak berhenti setelah memakan dua sampai tiga korban. Terbukti dengan adanya laporan-laporan serupa yang terus dikantongi SBMI. Zulham mengungkapkan bahwa dari 50 orang AKP yang mengaku tidak digaji oleh agensi, hanya 12 dari mereka yang menerima uluran tangan SBMI.

Kementerian Luar Negeri sendiri menerima aduan berbagai kasus AKP yang bekerja di kapal perikanan asing yang terus meningkat setiap tahun. Tercatat ada 1.079 kasus pada 2018, kemudian ada 1.095 kasus pada 2019 dan meningkat menjadi 1.451 kasus pada 2020. Jumlah tersebut merupakan kasus yang diadukan dan tidak menutup kemungkinan masih banyak kasus-kasus lain yang tidak terungkap.

baca juga : Kapan Perlindungan Penuh Awak Kapal Perikanan Indonesia Akan Terwujud?

 

Para nelayan lokal yang tengah berkumpul di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Tegal, Jawa Tengah usai mengecek kondisi kapal sembari rehat dan bertegur sapa dengan rekan-rekannya. Foto : dokumentasi pribadi

 

Tumpang Tindih Kebijakan Persulit Keadaan

Kondisi ABK yang memprihatinkan juga mengusik Anis (nama samaran), petugas bidang ketenagakerjaan Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Tegal. Dia sering menerima aduan berbagai permasalahan yang dialami para AKP. Pasalnya, kantornya hanya berjarak satu kilometer dari Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, tempat berkumpulnya ABK dan beberapa manning agency.

Anis mengatakan bahwa 90% laporan yang sampai kepadanya maupun melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) merupakan persoalan gaji AKP migran yang tak kunjung dibayarkan. Menurutnya, situasi ini terjadi tak lain karena adanya perbedaan kebijakan Kemnaker dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terkait pekerja migran Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Kemenaker mensyaratkan bahwa Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) harus terdaftar secara resmi dalam Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan memiliki Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI). Selain itu, P3MI harus memiliki modal yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit Rp5 miliar, serta menyetor uang paling sedikit sebesar Rp1,5 miliar kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito.

“Jadi kalau nanti ada masalah misalnya perusahaannya kabur, pailit dan lain-lain, gaji ABK masih bisa diberikan dari uang deposito itu, sehingga tidak ada lagi kabar ada AKP yang tidak mendapatkan hak upahnya,” jelas Anis yang ditemui akhir Mei lalu.

Tetapi kebijakan Kemenhub dalam pemberian Surat Izin Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) tidak memberlakukan sistem deposit sehingga apabila ada masalah yang merugikan AKP, perlu prosedur yang lebih panjang untuk menyelesaikannya. Ketiadaan sistem deposit ini juga membuat banyak perusahaan lebih memilih mendapat SIUPPAK daripada SIP3MI.

Namun, lanjut Anis bahwa hal ini tidak serta-merta mempermudah perusahaan dalam mendapatkan SIUPPAK. Dalam syarat mendapatkan SIUPPAK, manning agency harus memiliki pengalaman mengirimkan AKP ke luar negeri. Alhasil, banyak manning agency yang kemudian mengirimkan AKP ke luar negeri tanpa surat izin dan tidak sesuai prosedur.

Pada banyak kasus, AKP memiliki keterbatasan dalam mencari tahu latar belakang manning agency. Mereka juga cenderung ingin prosedur yang cepat seperti yang dilakukan oleh perusahaan tak berizin. Menurut Anis, hal ini juga harus dibenahi dengan berbagai cara. Salah satunya, tentu dengan sosialisasi ke daerah nelayan. Namun, karena terkendala waktu dan anggaran, sosialisasi ini sudah lama hanya jadi wacana.

Forum terkait pekerja migran di sektor kelautan terakhir yang berhasil diselenggarakan oleh Disnaker adalah forum diskusi manning agency pada 30 Juni tahun 2020. Manning agency yang hadir pun dapat dikatakan kurang kooperatif. Pasalnya, ketika Disnaker meminta data dan laporan penempatan AKP, sebagian besar manning agency melaporkannya dengan kurang maksimal, bahkan ada yang menolak. Hasil forum ini pun belum mampu merumuskan solusi atas persoalan kerja paksa yang dialami AKP.

Untuk memudahkan calon AKP memverifikasi perizinan perusahaan yang akan menjadi agensinya, Kemnaker merilis suatu aplikasi selular bernama Jendela PMI yang berisi kumpulan P3MI resmi. Jika agensi yang dicari tidak terdaftar, Anis berharap ABK tidak melanjutkan proses rekrutmen ke tahap lebih lanjut.

“Kami menganjurkan AKP bertanya ke Disnaker terkait lowongan penempatan kerja di luar negeri, agar segala sesuatunya berjalan sesuai prosedur dan telah dikomunikasikan sejak awal,” pungkas Anis.

baca juga : Perlindungan Awak Kapal Perikanan Dimulai dari Daerah Asal

 

Nelayan lokal di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Tegal, Jawa Tengah. Foto : dokumentasi pribadi

 

Sementara itu terkait dengan kekerasan di kapal, Andy Lala dari PT Lumbung Artha Segara menjelaskan bahwa pelaku kekerasan di tempat kerja akan mendapat ganjaran dengan membayar $50 untuk satu pukulan yang dilayangkan kepada para AKP.

Namun, para AKP tetap tak bisa melepas lega. Asuransi sebagai jaminan keselamatan mereka seakan hanya hitam diatas putih. Prosedur yang berbelit-belit malah memperkeruh keadaan para AKP di atas kapal.

“Mekanismenya membutuhkan bukti. Kalau memang dari negara lain melakukan kekerasan sama AKP kita, kita butuhkan bukti, videonya. Kita langsung ke KBRI, nanti KBRI yang mengatasi AKP disana. Kalau untuk keadaan darurat itu bisa langsung ke kapten, tapi biasanya kapten nggak mau tahu, karena (kerjanya) cuma tidur, makan, tidur, makan,” imbuhnya.

 

Harapan Kesejahteraan

Nasib para AKP sekarang ini bisa bernapas lebih lega, karena Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.22/2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.

PP No.22/2022 itu hadir dengan dilatarbelakangi oleh perjuangan SBMI bersama Greenpeace Indonesia yang diwakili oleh tiga mantan AKP beserta satu kuasa hukum.

PP No.22/2022 itu berpengaruh terhadap perjalanan Zulham dan AKP lain yang upahnya tertahan. Kini, kasus mereka sudah ditangani oleh jajaran staf di bawah Presiden RI untuk kemudian ditindaklanjuti hingga hak para AKP terpenuhi.

Setelah upayanya menghubungi Kementerian Luar Negeri berakhir tanpa hasil, Zulham melanjutkan langkahnya untuk bergabung dengan SBMI. Meski hingga saat ini haknya belum didapatkan, ia makin bersemangat sejak berjuang bersama SBMI. Tujuan Zulham kini bukan hanya menuntut hak-haknya, tetapi juga hak para AKP yang bernasib serupa.

Alur pengupahan yang berlaku yakni berawal dari kapal asing, berlanjut ke agensi luar negeri, kemudian diterima oleh agensi dalam negeri ini merupakan sebuah sistem yang menurut Zulham cukup meresahkan. Dalam sistem ini, AKP tidak secara langsung dilibatkan. Ia menaruh harapan agar sistem pengupahan bisa langsung sampai ke tangan AKP tanpa berbelit.

 

****

 

*Fahrina Alya Purnomo, **Annisa Zulfalia Az Zahra, ***Uli Zahro Irsyadiah, ***Almira Khairunnisa Suhendra, ****Dinda Khansa Berlian. Para penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang

Tulisan ini merupakan hasil kunjungan lapangan mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Undip Semarang yang difasilitasi oleh program International Labour Organization (ILO), 8.7 Accelerator Lab.

Mentor : Dr. Nurul Hasfi. Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Undip Semarang

 

Exit mobile version